Sabtu, 01 Juli 2017

Tertawa Bersama Prodo


“uang adalah alat pembeli gelar yang paling ampuh dan dahsyat.”
-Prodo Imitatio-

            Lampu masih gelap saat itu, namun iringan gitar sudah mulai mengalun dengan asyiknya. Saya masih menggenggam erat gagang koper di wing panggung aula Sertifikasi Guru lantai 9. Ini adalah hari dimana lomba monolog Festival Seni UNJ dilaksanakan. Beberapa peserta lomba sudah menampilkan penampilan terbaiknya sedari pukul sepuluh pagi tadi. Kini giliran saya yang harus tampil dengan nomor urut tujuh setelah sebelumnya terpotong dengan waktu makan siang. Pada kesempatan kali ini, saya akan membawakan sebuah naskah monolog mahakarya dari kang Arthur S. Nalan yang berjudul Prodo Imitatio. Kenapa harus Prodo Imitatio? Begini.
           
Jauh sebelum lomba ini, kira-kira pertengahan April lalu saya dibebankan dengan tetek bengek ujian dari seleksi Duta Bahasa DKI Jakarta. Termasuk sebuah penampilan bakat yang diagendakan di hari terakhir penilaian. Seperti yang sudah-sudah dan tanpa pikir panjang, saya berniat menampilkan monolog. Maka dari itu, saya mencoba konsltasi dan meminta bantuan seorang senior dari Bengkel Sastra, kak Oji untuk memilihkan satu naskah yang menurutnya pas dibawakan oleh saya ketika hari penampilan nanti. Dengan cepat beliau menawarkan Prodo Imitatio sebagai naskahnya. Saat itu juga saya coba browse di internet dan mulai membacanya esok hari ketika perjalanan ke kampus di kursi belakang sebelah kiri Transjakarta. Prodo Imitatio, naskah yang awalnya saya kira membosankan. Sempat saya remehkan naskah ini karena saya sama sekali tidak merasakan kesan wow ketika membacanya.
            Tapi, seperti yang kita tahu bahwa rasa sayang akan muncul lama kelamaan. Setelah kak Oji bilang bahwa naskah ini membawanya memenangkan Juara 2 Festival Seni UNJ dua tahun lalu dan calon sutradara saya, kak Mussab yang pernah membawakan naskah ini dua kali disaat penampilan untuk ospek dan membawanya pula memenangnkan Juara 3 Festival Seni UNJ di tahun yang sama dengan kak Oji. Saya kira, kak Oji yang akan menyutradarai saya untuk monolog ini. Tapi karena ia sudah sibuk menyutradarai senior saya yang juga sedang mengikuti lomba monolog di UIN, maka saya disarankan untuk meminta bantuan kepada kak Mussab yang sama sekali belum memegang siapapun (saat itu beberapa anggota Bengkel Sastra sedang mengikuti lomba monolog dan membaca puisi di UIN). Jadilah official director of Prodo Imitatio untuk Bima Dewanto di penampilan minat dan bakat Duta Bahasa DKI Jakarta adalah Mussab Askarulloh.
            Tetapi, dalam beberapa waktu naskah ini masih dalam pertimbangan saya. Pasalnya, broadcast tentang Festival Seni UNJ (FSUNJ) baru saja masuk ke ponsel saya dan tidak lama ramai di bicarakan di setiap latihan di Bengkel Sastra. Mata lomba dari FSUNJ antara lain: cipta poster, cipta puisi, cipta esai, cipta cerpen, komik strip, baca puisi, monolog, menyanyi, dan masih banyak lagi. Dengan cepat pasti pilihan saya jatuhkan kepada cipta poster tanpa peduli ada lomba lain didalamnya. Namun, saya sempat merasa senang melihat beberapa anggota Bengkel Sastra yang setiap selesai latihan rutin mereka tambahkan dengan latihan monolog untuk lomba di UIN. Akhirnya saya putuskan untuk mengikuti lomba monolog juga. Di sinilah letak pertimbangan naskahnya yang memakan waktu cukup lama untuk diputuskan. Masalahnya, saya belum tahu naskah apa saja yang dilombakan di FSUNJ. Karena saya tidak mau latihan dua kali dengan naskah yang berbeda antara di seleksi Duta Bahasa dengan FSUNJ. Saya berharap, FSUNJ menyertakan Prodo Imitatio sebagai salah satu naskah yang dibawakan ketika hari nya berlangsung.
            Kebetulan saya tidak begitu peduli dengan seleksi Duta Bahasa. Yang menjadi prioritas saya saat ini sebenarnya lebih condong kepada Festival Seni UNJ ini dimana pemenangnya akan dikirmkan menuju Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) sebagai perwakilan dari UNJ. Maka dari itu, naskah yang akan saya bawakan untuk penampilan di Duta Bahasa tergantung dari naskah yang disediakan di FSUNJ nanti.
            Singkat cerita, saya mulai mendaftarkan nama saya untuk lomba desain poster dan monolog di meja pendaftaran FSUNJ bersama Trisda, kawan yang saya paksa untuk ikut lomba monolog juga. Saat itu juga saya tanyakan tentang naskah apa saja yang harus dibawakan untuk lomba dan voila! Prodo Imitatio ada di dalam tabel daftar naskah monolog di urutan ke lima tepat di bawah naskah Aeng karya Putu Wijaya. Prodo Imitatio karya Arthur S. Nalan, naskah yang akan saya bawakan baik di seleksi Duta Bahasa dan di lomba monolog Festival Seni Universitas Negeri Jakarta.
            Lomba akan dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 2017, sementara penampilan bakat Duta Bahasa akan dilaksankan pada tanggal 4 Mei 2017. Tugas pertama saya adalah untuk memfokuskan terlebih dahulu untuk penampilan di Duta Bahasa. Setidakpedulinya saya terhadap seleksi ini, saya tetap harus menampilkan yang terbaik untuk menunjukan bahwa teater tidak sembarangan di mata para finalis Duta Bahasa yang mayoritas bukan dari jurusan sastra. Saya juga menjadikan penampilan ini sebagai uji coba dan evaluasinya akan digunakan untuk memperbaiki penampilan saat lomba di FSUNJ nanti.
            Latihan hari pertama, saya bertemu dengan sutradara ditemani dua teman saya, Dini dan Trisda yang seharusnya Trisda juga latihan monolog hari ini namun sutradaranya memilih untuk absen. Trisda akan membawakan naskah Anak Kabut karya Putu Wijaya nantinya. Latihan hari ini masih tentang reading dan membahas naskah. Kak Mussab sebagai sutradara mengarahkan dengan amat sangat baik bagi saya untuk dengan mudah mengerti naskah ini. Ia juga mengarahkan dimana penekanan seharusnya diadakan di setiap dialog yang memerlukan.
“…segala sesuatu yang menyangkut pemberian gelar diselesaikan dengan sejumlah uang segala sesuatu yang menyangkut pemberian gelar diselesaikan dengan sejumlah uang…”
            Pada dialog ini dan seterusnya, kata uang harus menjadi permasalahan utama dari naskah ini. Uang adalah alat yang sangat dipentingkan dalam setiap…. Sebentar, saya belum menceritakan tentang naskah ini secara garis besar. Begini.
            Prodo Imitatio adalah seorang professor doktor yang lulus bukan karena kemampuan dan keahliannya melainkan karena uang. Prodo Imitatio juga merupakan rector dari University of Zuzulapan yang berpusat di Amarakua. Terdapat dua babak dalam naskah ini. Pertama disaat Prodo menawarkan sebuah produk kepada semua penonton yang ia anggap sebagai mangsa pasar nya. Produk itu adalah gelar. Prodo menawarkan kepada penonton gelar apa saja mulai dari gelas S1 hingga professor tanpa harus susah payah menjalankan kegiatan akademis melainkan dengan uang. Dalam naskah ini, Prodo juga membuat pengakuan bahwa sebagian besar orang yang telah lulus menjadi doktor merupakan hasil dari penjualan yang dilakukannya. Ia mengatakan bahwa semua orang yang menjadi tokoh besar merupakan output dari bisnis yang ia jalankan. Sebagian besar orang itu lulus bukan karena keahlian mereka melainkan karena permainan uang. Sama seperti masa dimana Prodo menjalankan sekolahnya. Ia hidup dengan uang orangtua yang meradang dan bertebaran di sekolah-sekolah demi membuat anaknya naik kelas walau ia malas dan sering absen.
         
   Pada babak kedua, Prodo mendekam di balik jeruji besi. Di dalam sel, ia tidak merasakan keterpurukan. Ia mengaku bahwa walaupun dirinya mendekam di sini, ia masih memiliki anak buah yang menjalankan bisnis jual gelar di luar sana. Ia menyesalkan kepada penonton akan sistem hukum di negeri yang ia tempati ini. Prodo merasa yakin bahwa yang seharusnya ditahan adalah pembelinya yang kini menjadi orang-orang besar, bukan penjulanya yang kini mendekam di penjara.
            Kembali ke topik pembahasan soal latihan hari pertama. Pada hari ini, latihan belum sampai pada tahap blocking. Saya masih harus belajar tentang penekanan pada naskah dan kalimat penting yang tidak saya lewatkan begitu saja.
            Besoknya, saya datang pagi ke kampus walaupun kuliah dimulai pukul satu siang. Tepat pukul Sembilan saya duduk perpustakaan dengan naskah yang berada di atas meja. Sama seperti halnya menghafal naskah ketika pementasan ‘TIK,’ lalu, kini saya menghafal naskah Prodo Imitatio di perpustakaan juga. Tempat ini sangat nyaman untuk menghafal, suasananya hening. Di sini saya juga membentuk penekanan pada setiap dialog yang saya hafal. Untuk hari ini, target saya hanya menghafal babak satu saja. Latihan selanjutnya adalah lusa dimana saya berencana untuk membawa properti yaitu koper. Dan pada latihan saat itu, sutradara masih tetap menahan saya dalam proses reading belum blocking.
            Pada latihan hari ini, semua teman-teman Bengkel Sastra yang mengikuti lomba monolog di FSUNJ juga latihan bersama sutradaranya masing-masing. Trisda yang membawakan naskah Anak Kabut bersama dengan Tiyas yang membawakan naskah Tolong karya N. Riantiarno. Keduanya dipegang oleh kak Despian. Adi yang membawakan naskah Aeng karya Putu Wijaya disutradarai oleh kak Juanda. Semua focus dengan latihannya masing-masing hari ini. Hari ini juga saya merasa reading pada naskah yang saya bawakan lebih baik dari hari sebelumnya. Namun, satu hal yang membuat saya kaget adalah kedatangan Ical Vrigar yang duduk disamping saya ketika saya membaca naskah bersama sang sutradara. Tanpa pembukaan apa-apa, ia mengatakan bahwa pembacaan saya belum terkesan di telinganya. Ia menyayangkan vocal saya yang bagus namun pembacaan saya yang menurutnya masih belum membuatnya mengerti. Dari sini, saya mulai menyadari kekurangan dan kelebihan yang saya punya. Pertama, naskah Prodo Imitatio adalah naskah komedi dimana setiap dialognya mengharuskan saya untuk bertingkah ceria. Tertawa disetiap dialog harus menjadi ciri khas dari Prodo sendiri. Sedangkan dalam reading hari ini saya merasa bahwa tertawa saya masih sangat sedikit dilakukan. Kedua, saya mulai mengetahui akan vocal saya yang baik dalam berdialog. Memang sangat amat disayangkan jika tidak saya pergunakan dengan baik. Saat itu juga saya berpikir dan langsung meminta kepada sutradara untuk menghentikan latihan hari ini dan berencana untuk mengkaji lagi naskahnya besok bahkan nanti ketika perjalanan pulang saya di Transjakarta.
            Hari sudah semakin dekat dengan penampilan minat dan bakat Duta Bahasa. Saya meutuskan untuk menampikan babak satu dari naskah ini karena waktu yang disediakan panitia tidak memadai, 3 menit. Itupun juga banyak dialog yang saya lewatkan. Semua properti sudah siap mulai dari koper, buku-buku tebal, jubah wisuda, hingga toga. Blocking juga sudah diatur sedemikian rupa untuk penampilan besok. Make up, serahkan kepada bu Rista, senior Bengkel Sastra yang dengan baik hati mau menolong saya dengan datang pagi-pagi ke kampus dan mulai mendandani saya menjadi Prodo Imitatio ala dirinya.
            Dan ini harinya, sedari pukul tujuh foundation dan bedak sudah menempel lekat di wajah saya. Mempersiapkan diri untuk penampilan maksimal yang seharusnya tidak perlu. Tapi dari sinilah ukuran keberhasilan saya membawakan Prodo Imitatio untuk FSUNJ nanti. Setelah naik ke atas panggung, perasaan nervous pasti ada. Namun saya sering menganggap panggung adalah teman saya. Jadi, berbaik hati ya, teman…
            Yang saya senang dari pertunjukan ini adalah tawa dari penonton. Memang tertawa bukanlah tolak ukur keberhasilan suatu pementasan, namun suara tawa yang saya dengan mampu membuat saya lebih semangat dalam membawakan dialog selanjutnya. Saya mengartikan tawa adalah respon dari penonton dan tanda bahwa mereka masih konsisten menatap saya di atas panggung.  
“Salam Imitatio! Viva Profesores Prodo!”
___
Fokus menuju Festival Seni UNJ. Semua peserta latihan setiap malam setelah latihan rutin Bengkel Sastra. Blocking yang saya lakukan sudah full dari awal hingga akhir. Hanya tinggal mengembangkannya setiap latihan.
“Viva Profesores Prodo!”
Kata ‘viva’ yang saya teriakan merupakan satu dari dialog paling favorit yang saya suka. Selanjutnya adalah tertawa dan terus tertawa sepanjang pertunjukan. Yang saya kagumkan dari sutradara yang mampu membentuk karakter Prodo baik sesuai keinginannya dan kemampuan saya. Prodo ala Bima adalah Prodo yang memiliki kecakapan dalam marketing communication. Prodo yang sangat pintar merayu orang untuk membeli produknya hanya dengan mulut manis yang menjanjikan. Hingga jadilah saya disebut sebagai Bima The Salesman.
Pertama kali saya menemukan bahwa Prodo adalah sales marketing dengan komunikasi yang bagus, referensi saya langsung tertuju kepada salah satu perusahaan yang pernah meminta saya untuk mendesain kemasan produknya. Perusahaan yang sebagian besar adalah teman-teman sekolah saya. Perusahaan yang pernah mempersilakan saya menyaksikan bagaimana para sales nya latihan untuk mempresentasikan kepada mangsa pasar untuk membeli produknya. Voila! Tidak cukup dari situ, saya langsung mengingat kembali seseorang yang mampu bernegosiasi dengan baik. Yaitu salah satu teman saya ketika bekerja di salah satu hotel di bilangan Kebayoran Lama.
Hingga terbentuklah karakter salesman yang saya inginkan. Selanjutnya tinggal bagaimana memainkan beberapa monoplay yang tedapat dalam naskah ini. Sebenarnya ada dua monoplay yaitu sebagai ibu Prodo dan sebagai Sipir. Tapi saya menambahkan dua monoplay dan menghilangkan dialog sipir. Monoplay pertama adalah ketika Prodo menceritakan tentang sejarah pemberian gelar. Dalam naskah, Prodo menceritakan sejarah ketika masa kerajaan. Di sini saya berubah menjadi seorang dalang Jawa yang menceritakan sejarah itu. Kemudian di dalam naskah, Prodo menceritakan sejarah di masa penjajahan. Tidak lain saya bertransformasi lagi menjadi seorang Belanda yang seakan-akan menceritakannya. Kemudian pada adegan selanjutnya dimana ibu Prodo memanggilnya untuk berangkat ke sekolah.
Selanjutnya, adalah adegan ketika Prodo bernyanyi. Saya sengaja menghilangkan dialog ini karena saya rasa susah untuk membuat dialog ini terdengar menarik bagi saya. Bahkan saya merasa dialog saat Prodo bernyanyi akan terkesan garing karena liriknya yang diganti.
Masuk kepada babak dimana Prodo sudah berada di dalam sel. Yang menjadi favorit adalah ketika Prodo mengejar kecoa. That was so fun! Sutradara mengarahkan saya untuk mengejar kecoa itu, bukan hanya menangkapnya. Kemudian, adegan ketika Prodo membaca Koran. Sepanjang latihan sampai pertunjukan, saya tidak pernah menghafal dialog ini. Rencana saya adalah menempel lembaran ini di dalam Koran yang akan dibaca oleh Prodo nantinya. Dalam babak ini, kekonyolan Prodo menurun namun tetap pada standar si Prodo. Saya memainkannya lebih santai namun tetap harus ada gelak tawa.
“Yang harus ditangkap itu pembeli bukan penjual!”
___
            Dua hari sebelum lomba di mulai. Ini adalah hari terakhir untuk latihan. Bukan, bukan latihan. Ini running dimana semua peserta monolog dari Bengkel Sastra baik yang lomba di FSUNJ maupun di UIN harus menunjukan hasilnya didepan teman-teman, senior, dan sutrdara lainnya. Malam ini, semua akan dievaluasi untuk pertunjukan yang matang esok hari. Ada satu senior yang mengatakan bahwa saya bisa menjadi harapan untuk maju mewakili menuju Peksimida. Namun saya hanya mengiyakan, toh saya tidak mencari kemenangan lewat monolog ini melainkan kemenangan pada lomba desain poster yang sudah terlaksana sebelumnya. Maaf.
            Setelah menampilkan hasil dari latihan selama berminggu-minggu, beberapa kritik dan saran saya dapat malam itu juga. Pertama, saya masih kurang all out dalam menampilkannya. Lagi-lagi tertawa yang masih sedikit. Kemudian mengenai gerak yang masih ragu. Tetapi setelah itu untuk kesekian kalinya, vocal saya disanjung. Beberapa senior mengatakan saya memiliki bekal vocal yang baik. Maka dari itu, sayang bila saya tidak total dalam pertunjukan ini. Dan satu hal penting, tempo. Dirasa saya masih terlalu terburu-buru dalam membawakannya. Oke, let's do it better, baby!
            Malam ini juga, saya berlatih untuk cepat berganti kostum ketika black out dan mulai masuk ke babak selanjutnya.
___
            Hari perlombaan dimulai. Sedari pagi saya sudah menunggu di gedung Sertifikasi Guru bersama Trisda dan Tiyas. Dua teman yang setia dan kompak saat latian. Cukup membantu. Sangat membantu. Sangat. Mereka berdua yang menjadi teman saya ketika latihan pada malam hari. Mereka yang mengantar saya bolak-balik ruang BEM untuk mengambil koper. Pernah satu malam kami bertiga pulang larut karena saking asiknya menikmati latihan pada malam itu.
            Lanjut cerita, pagi ini juga segala bentuk riasan dan kostum sudah siap kami kenakan. Saya adalah peserta nomor urut tujuh. Namun sepertinya saya menjadi nomor urut lima karena dua orang peserta sebelumnya tidak atau belum datang. Sepanjang menunggu antrian, saya usahakan untuk menghilangkan gugup dengan terus berbicara baik sendirian maupun mencari korban yang akan menjadi pendengar saya.
Dan, selalu begini. Saya kedatangan teman-teman dimana satu diantaranya adalah tamu rutin. Aya, yang selalu ada disetiap acara yang saya ikuti. Ditemani Dania, Angel, Dini, dan Uly, mereka datang untuk menyaksikan lomba monolog secara keseluruhan. Tapi tetap saja, mata kuliah tidak boleh ditinggalkan. Dan, waktunya adalah sama dengan waktu dimana saya tampil. Setelah ishoma. Sayang sekali. Tapi, tetap saja kedatangan mereka membuat saya tambah semangat untuk menampilkan yang terbaik.
This time to show, dengan penataan musik dan lampu yang mendadak. Baru saja saya di briefing oleh sang sutradara tentang cara masuk panggung. Ia yang akan memegang kendali untuk iringan music. Saya harus masuk ketika dua kali irama gitar telah berbunyi. Namun ketika sudah sampai ditengah panggung, posisi tubuh saya harus statis sampai lampu nyala dan mulai memasang senyum paling menjijikan yang pernah orang lihat. Penyesalannya adalah, andaikan saya menjadikan Captain Jack Sparrow sebagai referensi untuk teknik pemunculan ini, maka senyum pembukaan saya akan lebih disgusting.
Selanjutnya, dialog yang paling saya suka. “Viva Profesores Prodo!”. Godamn! Pertunjukan terus berjalan hingga adegan dengan dialog, “Saudara-saudara, uang adalah alat pembeli gelar…”. Dengan bodohnya saya lupa harus berkata apalagi selanjutnya. Hampir gagap, hampir blank hingga saya skip menuju dialog terdekat yang saya tahu.
“Dan dewa penolong itu adalah…Saya!” Dibantu dengan iringan gitar dari sutradara yang tidak pernah direncanakan sebelumnya, I do enjoy this part.
Adegan demi adegan berjalan mulus sesuai dengan rencana. Saya semakin menikmati setiap dialog yang saya ucapkan. Eye catching yang tidak pernah lepas selalu saya tujukan ke setiap arah dengan tatapan pasti walaupun saya tidak melihat penonton karena kondisi ruangan yang gelap. Tapi, mata saya harus tetap tertuju kepada setiap penonton. Mereka adalah mangsa pasar saya.
Hingga tiba pada babak dua, di sel. Lagi-lagi saya harus salut dengan sutradara yang kini tengah asik dengan gitarnya. Adegan ketika saya merangkak mengejar kecoa. Setiap langkah saya pasti ada alunan gitar jahil yang mengiringinya. I really do enjoy this part (2), unplanned.
Babak dua pun berjalan mulus. Tempo yang malam sebelumnya dikira terlalu cepat kini sudah bisa dihilangkan karena diri saya yang semakin mampu menikmati setiap dialog. Sampai pada bagian akhir dimana Prodo naik pitam. Saya berdiri beranjak dari koper yang say tutup dengan jubah wisuda. Menggenggam Koran yang sebelumnya dilempar oleh sipir dan kembali menghadap sipir dengan meneriakkan, “Yang harus ditangkap itu pembeli bukan penjual!”
___
            Dari sepanjang proses yang saya jalani untuk menjadi seorang Prodo Imitatio, dapat ditarik benang merahnya bahwa Prodo adalah orang yang berbakat dalam bisnis. Prodo adalah orang yang sangat cerdik. Ia masih mampu menggerakan tali boneka para penjual gelar bawahannya walaupun ia ada di dalam penjara.
            Selesai lomba FSUNJ, pengalaman yang tidak bisa saya lupakan. Beberapa hari setelahnya, pengumuman berlangsung. Menantikan semoga salah satu diantara dua mata lomba yang saya ikuti mendapatkan satu saja juara. Bukan salah tuhan, do’a dan target utama saya adalah tentang desain poster.
            “Juara satu lomba desain poster jatuh kepada peserta dengan nomor urut…”
            Saya lupa nomor urutnya, tapi itu adalah nomor urut saya dan nama saya. Sementara untuk lomba monolog, selamat saya ucapkan kepada Tiyas. Rasa bangga dan bahagia tidak lepas dari kami. Kami: saya, Tiyas, dan Trisda yang sama-sama berharap satu diantara kami ada yang menyabet kemenangan akan lomba monolog disini.
            Prodo Imitatio, seorang Bima Dewanto tingkat kotor. Prodo Imitatio adalah saya kemarin. Sekali lagi untuk kebosanan yang tidak pernah datang saya mengucapkan terimakasih kepada karakter yang saya mainkan. Dan untuk kali ini, berarti saya berterimakasih kepada Prodo Imitatio alias Lay Apusi. Dasar kriminal!
“Mereka menjadi orang-orang penting di Manaboa ini!” –Prodo Imitatio
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.