“uang adalah alat pembeli gelar
yang paling ampuh dan dahsyat.”
-Prodo Imitatio-
Lampu masih gelap saat itu, namun
iringan gitar sudah mulai mengalun dengan asyiknya. Saya masih menggenggam erat
gagang koper di wing panggung aula
Sertifikasi Guru lantai 9. Ini adalah hari dimana lomba monolog Festival Seni
UNJ dilaksanakan. Beberapa peserta lomba sudah menampilkan penampilan
terbaiknya sedari pukul sepuluh pagi tadi. Kini giliran saya yang harus tampil
dengan nomor urut tujuh setelah sebelumnya terpotong dengan waktu makan siang. Pada
kesempatan kali ini, saya akan membawakan sebuah naskah monolog mahakarya dari
kang Arthur S. Nalan yang berjudul Prodo Imitatio. Kenapa harus Prodo Imitatio?
Begini.
Jauh sebelum lomba ini, kira-kira pertengahan April lalu saya dibebankan dengan tetek bengek ujian dari seleksi Duta Bahasa DKI Jakarta. Termasuk sebuah penampilan bakat yang diagendakan di hari terakhir penilaian. Seperti yang sudah-sudah dan tanpa pikir panjang, saya berniat menampilkan monolog. Maka dari itu, saya mencoba konsltasi dan meminta bantuan seorang senior dari Bengkel Sastra, kak Oji untuk memilihkan satu naskah yang menurutnya pas dibawakan oleh saya ketika hari penampilan nanti. Dengan cepat beliau menawarkan Prodo Imitatio sebagai naskahnya. Saat itu juga saya coba browse di internet dan mulai membacanya esok hari ketika perjalanan ke kampus di kursi belakang sebelah kiri Transjakarta. Prodo Imitatio, naskah yang awalnya saya kira membosankan. Sempat saya remehkan naskah ini karena saya sama sekali tidak merasakan kesan wow ketika membacanya.
Tapi, seperti yang kita tahu bahwa
rasa sayang akan muncul lama kelamaan. Setelah kak Oji bilang bahwa naskah ini
membawanya memenangkan Juara 2 Festival Seni UNJ dua tahun lalu dan calon
sutradara saya, kak Mussab yang pernah membawakan naskah ini dua kali disaat
penampilan untuk ospek dan membawanya pula memenangnkan Juara 3 Festival Seni
UNJ di tahun yang sama dengan kak Oji. Saya kira, kak Oji yang akan
menyutradarai saya untuk monolog ini. Tapi karena ia sudah sibuk menyutradarai
senior saya yang juga sedang mengikuti lomba monolog di UIN, maka saya
disarankan untuk meminta bantuan kepada kak Mussab yang sama sekali belum
memegang siapapun (saat itu beberapa anggota Bengkel Sastra sedang mengikuti
lomba monolog dan membaca puisi di UIN). Jadilah official director of Prodo Imitatio untuk Bima Dewanto di penampilan
minat dan bakat Duta Bahasa DKI Jakarta adalah Mussab Askarulloh.
Tetapi, dalam beberapa waktu naskah
ini masih dalam pertimbangan saya. Pasalnya, broadcast tentang Festival Seni UNJ (FSUNJ) baru saja masuk ke
ponsel saya dan tidak lama ramai di bicarakan di setiap latihan di Bengkel
Sastra. Mata lomba dari FSUNJ antara lain: cipta poster, cipta puisi, cipta
esai, cipta cerpen, komik strip, baca puisi, monolog, menyanyi, dan masih
banyak lagi. Dengan cepat pasti pilihan saya jatuhkan kepada cipta poster tanpa
peduli ada lomba lain didalamnya. Namun, saya sempat merasa senang melihat
beberapa anggota Bengkel Sastra yang setiap selesai latihan rutin mereka
tambahkan dengan latihan monolog untuk lomba di UIN. Akhirnya saya putuskan
untuk mengikuti lomba monolog juga. Di sinilah letak pertimbangan naskahnya
yang memakan waktu cukup lama untuk diputuskan. Masalahnya, saya belum tahu
naskah apa saja yang dilombakan di FSUNJ. Karena saya tidak mau latihan dua
kali dengan naskah yang berbeda antara di seleksi Duta Bahasa dengan FSUNJ.
Saya berharap, FSUNJ menyertakan Prodo Imitatio sebagai salah satu naskah yang
dibawakan ketika hari nya berlangsung.
Kebetulan saya tidak begitu peduli
dengan seleksi Duta Bahasa. Yang menjadi prioritas saya saat ini sebenarnya
lebih condong kepada Festival Seni UNJ ini dimana pemenangnya akan dikirmkan
menuju Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) sebagai perwakilan dari UNJ. Maka
dari itu, naskah yang akan saya bawakan untuk penampilan di Duta Bahasa
tergantung dari naskah yang disediakan di FSUNJ nanti.
Singkat cerita, saya mulai
mendaftarkan nama saya untuk lomba desain poster dan monolog di meja
pendaftaran FSUNJ bersama Trisda, kawan yang saya paksa untuk ikut lomba
monolog juga. Saat itu juga saya tanyakan tentang naskah apa saja yang harus
dibawakan untuk lomba dan voila! Prodo
Imitatio ada di dalam tabel daftar naskah monolog di urutan ke lima tepat di
bawah naskah Aeng karya Putu Wijaya. Prodo Imitatio karya Arthur S. Nalan, naskah
yang akan saya bawakan baik di seleksi Duta Bahasa dan di lomba monolog
Festival Seni Universitas Negeri Jakarta.
Lomba akan dilaksanakan pada tanggal
22 Mei 2017, sementara penampilan bakat Duta Bahasa akan dilaksankan pada
tanggal 4 Mei 2017. Tugas pertama saya adalah untuk memfokuskan terlebih dahulu
untuk penampilan di Duta Bahasa. Setidakpedulinya saya terhadap seleksi ini,
saya tetap harus menampilkan yang terbaik untuk menunjukan bahwa teater tidak
sembarangan di mata para finalis Duta Bahasa yang mayoritas bukan dari jurusan
sastra. Saya juga menjadikan penampilan ini sebagai uji coba dan evaluasinya
akan digunakan untuk memperbaiki penampilan saat lomba di FSUNJ nanti.
Latihan hari pertama, saya bertemu
dengan sutradara ditemani dua teman saya, Dini dan Trisda yang seharusnya
Trisda juga latihan monolog hari ini namun sutradaranya memilih untuk absen.
Trisda akan membawakan naskah Anak Kabut karya Putu Wijaya nantinya. Latihan
hari ini masih tentang reading dan
membahas naskah. Kak Mussab sebagai sutradara mengarahkan dengan amat sangat
baik bagi saya untuk dengan mudah mengerti naskah ini. Ia juga mengarahkan
dimana penekanan seharusnya diadakan di setiap dialog yang memerlukan.
“…segala sesuatu yang menyangkut
pemberian gelar diselesaikan dengan sejumlah uang segala sesuatu yang
menyangkut pemberian gelar diselesaikan dengan sejumlah uang…”
Pada dialog ini dan seterusnya, kata
uang harus menjadi permasalahan utama dari naskah ini. Uang adalah alat yang
sangat dipentingkan dalam setiap…. Sebentar, saya belum menceritakan tentang
naskah ini secara garis besar. Begini.
Prodo Imitatio adalah seorang
professor doktor yang lulus bukan karena kemampuan dan keahliannya melainkan
karena uang. Prodo Imitatio juga merupakan rector dari University of Zuzulapan
yang berpusat di Amarakua. Terdapat dua babak dalam naskah ini. Pertama disaat
Prodo menawarkan sebuah produk kepada semua penonton yang ia anggap sebagai
mangsa pasar nya. Produk itu adalah gelar. Prodo menawarkan kepada penonton
gelar apa saja mulai dari gelas S1 hingga professor tanpa harus susah payah
menjalankan kegiatan akademis melainkan dengan uang. Dalam naskah ini, Prodo
juga membuat pengakuan bahwa sebagian besar orang yang telah lulus menjadi
doktor merupakan hasil dari penjualan yang dilakukannya. Ia mengatakan bahwa
semua orang yang menjadi tokoh besar merupakan output dari bisnis yang ia jalankan. Sebagian besar orang itu lulus
bukan karena keahlian mereka melainkan karena permainan uang. Sama seperti masa
dimana Prodo menjalankan sekolahnya. Ia hidup dengan uang orangtua yang
meradang dan bertebaran di sekolah-sekolah demi membuat anaknya naik kelas
walau ia malas dan sering absen.
Pada babak kedua, Prodo mendekam di balik jeruji besi. Di dalam sel, ia tidak merasakan keterpurukan. Ia mengaku bahwa walaupun dirinya mendekam di sini, ia masih memiliki anak buah yang menjalankan bisnis jual gelar di luar sana. Ia menyesalkan kepada penonton akan sistem hukum di negeri yang ia tempati ini. Prodo merasa yakin bahwa yang seharusnya ditahan adalah pembelinya yang kini menjadi orang-orang besar, bukan penjulanya yang kini mendekam di penjara.
Kembali ke topik pembahasan soal
latihan hari pertama. Pada hari ini, latihan belum sampai pada tahap blocking. Saya masih harus belajar
tentang penekanan pada naskah dan kalimat penting yang tidak saya lewatkan
begitu saja.
Besoknya, saya datang pagi ke kampus
walaupun kuliah dimulai pukul satu siang. Tepat pukul Sembilan saya duduk
perpustakaan dengan naskah yang berada di atas meja. Sama seperti halnya
menghafal naskah ketika pementasan ‘TIK,’ lalu, kini saya menghafal naskah
Prodo Imitatio di perpustakaan juga. Tempat ini sangat nyaman untuk menghafal,
suasananya hening. Di sini saya juga membentuk penekanan pada setiap dialog
yang saya hafal. Untuk hari ini, target saya hanya menghafal babak satu saja. Latihan
selanjutnya adalah lusa dimana saya berencana untuk membawa properti yaitu
koper. Dan pada latihan saat itu, sutradara masih tetap menahan saya dalam proses
reading belum blocking.
Pada latihan hari ini, semua
teman-teman Bengkel Sastra yang mengikuti lomba monolog di FSUNJ juga latihan
bersama sutradaranya masing-masing. Trisda yang membawakan naskah Anak Kabut
bersama dengan Tiyas yang membawakan naskah Tolong karya N. Riantiarno.
Keduanya dipegang oleh kak Despian. Adi yang membawakan naskah Aeng karya Putu
Wijaya disutradarai oleh kak Juanda. Semua focus dengan latihannya
masing-masing hari ini. Hari ini juga saya merasa reading pada naskah yang saya bawakan lebih baik dari hari
sebelumnya. Namun, satu hal yang membuat saya kaget adalah kedatangan Ical Vrigar
yang duduk disamping saya ketika saya membaca naskah bersama sang sutradara.
Tanpa pembukaan apa-apa, ia mengatakan bahwa pembacaan saya belum terkesan di
telinganya. Ia menyayangkan vocal saya yang bagus namun pembacaan saya yang
menurutnya masih belum membuatnya mengerti. Dari sini, saya mulai menyadari
kekurangan dan kelebihan yang saya punya. Pertama, naskah Prodo Imitatio adalah
naskah komedi dimana setiap dialognya mengharuskan saya untuk bertingkah ceria.
Tertawa disetiap dialog harus menjadi ciri khas dari Prodo sendiri. Sedangkan
dalam reading hari ini saya merasa
bahwa tertawa saya masih sangat sedikit dilakukan. Kedua, saya mulai mengetahui
akan vocal saya yang baik dalam berdialog. Memang sangat amat disayangkan jika
tidak saya pergunakan dengan baik. Saat itu juga saya berpikir dan langsung
meminta kepada sutradara untuk menghentikan latihan hari ini dan berencana
untuk mengkaji lagi naskahnya besok bahkan nanti ketika perjalanan pulang saya
di Transjakarta.
Hari sudah semakin dekat dengan penampilan
minat dan bakat Duta Bahasa. Saya meutuskan untuk menampikan babak satu dari
naskah ini karena waktu yang disediakan panitia tidak memadai, 3 menit. Itupun
juga banyak dialog yang saya lewatkan. Semua properti sudah siap mulai dari
koper, buku-buku tebal, jubah wisuda, hingga toga. Blocking juga sudah diatur sedemikian rupa untuk penampilan besok. Make up, serahkan kepada bu Rista,
senior Bengkel Sastra yang dengan baik hati mau menolong saya dengan datang
pagi-pagi ke kampus dan mulai mendandani saya menjadi Prodo Imitatio ala
dirinya.
Dan ini harinya, sedari pukul tujuh
foundation dan bedak sudah menempel lekat di wajah saya. Mempersiapkan diri
untuk penampilan maksimal yang seharusnya tidak perlu. Tapi dari sinilah ukuran
keberhasilan saya membawakan Prodo Imitatio untuk FSUNJ nanti. Setelah naik ke
atas panggung, perasaan nervous pasti
ada. Namun saya sering menganggap panggung adalah teman saya. Jadi, berbaik
hati ya, teman…
Yang saya senang dari pertunjukan
ini adalah tawa dari penonton. Memang tertawa bukanlah tolak ukur keberhasilan
suatu pementasan, namun suara tawa yang saya dengan mampu membuat saya lebih
semangat dalam membawakan dialog selanjutnya. Saya mengartikan tawa adalah
respon dari penonton dan tanda bahwa mereka masih konsisten menatap saya di
atas panggung.
“Salam Imitatio! Viva Profesores Prodo!”
___
Fokus menuju Festival Seni UNJ. Semua
peserta latihan setiap malam setelah latihan rutin Bengkel Sastra. Blocking yang saya lakukan sudah full dari awal hingga akhir. Hanya
tinggal mengembangkannya setiap latihan.
“Viva Profesores Prodo!”
Kata
‘viva’ yang saya teriakan merupakan satu dari dialog paling favorit yang saya
suka. Selanjutnya adalah tertawa dan terus tertawa sepanjang pertunjukan. Yang
saya kagumkan dari sutradara yang mampu membentuk karakter Prodo baik sesuai
keinginannya dan kemampuan saya. Prodo ala Bima adalah Prodo yang memiliki
kecakapan dalam marketing communication. Prodo
yang sangat pintar merayu orang untuk membeli produknya hanya dengan mulut
manis yang menjanjikan. Hingga jadilah saya disebut sebagai Bima The
Salesman.
Pertama
kali saya menemukan bahwa Prodo adalah sales marketing dengan komunikasi yang
bagus, referensi saya langsung tertuju kepada salah satu perusahaan yang pernah
meminta saya untuk mendesain kemasan produknya. Perusahaan yang sebagian besar
adalah teman-teman sekolah saya. Perusahaan yang pernah mempersilakan saya
menyaksikan bagaimana para sales nya latihan untuk mempresentasikan kepada
mangsa pasar untuk membeli produknya. Voila!
Tidak cukup dari situ, saya langsung mengingat kembali seseorang yang mampu
bernegosiasi dengan baik. Yaitu salah satu teman saya ketika bekerja di salah
satu hotel di bilangan Kebayoran Lama.
Hingga
terbentuklah karakter salesman yang
saya inginkan. Selanjutnya tinggal bagaimana memainkan beberapa monoplay yang tedapat dalam naskah ini. Sebenarnya
ada dua monoplay yaitu sebagai ibu
Prodo dan sebagai Sipir. Tapi saya menambahkan dua monoplay dan menghilangkan dialog sipir. Monoplay pertama adalah ketika Prodo menceritakan tentang sejarah
pemberian gelar. Dalam naskah, Prodo menceritakan sejarah ketika masa kerajaan.
Di sini saya berubah menjadi seorang dalang Jawa yang menceritakan sejarah itu.
Kemudian di dalam naskah, Prodo menceritakan sejarah di masa penjajahan. Tidak
lain saya bertransformasi lagi menjadi seorang Belanda yang seakan-akan
menceritakannya. Kemudian pada adegan selanjutnya dimana ibu Prodo memanggilnya
untuk berangkat ke sekolah.
Selanjutnya,
adalah adegan ketika Prodo bernyanyi. Saya sengaja menghilangkan dialog ini
karena saya rasa susah untuk membuat dialog ini terdengar menarik bagi saya. Bahkan
saya merasa dialog saat Prodo bernyanyi akan terkesan garing karena liriknya yang diganti.
Masuk
kepada babak dimana Prodo sudah berada di dalam sel. Yang menjadi favorit
adalah ketika Prodo mengejar kecoa. That
was so fun! Sutradara mengarahkan saya untuk mengejar kecoa itu, bukan
hanya menangkapnya. Kemudian, adegan ketika Prodo membaca Koran. Sepanjang
latihan sampai pertunjukan, saya tidak pernah menghafal dialog ini. Rencana
saya adalah menempel lembaran ini di dalam Koran yang akan dibaca oleh Prodo
nantinya. Dalam babak ini, kekonyolan Prodo menurun namun tetap pada standar si
Prodo. Saya memainkannya lebih santai namun tetap harus ada gelak tawa.
“Yang harus
ditangkap itu pembeli bukan penjual!”
___
Dua
hari sebelum lomba di mulai. Ini adalah hari terakhir untuk latihan. Bukan,
bukan latihan. Ini running dimana
semua peserta monolog dari Bengkel Sastra baik yang lomba di FSUNJ maupun di
UIN harus menunjukan hasilnya didepan teman-teman, senior, dan sutrdara
lainnya. Malam ini, semua akan dievaluasi untuk pertunjukan yang matang esok
hari. Ada satu senior yang mengatakan bahwa saya bisa menjadi harapan untuk
maju mewakili menuju Peksimida. Namun saya hanya mengiyakan, toh saya tidak
mencari kemenangan lewat monolog ini melainkan kemenangan pada lomba desain
poster yang sudah terlaksana sebelumnya. Maaf.
Setelah
menampilkan hasil dari latihan selama berminggu-minggu, beberapa kritik dan
saran saya dapat malam itu juga. Pertama, saya masih kurang all out dalam menampilkannya. Lagi-lagi
tertawa yang masih sedikit. Kemudian mengenai gerak yang masih ragu. Tetapi
setelah itu untuk kesekian kalinya, vocal saya disanjung. Beberapa senior
mengatakan saya memiliki bekal vocal yang baik. Maka dari itu, sayang bila saya
tidak total dalam pertunjukan ini. Dan satu hal penting, tempo. Dirasa saya
masih terlalu terburu-buru dalam membawakannya. Oke, let's do it better, baby!
Malam ini juga,
saya berlatih untuk cepat berganti kostum ketika black out dan mulai masuk ke babak selanjutnya.
___
Hari
perlombaan dimulai. Sedari pagi saya sudah menunggu di gedung Sertifikasi Guru
bersama Trisda dan Tiyas. Dua teman yang setia dan kompak saat latian. Cukup
membantu. Sangat membantu. Sangat. Mereka berdua yang menjadi teman saya ketika
latihan pada malam hari. Mereka yang mengantar saya bolak-balik ruang BEM untuk
mengambil koper. Pernah satu malam kami bertiga pulang larut karena saking
asiknya menikmati latihan pada malam itu.
Lanjut
cerita, pagi ini juga segala bentuk riasan dan kostum sudah siap kami kenakan. Saya
adalah peserta nomor urut tujuh. Namun sepertinya saya menjadi nomor urut lima
karena dua orang peserta sebelumnya tidak atau belum datang. Sepanjang menunggu
antrian, saya usahakan untuk menghilangkan gugup dengan terus berbicara baik
sendirian maupun mencari korban yang akan menjadi pendengar saya.
Dan, selalu
begini. Saya kedatangan teman-teman dimana satu diantaranya adalah tamu rutin. Aya,
yang selalu ada disetiap acara yang saya ikuti. Ditemani Dania, Angel, Dini,
dan Uly, mereka datang untuk menyaksikan lomba monolog secara keseluruhan. Tapi
tetap saja, mata kuliah tidak boleh ditinggalkan. Dan, waktunya adalah sama
dengan waktu dimana saya tampil. Setelah ishoma. Sayang sekali. Tapi, tetap
saja kedatangan mereka membuat saya tambah semangat untuk menampilkan yang
terbaik.
This time to show, dengan penataan musik
dan lampu yang mendadak. Baru saja saya di briefing
oleh sang sutradara tentang cara masuk panggung. Ia yang akan memegang
kendali untuk iringan music. Saya harus masuk ketika dua kali irama gitar telah
berbunyi. Namun ketika sudah sampai ditengah panggung, posisi tubuh saya harus
statis sampai lampu nyala dan mulai memasang senyum paling menjijikan yang
pernah orang lihat. Penyesalannya adalah, andaikan saya menjadikan Captain Jack Sparrow sebagai referensi
untuk teknik pemunculan ini, maka senyum pembukaan saya akan lebih disgusting.
Selanjutnya,
dialog yang paling saya suka. “Viva Profesores Prodo!”. Godamn! Pertunjukan terus berjalan hingga adegan dengan dialog, “Saudara-saudara, uang adalah alat pembeli
gelar…”. Dengan bodohnya saya lupa harus berkata apalagi selanjutnya. Hampir
gagap, hampir blank hingga saya skip
menuju dialog terdekat yang saya tahu.
“Dan
dewa penolong itu adalah…Saya!” Dibantu dengan iringan gitar dari sutradara
yang tidak pernah direncanakan sebelumnya, I
do enjoy this part.
Adegan
demi adegan berjalan mulus sesuai dengan rencana. Saya semakin menikmati setiap
dialog yang saya ucapkan. Eye catching yang
tidak pernah lepas selalu saya tujukan ke setiap arah dengan tatapan pasti
walaupun saya tidak melihat penonton karena kondisi ruangan yang gelap. Tapi,
mata saya harus tetap tertuju kepada setiap penonton. Mereka adalah mangsa
pasar saya.
Hingga
tiba pada babak dua, di sel. Lagi-lagi saya harus salut dengan sutradara yang
kini tengah asik dengan gitarnya. Adegan ketika saya merangkak mengejar kecoa. Setiap
langkah saya pasti ada alunan gitar jahil yang mengiringinya. I really do enjoy this part (2), unplanned.
Babak dua pun
berjalan mulus. Tempo yang malam sebelumnya dikira terlalu cepat kini sudah
bisa dihilangkan karena diri saya yang semakin mampu menikmati setiap dialog. Sampai
pada bagian akhir dimana Prodo naik pitam. Saya berdiri beranjak dari koper
yang say tutup dengan jubah wisuda. Menggenggam Koran yang sebelumnya dilempar
oleh sipir dan kembali menghadap sipir dengan meneriakkan, “Yang harus ditangkap itu pembeli bukan penjual!”
___
Dari
sepanjang proses yang saya jalani untuk menjadi seorang Prodo Imitatio, dapat
ditarik benang merahnya bahwa Prodo adalah orang yang berbakat dalam bisnis. Prodo
adalah orang yang sangat cerdik. Ia masih mampu menggerakan tali boneka para
penjual gelar bawahannya walaupun ia ada di dalam penjara.
Selesai
lomba FSUNJ, pengalaman yang tidak bisa saya lupakan. Beberapa hari setelahnya,
pengumuman berlangsung. Menantikan semoga salah satu diantara dua mata lomba
yang saya ikuti mendapatkan satu saja juara. Bukan salah tuhan, do’a dan target
utama saya adalah tentang desain poster.
“Juara satu lomba
desain poster jatuh kepada peserta dengan nomor urut…”
Saya lupa nomor
urutnya, tapi itu adalah nomor urut saya dan nama saya. Sementara untuk lomba
monolog, selamat saya ucapkan kepada Tiyas. Rasa bangga dan bahagia tidak lepas
dari kami. Kami: saya, Tiyas, dan Trisda yang sama-sama berharap satu diantara
kami ada yang menyabet kemenangan akan lomba monolog disini.
Prodo
Imitatio, seorang Bima Dewanto tingkat kotor. Prodo Imitatio adalah saya
kemarin. Sekali lagi untuk kebosanan yang tidak pernah datang saya mengucapkan
terimakasih kepada karakter yang saya mainkan. Dan untuk kali ini, berarti saya
berterimakasih kepada Prodo Imitatio alias Lay Apusi. Dasar kriminal!
“Mereka menjadi orang-orang penting di Manaboa ini!” –Prodo Imitatio