Sabtu, 16 Desember 2017

Naskah Monolog: Kandidat (-7)


Seseorang berseragam SMA duduk bersandar pada tiang ring basket. Dimainkannya bola basket yang dipegangnya sambil menatap awan diatasnya. Yang ia duduki adalah lapangan basket dengan garis lapangan tegas terang dan di depannya terdapat ring basket kedua namun lebih jelek (berkarat, cat nya luntur, jaringnya robek).
BUNYI BEL SEKOLAH
Ah masuk! (Berbicara kepada penonton) Teman-teman, ayo masuk! Sudah bel!
Ia hendak pergi meninggalkan lapangan. Namun ketia sampai didepan tiang basket yang jelek, langkahnya terhenti.
Ah ini lagi! (Memperhatikan tiang itu dengan seksama. Dilihatnya dari bawah sampai atas. Dielus-elus tak sekali dicium bau besi berkarat yang sering kena hujan itu). Dasar, pejabat tidak bertanggung jawab! Sudah tahu ada yang rusak, tapi masih saja didiamkan seperti ini. Lama-lama karat menggerogoti besi ini terus rontok dan jatuh menimpa kepala mereka, awas saja. Saya orang yang tertawa paling keras! Hahaha!!!
Memang kelakuan manusia sekarang seperti itu. Mereka tidak pernah sadar kalau ada hal yang rusak. Mereka tidak pernah sadar kalau ada yang luka. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana melewati hari agar terus tetap duduk di posisinya saat ini. Lihat kan tiang basket ini? Jelek sekali keliatannya. Tapi bapak dan ibu bagian sarpras itu enggan untuk memperindah tiang ini lagi. Yang mereka pikirkan hanyalah datang ke sekolah-duduk di belakang meja-pulang-sambil menghitung hari dan menyambut tanggal gajian. Apa? Eh saya bukannya durhaka sama guru. Tapi ini pengalaman yang saya alami setiap saya mau minta izin buat minjem barang untuk keperluan acara OSIS. Birokrasi selalu dijadikan alas an, padahal saya Cuma mau minjem mikrofon satu biji! Bilang aja kalo males ngambil di gudang. Ya kan saya bisa ambil sendiri, gak usah nunggu mereka.
Lihat saja, masa kepengurusan OSIS selanjutnya, saya akan lebih berani untuk memaksa mereka agar melayani kami lebih baik sebagai babu sekolah. Memang mereka ini tidak sadar apa kalau kami ini yang selalu sibuk membuat acara agar nama sekolahnya juga yang bagus. Berkat kami juga, akreditasi sekolah sekarang jadi A. OSIS juga berperan penting sebagai penghubung antara birokrat dengan siswa. Ah! Susah, dasar penyakit. Tapi teman-teman tahu kan, ini yang menjadi penyakit sekolah kita sekarang. Masa Pembina OSIS enggan mengizinkan anak-anaknya membuat acara di sekolah. Alasannya simple, mereka hanya tidak mau datang saat hari libur. Katanya mereka juga punya keluarga, mereka punya anak. Heh! Bu, pak, kalo begitu mending gak usah jadi Pembina kami! 30% gaji tambahan sebagai Pembina OSIS yang diberikan Negara untuk apa?
Tapi… Buat apa saya marah-marah disini. Buat apa juga saya masih memikirkan kepengurusan OSIS selanjutnya. Wong saya ini bukan ketua OSIS nya kok. Saya Cuma kandidat yang lebih sedikit suaranya. Heh! Bukan! Bukan kalah! Enak saja! Saya tidak kalah! Saya tidak gagal!
Memang kalian lihat hasil perhitungan suara kemarin? Lihat tidak? Hahahaha… saya hanya kurang 7 suara dari kandidat yang satu. Yah memang, untuk kalian-kalian yang tidak tahu apa-apa, pasti kalian langsung mengira kalau saya ini kalah pemilihan. Untuk kalian-kalian yang tidak peduli apa-apa, pasti kalian langsung mengira kalau saya gagal dalam pemilihan kali ini. Tapi sebenarnya, saya menang!
Hahaha.. saya tahu pasti kalian mengira kalau saya ini sombong, kalau saya ini angkuh, kalau saya ini besar kepala. Nah, biar kita sama-sama enak, mungkin saya ceritakan dulu kenapa saya menganggap kalau diri saya adalah pemenang dalam pemilihan kemarin. Tapi, perlu teman-teman ketahui, kalau pemenang dan kandidat terpilih adalah sebuah perbedaan.
Awalnya, saya tidak mengira kalau Jafar, ketua OSIS yang baru terpilih kemarin hendak mencalonkan diri. Jangankan saya, semua teman-teman seperjuangan saya di OSIS pun tidak pernah terbesit sekalipun pikiran kalau nanti ia yang akan menjadi kepala kami. Padahal si Jafar ini adalah orang yang senangnya berpindah-pindah organisasi. Maka tidak jarang ia selalu absen setiap OSIS mengadakan rapat atau acara. Bagaimana tidak? Setiap ditanya kemana, pasti dia jawab…
“Saya ada rapat di Teater; saya ada kunjungan untuk Pecinta Alam; saya ada kajian di rohis”.
Nah, teman-teman pasti akan bertanya-tanya tentang loyalitasya. Dimana sebenarnya loyalitasnya untuk organisasi yang nanti akan ia kepalai ini. Beda dengan saya, saya hanya ikut dua organisasi yaitu teater dan OSIS. Teman-teman mengenal saya sebagai actor yang baik di teater dan pengurus yang taat di OSIS. Nah, dari situ saya merasa bahwa saya selalu punya ikon dari dua organisasi yang saya jalani itu. Tidak dengan Jafar, pasti kalian bingung dan enggan memikirkan siapa Jafar untuk perannya baik di sekolah maupun di organisasi yang banyak ia jalani itu. Mungkin orang-orang akan menganggapnya bagus dan kagum dengan pembagian waktu Jafar menjalani organisasi yang banyak itu. Tapi tidak dengan saya dan orang-orang yang paham betul arti loyalitas.
Hmmm sampai mana tadi… Oh iya, pencalonan itu. Ketika saya tahu kalau Jafar adalah salah satu kandidat, tidak ada rasa resah sedikitpun dari saya. Tidak ada pikiran di benak saya bahwa nantinya ia akan mengalahkan saya di pemilihan. Tapi hari demi hari menjelang masa kampanye, teman-teman di OSIS yang dekat dengan saya bercerita tentang apa-apa yang dilakukan Jafar. Kata mereka, Jafar mengirim pesan kepada teman-teman satu angkatannya yang sebelumnya tidak pernah ia kenal untuk meminta restu agar bisa naik menjadi ketua OSIS. Tapi saya bukanlah orang yang sembarangan seudzon dan gampang percaya. Saya Tanya kepada beberapa teman saya yang bukan pengurus OSIS, dan apa kata mereka? Mereka pun juga bingung, kenapa seorang Jafar yang kesehariannya adalah pribadi yang tertutup dan kuper mau mengirim pesan ke seluruh teman satu angkatan untuk mendukungnya menjadi ketua OSIS?
Tidak hanya itu teman-teman sekalian, asal kalian tahu. Semenjak awal menjabat sebagai pengurus OSIS, partisipasinya sangat sedikit. Ia hanya menjalani dua proker setelah itu ia hilang pergi ke organisasinya yang lain. Padahal saat itu OSIS sedang dilanda masalah. OSIS sedang genting keadaannya. Angkatan saya sebagai junior saat itu menuntut kinerja senior kami yang sangat minim. Kami menangis bersama meminta, meraung, memohon kepada senior kami untuk tidak hanya mengawasi tapi juga membimbing. Kami merasa ini adalah budaya yang jelek di OSIS. Senior yang kerjanya hanya mengeval kinerja kami, tapi mereka tidak ikut meringankan beban yang kami kerjakan setiap proker. Dimana Jafar saat itu? Tidak ada!
Lalu kapan ia kembali ke OSIS? Kapan? Ya, saat masa orientasi. Masa dimana masuknya siswa-siswi baru ke sekolah kami. Masa dimana masuknya gelas-gelas kosong yang belum mengerti apa-apa tentang kehidupan di sekolah kami. Saat itu, Jafar kembali. Dan tidak tanggung-tanggung, ia mengambil kendali menjadi pembawa acara pada masa itu. Ia mengambil kendali sebagai orang yang paling pertama dipandang oleh anak-anak baru. Sebagai seorang ‘kakak baik’;’kakak tampan’ bagi anak baru. Beda dengan saya, sebagai ketua pelaksana masa orientasi itu, saya memiliki goals. Saya tidak ingin anak-anak itu menjadi pribadi yang manja, menjadi pribadi yang lenjeh, menjadi pribadi yang ingin manisnya saja. Maka dari itu, saya dituntut tegas untuk mendidik mereka. Dan ini, pasti tegas yang saya maksud adalah ‘galak’ yang kalian lihat, iya kan?
Padahal saya hanya ingin membangun karakter siswa yang kuat. Bukan yang menye-menye. Tapi anak-anak baru itu malah menganggap bahwa saya adalah kakak yang galak. Buktinya saya mendengar sebuah percakapan antara teman saya dan salah satu anak baru yang bergabung dalam teater di sekolah saya. Katanya seperti ini.
“Kelas saya mah sepakat pilih kak Jafar semua. Dia ramah, baik, gak galak kaya kak Adli.”
Dari situ, dari situ saya mulai resah kalau-kalau Jafar yang akan menang pemilihan nanti. Saya takut, saya sedih, saya kalut… Ya ampun tuhan! OSIS, organisasi yang melahirkan pribadi baik saya, organisasi yang melambungkan nama saya, organisasi yang menjadi tempat berjuang saya akan dipimpin oleh orang yang tidak memiliki raga di OSIS nantinya. Akan dikepalai oleh orang yang tidak tahu ada luka di sini, orang yang tidak paham ada retakan di sini, orang yang tidak peka ada penyakit disini. Bahkan orang yang tidak kenal teman-teman pengurus lainnya. Sara, Jesi, Angga, Niko, Nisa, dan teman-teman pengurus yang lain adalah keluarga saya, adalah sahabat saya, adalah organ tubuh saya. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa hadir dalam hari-hari buruk saya. Mereka adalah pahlawan bagi saya, mereka segalanya.
Tuhan! Mereka akan dikepalai oleh orang yang tidak mereka kenal. Mereka akan dikepalai orang orang yang tidak mengenal mereka. Mereka akan dikepalai oleh orang yang tidak kenal rumahnya. Mereka akan dikepalai oleh orang yang tidak pernah berjuang bersama mereka. Kami menyayangi OSIS sebagaimana rumah kami. Banyak cerita yang kami ukir disana. Banyak kisah yang kami pahat disana. Banyak harapan yang kami doakan disana. Tapi tidak dengan ini. Ahhhh, saya benci politik!
“Adli, niat kamu sangat baik untuk menyembuhkan luka yang ada pada rumah kamu saat ini. Niat kamu sangat mulia untuk menghilangkan retakan yang ada sekarang. Dan kebanggaan besar bagi kami ketika kamu memberanikan diri untuk menyalokan diri kamu sebagai pemimpin kami nanti. Harapan besar kami ada pada kamu. Kami percaya kamu bisa memperbaiki kesalahan yang ada pada OSIS saat ini. Kami percaya kamu adalah orang yang tepat untuk membawa perubahan. Tapi satu yang harus kamu ingat, sekarang ini kamu sedang dalam masa pesta demokrasi. Sekarang ini kamu sedang dalam masa dimana seluruh warga sekolah akan mudah dihipnotis dengan janji-janji kampanye dan seluruh atribut untuk mencuri hati mereka. Teman, senior, dan adik kelas yang kita didik kemarin akan kosong pikirannya. Dan kamu harus berbuat yang sama seperti kandidat lainnya, seperti Jafar. Kamu harus bisa mengambil perhatian mereka. Kamu harus menyebarkan janji-janji kampanye seperti calon-calon presiden kemarin. Buat program kamu semuluk-muluknya agar warga sekolah bisa tertipu daya dengan kampanye yang kamu lakukan. Ini demi kami, demi OSIS. Yang menentukan kamu menang atau tidak adalah suara dari mereka, bukan dari kami sebagai sahabatmu.“
Tidak! Tidak! Ah… Saya butuh kejujuran. Saya butuh keadilan. Saya hanya ingin terpilih sebagai ketua dengan berbekal kepercayaan dari warga sekolah, bukan karena janji kampanye. Saya percaya, apa yang saya lakukan selama satu tahun di sekolah ini akan mampu membuat mereka percaya kalau saya bisa memimpin OSIS. Saya yang menghapus larangan junior tidak boleh lewat di tengah lapangan, saya yang mengepalai mereka untuk berani duduk di kantin tanpa harus takut dengan senior, saya yang menjadikan OSIS sebagai organisasi penyalur bakat mereka, saya yang membuat OSIS sebagai organisasi yang terbuka akan kritik dan saran bagi mereka. Saya yang… saya yang… akhhhhh!!!!
Saya tidak ingin menjadi ketua yang terpilih karena janji kampanye seperti para pemimpin Negara saat ini. Saya hanya ingin menjadi pemimpin yang dipilih karena ketulusan, karena kenal siapa saya, karena tahu apa yang akan saya lakukan. Saya tidak melakukan kampanye. Saya tidak menyebarkan pamphlet yang berisikan ajakan untuk memilih saya. Saya tidak mengirim pesan kepada kalian, kepada teman-teman saya. Saya tidak berpura-pura baik di depan anak baru. Saya percaya, tanpa saya harus menyuarakan rencana muluk seorang kandidat, saya akan menang menjadi ketua OSIS yang dipilih karena kepercayaan warga sekolah akan saya. Saya percaya. Iya, saya percaya!
Tetapi… Saat itu, sore hari di aula ketika waktu penghitungan suara. Saya duduk disamping salah satu teman saya. Mereka bercanda meledek saya karena saat itu jumlah suara yang saya dapat lebih unggul dari Jafar. Perhitungan terus berjalan, suara saya bertambah terus. Peluh saya mulai bermunculan menerka-nerka apa suara saya terus berjalan atau malah Jafar akan menyusul di depan. Di samping itu, saya juga berpikir tentang cabinet yang nantinya akan saya bentuk ketika menang pemilihan nanti. Rasa senang dan gelisah menjadi satu disitu. Akhirnya saya putuskan untuk pergi dari aula menuju ruang OSIS. Saya berniat untuk duduk dan menenangkan diri sambil menunggu hasilnya. Saya ingin tenang. Saya ingin rileks. Tapi suara penghitungan suara lewat speaker di aula masih saja terdengar dari sini. Walau samar-samar, tapi saya masih bisa mendengar nama siapa saja yang terus disebut.
Hingga akhirnya, speaker berbunyi.
“Lembar terakhir, no.urut 2….”
Lalu hening. Lalu diam. Lalu senyap. Apa speaker itu mati? Apa speaker itu rusak? Masih hening. Masih diam. Masih senyap. Apa suara sedang dihitung jumlahnya? Apa sebanyak itukan perolehan yang didapat? Apa setipis itukah perbandingannya. Terus hening, terus diam, terus senyap. Kemudian bunyi kresek-kresek speaker bunyi lagi…
“Ya…”
“Dan… setelah perhitungan, maka Ketua OSIS Periode 2018 akan dipimpin oleh Jafar!”
Hahahahaha…. Saya gagal! Saya pecundang! Saya kalah! Hahaha… Tidak lama setelah itu, mereka datang. Mereka yang menemani perjalanan saya di organisasi ini merangkul saya erat. Memeluk saya dengan hangatnya. Ditambah basah airmata yang membuat saya ikut meneteskannya. Kemudian saya Tanya, “berapa suara yang saya dapat?” Enam puluh tiga kata mereka. Sementara Jafar mendapat 70 suara. Lalu saya lepaskan pelukan mereka dan menatap mereka penuh keyakinan. Mata mereka masih sembab karena tangisan. Wajah mereka masih merah. Dengan yakin saya katakana kepada mereka…
“63 suara yang saya dapat adalah hasil dari kerja keras yang saya lakukan semenjak saya menginjakan kaki di sekolah ini. Saya tidak kampanye, saya tidak obral janji, saya bertindak selayakanya tidak ada pemilihan. 63 suara yang saya dapat berasal dari orang-orang yang mengenal betul siapa saya, orang-orang yang tahu apa tujuan saya, orang-orang yang percaya dengan saya. 63 suara yang saya dapat adalah mereka yang tidak mudah percaya dengan janji politik. 63 suara yang saya dapat adalah orang yang jatuh hati dengan kinerja saya. 63 suara yang saya dapat berasal dari orang-orang yang percaya bahwa saya bukanlah kakak galak. 63 suara yang saya dapat adalah orang-orang yang senantiasa bersama saya.”
“70 suara yang didapat oleh Jafar adalah hasil jual diri, adalah hasil obral janji, adalah hasil memakai topeng, adalah hasil haus akan posisi, adalah hasil akan nafsu memimpin.”
Dia memimpin, tapi tidak menang dalam pemilihan. Karena juara sesungguhnya adalah ia yang bertahan sebagaimana dirinya sendiri.
Lihat kan teman-teman, sudah hampir satu jam kita disini. Sedangkan bel masuk sudah berbunyi dari tadi. Lihat kan betapa tidak pedulinya guru-guru kita terhadap muridnya yang masih keluyuran di jam pelajaran. Bukannya ditegur, malah cuek saja. Saya yakin, pasti mereka masih enak-enakan melihat-lihat catalog Oriflame di ruang guru. Atau masih sibuk merencanakan jalan-jalan ke luar kota dengan motif rapat kerja. Haduh….
Sudah teman-teman, ayo kita masuk kelas. Eh, itu yang dasinya jelek tidak usah dipakai. Nanti kalian malah dipaksa untuk beli dasi baru di koperasi.
Seseorang itu kemudian meninggalkan lapangan dengan berlari perlahan. Lampu perlahan-lahan fade out namun masih mennjukan sisi terang di tiang basket yang jelek tadi.
Tamat

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.