Rabu, 08 Februari 2017

Ulasan Lakon 'Opera Kecoa' oleh Teater Koma

 
Kamis, 10 November 2016 adalah hari pertama dari pementasan Teater Koma yang ke-146 dengan lakon Opera Kecoa yang diselenggarakan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Lakon yang disutradarai oleh Nano Riantiarno ini berhasil membuat kagum para penontonnya. Baik penonton baru maupun penonton yang memang rutin menonton pementasan Teater Koma.  

Lakon ini menceritakan tentang bagaimana rakyat pinggiran diperlakukan oleh pemerintah selama ini, dan bagaimana permintaan-permintaan orang pinggiran, baik yang benar maupun yang aneh sekalipun. Roima (Bayu Dharmawan Saleh) dan Julini (Joind Bayuwinanda) adalah sepasang ‘hampir suami-istri’ karena mereka berdua adalah laki-laki. Karakter Julini merupakan seorang waria yang sedang mencari kehidupan baru, karena tempat tinggal mereka yang lama telah digusur oleh para petugas keamanan. Akhirnya mereka memutuskan untuk merantau ke kota dan menemui salah satu kerabat mereka yang ditemukan di salah satu berita di surat kabar.

Tuminah (Tuti Hartati) adalah seorang PSK yang bekerja di sebuah lingkungan nakal pimpinan Tarsih (Ratna Riantiarno) bersama PSK lainnya yang terancam digusur oleh petugas keamanan, karena Pejabat (Budi Ros) akan membuat sebuah proyek di lingkungan itu bersama dengan Tamu Asing (Rangga Riantiarno) yang datang dari Jepang. Tarsih terus mengeluhkan ancaman petugas-petugas itu dan merenungkan bagaimana nasib para karyawannya nanti. Ketika Roima dan Julini datang menemui Tuminah di lingkungan itu, awalnya Tarsih mencurigai kedatangan mereka karena mereka tidak sungkan memberikan bantuan kepada siapapun. Tapi ternyata kedatangan Julini membuat mereka semangat kembali untuk terus berjuang melawan orang-orang yang tidak berhak mengubah kehidupan mereka.

Kini Roima telah mendapat pekerjaan baru, yaitu sebagai seorang kepala keamanan (preman) yang dipimpin oleh Kumis (Didi Hasyim) . Begitupun dengan Julini yang kini menjadi tukang pijat plus plus bersama waria lainnya. Kehidupan mereka berdua kini lumayan menghasilkan. Semua yang mereka inginkan bisa mereka dapatkan. Namun ada satu masalah, yaitu waktu. Akibat pekerjaannya yang baru, Roima jarang sekali bertemu dengan Julini di rumah. Begitupun Julini. Namun suatu hari, Julini memergoki Roima tengah bercengkrama dengan Tuminah di depan rumah Tarsih. Julini kecewa dengan Roima dan meninggalkannya pergi. 

Sedangkan keadaan di lingkungan tempat Julini dan waria lain menyambung hidup tengah gaduh. Para petugas keamanan lagi-lagi berulah. Keributan terjadi antara kedua belah pihak. Ketika Julini datang dan menyempatkan duduk sebentar untuk merenungkan masalahnya dengan Roima, peluru menembus dada Julini dan tak lama setelah itu ia mati. Roima yang melihat itu serta-merta menangis menjerit, menyesal akan perbuatannya kepada Julini. Tidak terima dengan kejadian itu, Roima dan para waria mendatangi rumah Pejabat dan memintanya membuat sebuah Monumen Julini sebagai tanda penghormatan kepada para waria. 

Akhir dari pementasan ini adalah kebakaran besar yang melanda rumah Tarsih berikut lingkungan sekitarnya. Akibat dari kebakaran ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini murni kebakaran, atau sengaja dibakar?

Pementasan Teater Koma yang dihadiri oleh lima orang perwakilan Bengkel Sastra, dan lima orang perwakilan Kelas Apresiasi Sastra Universitas Negeri Jakarta ini menimbulkan kekaguman akan penggarapannya. Musik yang apik dan suara para aktor yang bagus membuat pementasan ini hidup. Penataan panggung dan properti yang digunakan merupakan penataan multifungsi namun tidak mengurangi pesan yang hendak disampaikan dari cerita tersebut. Kostum yang digunakan sebagai pendukung jalannya cerita juga sangat diperhatikan oleh mereka. Seperti biasa, Teater Koma memang selalu detail memerhatikan setiap aktor yang bermain di pementasannya. Kecepatan para aktor dan penata kostum mengganti pakaian dan riasan mereka membuat kami kagum. Satu lagi yang patut kami apresiasi dari pementasan ini adalah kemmapuan berperan para aktor. Dari mimik, gerak tubuh, hingga suara yang tidak berteriak namun terdengar hingga sudut teater. 

Bagian terpenting dari pementasan ini adalah pesan yang disampaikan dari keseluruhan isi cerita. Baik dari kalangan pejabat tinggi, menengah, hingga yang paling bawah sekalipun turut andil dalam pesan di cerita ini. Dari kelas atas yang terkesan hanya mementingkan diri sendiri dan melakukan cara apapun bahkan bisa mengorbankan banyak orang yang merupakan pilar baginya untuk berdiri sampai sekarang, juga orang-orang kalangan menengah yang tidak begitu peduli, hanya menuruti perintah dari golongan atas, dan hanya mementingkan kelanjutan hidupnya sendiri. Begitu pun dengan kalangan bawah yang selalu diinjak, dijadikan mangsa, dan menjadi korban dari segala masalah yang dibuat oleh orang-orang kalangan atas. Namun, yang patut kami acungkan jempol adalah kerja sama dan kebersamaan mereka dalam membela sesama, rasa keadilan yang terus tumbuh dalam benak masing-masing, juga cara-cara pintar mereka untuk membuat orang-orang di atas mereka sadar bahwa mereka perlu diperhatikan juga. 

Lakon Opera Kecoa sendiri telah dipentaskan oleh teater Koma sebanyak tiga kali. Pada tahun 1985, 2003, dan yang terakhir 2016. Lakon Opera Kecoa sempat diundang untuk pentas di Jepang. Dengan persiapan yang matang (surat-surat berangkat hingga tetek-bengek produksi). Namun pementasan itu batal, karena pementasan percobaan yang mereka lakukan di Graha Bhakti Budaya dicekal oleh polisi. Alasannya adalah karena Teater Koma tidak memiliki surat izin pementasan pada saat itu. Akhirnya semua persiapan yang telah matang tadi sia-sia dan harapan untuk pentas di Jepang gagal. 

Akhirnya pada tahun 2003, lakon Opera Kecoa dipentaskan kembali untuk kedua kalinya, dan dipentaskan untuk ketiga kalinya pada tahun 2016. Dari semua kejadian yang dialami oleh Nano Riatiarno, ia berharap agar tidak ada lagi pementasan teater yang dilarang. Karena melalui teater, semua pesan bisa disampaikan dengan cara tersendiri. 

“Semoga polisi dan juga penguasa melihat bahwa teater bisa membuat orang-orang melihat dengan hati, tidak hanya dengan mata. Hati akan melihat dengan lebih awas. Dengan hati kita akan bisa mengawasi nurani. Dengan hati kita akan melihat keadilan yang benar. Inilah doa kami semua, doa orang-orang seni pertunjukan.” Demikian pendapatnya perihal pementasan yang kerap kali dilarang.
Kerja bagus untuk Teater Koma. Kami akan setia menunggu pementasan berikutnya dengan harapan pementasan selanjutnya akan lebih hebat dari pementasan sebelumnya. 
 

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.