Seseorang
berseragam SMA duduk bersandar pada tiang ring basket. Dimainkannya bola basket
yang dipegangnya sambil menatap awan diatasnya. Yang ia duduki adalah lapangan
basket dengan garis lapangan tegas terang dan di depannya terdapat ring basket
kedua namun lebih jelek (berkarat, cat nya luntur, jaringnya robek).
BUNYI BEL
SEKOLAH
Ah masuk! (Berbicara
kepada penonton) Teman-teman, ayo masuk! Sudah bel!
Ia hendak pergi
meninggalkan lapangan. Namun ketia sampai didepan tiang basket yang jelek,
langkahnya terhenti.
Ah ini lagi! (Memperhatikan
tiang itu dengan seksama. Dilihatnya dari bawah sampai atas. Dielus-elus tak
sekali dicium bau besi berkarat yang sering kena hujan itu). Dasar, pejabat
tidak bertanggung jawab! Sudah tahu ada yang rusak, tapi masih saja didiamkan
seperti ini. Lama-lama karat menggerogoti besi ini terus rontok dan jatuh
menimpa kepala mereka, awas saja. Saya orang yang tertawa paling keras!
Hahaha!!!
Memang kelakuan manusia sekarang seperti itu. Mereka
tidak pernah sadar kalau ada hal yang rusak. Mereka tidak pernah sadar kalau
ada yang luka. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana melewati hari agar terus
tetap duduk di posisinya saat ini. Lihat kan tiang basket ini? Jelek sekali
keliatannya. Tapi bapak dan ibu bagian sarpras itu enggan untuk memperindah
tiang ini lagi. Yang mereka pikirkan hanyalah datang ke sekolah-duduk di
belakang meja-pulang-sambil menghitung hari dan menyambut tanggal gajian. Apa?
Eh saya bukannya durhaka sama guru. Tapi ini pengalaman yang saya alami setiap
saya mau minta izin buat minjem barang untuk keperluan acara OSIS. Birokrasi
selalu dijadikan alas an, padahal saya Cuma mau minjem mikrofon satu biji!
Bilang aja kalo males ngambil di gudang. Ya kan saya bisa ambil sendiri, gak
usah nunggu mereka.
Lihat saja, masa kepengurusan OSIS selanjutnya, saya
akan lebih berani untuk memaksa mereka agar melayani kami lebih baik sebagai
babu sekolah. Memang mereka ini tidak sadar apa kalau kami ini yang selalu
sibuk membuat acara agar nama sekolahnya juga yang bagus. Berkat kami juga,
akreditasi sekolah sekarang jadi A. OSIS juga berperan penting sebagai
penghubung antara birokrat dengan siswa. Ah! Susah, dasar penyakit. Tapi
teman-teman tahu kan, ini yang menjadi penyakit sekolah kita sekarang. Masa Pembina
OSIS enggan mengizinkan anak-anaknya membuat acara di sekolah. Alasannya simple,
mereka hanya tidak mau datang saat hari libur. Katanya mereka juga punya
keluarga, mereka punya anak. Heh! Bu, pak, kalo begitu mending gak usah jadi Pembina
kami! 30% gaji tambahan sebagai Pembina OSIS yang diberikan Negara untuk apa?
Tapi… Buat apa saya marah-marah disini. Buat apa
juga saya masih memikirkan kepengurusan OSIS selanjutnya. Wong saya ini bukan
ketua OSIS nya kok. Saya Cuma kandidat yang lebih sedikit suaranya. Heh! Bukan!
Bukan kalah! Enak saja! Saya tidak kalah! Saya tidak gagal!
Memang kalian lihat hasil perhitungan suara kemarin?
Lihat tidak? Hahahaha… saya hanya kurang 7 suara dari kandidat yang satu. Yah
memang, untuk kalian-kalian yang tidak tahu apa-apa, pasti kalian langsung
mengira kalau saya ini kalah pemilihan. Untuk kalian-kalian yang tidak peduli
apa-apa, pasti kalian langsung mengira kalau saya gagal dalam pemilihan kali
ini. Tapi sebenarnya, saya menang!
Hahaha.. saya tahu pasti kalian mengira kalau saya
ini sombong, kalau saya ini angkuh, kalau saya ini besar kepala. Nah, biar kita
sama-sama enak, mungkin saya ceritakan dulu kenapa saya menganggap kalau diri
saya adalah pemenang dalam pemilihan kemarin. Tapi, perlu teman-teman ketahui,
kalau pemenang dan kandidat terpilih adalah sebuah perbedaan.
Awalnya, saya tidak mengira kalau Jafar, ketua OSIS
yang baru terpilih kemarin hendak mencalonkan diri. Jangankan saya, semua
teman-teman seperjuangan saya di OSIS pun tidak pernah terbesit sekalipun
pikiran kalau nanti ia yang akan menjadi kepala kami. Padahal si Jafar ini
adalah orang yang senangnya berpindah-pindah organisasi. Maka tidak jarang ia
selalu absen setiap OSIS mengadakan rapat atau acara. Bagaimana tidak? Setiap ditanya
kemana, pasti dia jawab…
“Saya ada rapat di Teater; saya ada kunjungan untuk
Pecinta Alam; saya ada kajian di rohis”.
Nah, teman-teman pasti akan bertanya-tanya tentang
loyalitasya. Dimana sebenarnya loyalitasnya untuk organisasi yang nanti akan ia
kepalai ini. Beda dengan saya, saya hanya ikut dua organisasi yaitu teater dan
OSIS. Teman-teman mengenal saya sebagai actor yang baik di teater dan pengurus
yang taat di OSIS. Nah, dari situ saya merasa bahwa saya selalu punya ikon dari
dua organisasi yang saya jalani itu. Tidak dengan Jafar, pasti kalian bingung dan
enggan memikirkan siapa Jafar untuk perannya baik di sekolah maupun di
organisasi yang banyak ia jalani itu. Mungkin orang-orang akan menganggapnya
bagus dan kagum dengan pembagian waktu Jafar menjalani organisasi yang banyak
itu. Tapi tidak dengan saya dan orang-orang yang paham betul arti loyalitas.
Hmmm sampai mana tadi… Oh iya, pencalonan itu. Ketika
saya tahu kalau Jafar adalah salah satu kandidat, tidak ada rasa resah
sedikitpun dari saya. Tidak ada pikiran di benak saya bahwa nantinya ia akan
mengalahkan saya di pemilihan. Tapi hari demi hari menjelang masa kampanye,
teman-teman di OSIS yang dekat dengan saya bercerita tentang apa-apa yang
dilakukan Jafar. Kata mereka, Jafar mengirim pesan kepada teman-teman satu
angkatannya yang sebelumnya tidak pernah ia kenal untuk meminta restu agar bisa
naik menjadi ketua OSIS. Tapi saya bukanlah orang yang sembarangan seudzon dan
gampang percaya. Saya Tanya kepada beberapa teman saya yang bukan pengurus
OSIS, dan apa kata mereka? Mereka pun juga bingung, kenapa seorang Jafar yang
kesehariannya adalah pribadi yang tertutup dan kuper mau mengirim pesan ke
seluruh teman satu angkatan untuk mendukungnya menjadi ketua OSIS?
Tidak hanya itu teman-teman sekalian, asal kalian
tahu. Semenjak awal menjabat sebagai pengurus OSIS, partisipasinya sangat
sedikit. Ia hanya menjalani dua proker setelah itu ia hilang pergi ke
organisasinya yang lain. Padahal saat itu OSIS sedang dilanda masalah. OSIS
sedang genting keadaannya. Angkatan saya sebagai junior saat itu menuntut
kinerja senior kami yang sangat minim. Kami menangis bersama meminta, meraung,
memohon kepada senior kami untuk tidak hanya mengawasi tapi juga membimbing. Kami
merasa ini adalah budaya yang jelek di OSIS. Senior yang kerjanya hanya
mengeval kinerja kami, tapi mereka tidak ikut meringankan beban yang kami
kerjakan setiap proker. Dimana Jafar saat itu? Tidak ada!
Lalu kapan ia kembali ke OSIS? Kapan? Ya, saat masa
orientasi. Masa dimana masuknya siswa-siswi baru ke sekolah kami. Masa dimana
masuknya gelas-gelas kosong yang belum mengerti apa-apa tentang kehidupan di
sekolah kami. Saat itu, Jafar kembali. Dan tidak tanggung-tanggung, ia
mengambil kendali menjadi pembawa acara pada masa itu. Ia mengambil kendali
sebagai orang yang paling pertama dipandang oleh anak-anak baru. Sebagai
seorang ‘kakak baik’;’kakak tampan’ bagi anak baru. Beda dengan saya, sebagai
ketua pelaksana masa orientasi itu, saya memiliki goals. Saya tidak ingin anak-anak itu menjadi pribadi yang manja,
menjadi pribadi yang lenjeh, menjadi pribadi yang ingin manisnya saja. Maka
dari itu, saya dituntut tegas untuk mendidik mereka. Dan ini, pasti tegas yang
saya maksud adalah ‘galak’ yang kalian lihat, iya kan?
Padahal saya hanya ingin membangun karakter siswa
yang kuat. Bukan yang menye-menye. Tapi
anak-anak baru itu malah menganggap bahwa saya adalah kakak yang galak.
Buktinya saya mendengar sebuah percakapan antara teman saya dan salah satu anak
baru yang bergabung dalam teater di sekolah saya. Katanya seperti ini.
“Kelas saya mah sepakat pilih kak Jafar semua. Dia
ramah, baik, gak galak kaya kak Adli.”
Dari situ, dari situ saya mulai resah kalau-kalau
Jafar yang akan menang pemilihan nanti. Saya takut, saya sedih, saya kalut… Ya
ampun tuhan! OSIS, organisasi yang melahirkan pribadi baik saya, organisasi
yang melambungkan nama saya, organisasi yang menjadi tempat berjuang saya akan
dipimpin oleh orang yang tidak memiliki raga di OSIS nantinya. Akan dikepalai
oleh orang yang tidak tahu ada luka di sini, orang yang tidak paham ada retakan
di sini, orang yang tidak peka ada penyakit disini. Bahkan orang yang tidak
kenal teman-teman pengurus lainnya. Sara, Jesi, Angga, Niko, Nisa, dan
teman-teman pengurus yang lain adalah keluarga saya, adalah sahabat saya,
adalah organ tubuh saya. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa hadir dalam
hari-hari buruk saya. Mereka adalah pahlawan bagi saya, mereka segalanya.
Tuhan! Mereka akan dikepalai oleh orang yang tidak
mereka kenal. Mereka akan dikepalai orang orang yang tidak mengenal mereka.
Mereka akan dikepalai oleh orang yang tidak kenal rumahnya. Mereka akan
dikepalai oleh orang yang tidak pernah berjuang bersama mereka. Kami menyayangi
OSIS sebagaimana rumah kami. Banyak cerita yang kami ukir disana. Banyak kisah
yang kami pahat disana. Banyak harapan yang kami doakan disana. Tapi tidak dengan
ini. Ahhhh, saya benci politik!
“Adli, niat kamu
sangat baik untuk menyembuhkan luka yang ada pada rumah kamu saat ini. Niat
kamu sangat mulia untuk menghilangkan retakan yang ada sekarang. Dan kebanggaan
besar bagi kami ketika kamu memberanikan diri untuk menyalokan diri kamu
sebagai pemimpin kami nanti. Harapan besar kami ada pada kamu. Kami percaya kamu
bisa memperbaiki kesalahan yang ada pada OSIS saat ini. Kami percaya kamu
adalah orang yang tepat untuk membawa perubahan. Tapi satu yang harus kamu
ingat, sekarang ini kamu sedang dalam masa pesta demokrasi. Sekarang ini kamu
sedang dalam masa dimana seluruh warga sekolah akan mudah dihipnotis dengan
janji-janji kampanye dan seluruh atribut untuk mencuri hati mereka. Teman,
senior, dan adik kelas yang kita didik kemarin akan kosong pikirannya. Dan kamu
harus berbuat yang sama seperti kandidat lainnya, seperti Jafar. Kamu harus bisa
mengambil perhatian mereka. Kamu harus menyebarkan janji-janji kampanye seperti
calon-calon presiden kemarin. Buat program kamu semuluk-muluknya agar warga
sekolah bisa tertipu daya dengan kampanye yang kamu lakukan. Ini demi kami,
demi OSIS. Yang menentukan kamu menang atau tidak adalah suara dari mereka, bukan
dari kami sebagai sahabatmu.“
Tidak! Tidak! Ah… Saya butuh kejujuran. Saya butuh
keadilan. Saya hanya ingin terpilih sebagai ketua dengan berbekal kepercayaan
dari warga sekolah, bukan karena janji kampanye. Saya percaya, apa yang saya
lakukan selama satu tahun di sekolah ini akan mampu membuat mereka percaya
kalau saya bisa memimpin OSIS. Saya yang menghapus larangan junior tidak boleh
lewat di tengah lapangan, saya yang mengepalai mereka untuk berani duduk di
kantin tanpa harus takut dengan senior, saya yang menjadikan OSIS sebagai
organisasi penyalur bakat mereka, saya yang membuat OSIS sebagai organisasi
yang terbuka akan kritik dan saran bagi mereka. Saya yang… saya yang…
akhhhhh!!!!
Saya tidak ingin menjadi ketua yang terpilih karena
janji kampanye seperti para pemimpin Negara saat ini. Saya hanya ingin menjadi
pemimpin yang dipilih karena ketulusan, karena kenal siapa saya, karena tahu
apa yang akan saya lakukan. Saya tidak melakukan kampanye. Saya tidak
menyebarkan pamphlet yang berisikan ajakan untuk memilih saya. Saya tidak
mengirim pesan kepada kalian, kepada teman-teman saya. Saya tidak berpura-pura
baik di depan anak baru. Saya percaya, tanpa saya harus menyuarakan rencana
muluk seorang kandidat, saya akan menang menjadi ketua OSIS yang dipilih karena
kepercayaan warga sekolah akan saya. Saya percaya. Iya, saya percaya!
Tetapi… Saat itu, sore hari di aula ketika waktu
penghitungan suara. Saya duduk disamping salah satu teman saya. Mereka bercanda
meledek saya karena saat itu jumlah suara yang saya dapat lebih unggul dari
Jafar. Perhitungan terus berjalan, suara saya bertambah terus. Peluh saya mulai
bermunculan menerka-nerka apa suara saya terus berjalan atau malah Jafar akan
menyusul di depan. Di samping itu, saya juga berpikir tentang cabinet yang
nantinya akan saya bentuk ketika menang pemilihan nanti. Rasa senang dan
gelisah menjadi satu disitu. Akhirnya saya putuskan untuk pergi dari aula
menuju ruang OSIS. Saya berniat untuk duduk dan menenangkan diri sambil
menunggu hasilnya. Saya ingin tenang. Saya ingin rileks. Tapi suara penghitungan
suara lewat speaker di aula masih saja terdengar dari sini. Walau samar-samar,
tapi saya masih bisa mendengar nama siapa saja yang terus disebut.
Hingga akhirnya, speaker berbunyi.
“Lembar terakhir, no.urut 2….”
Lalu hening. Lalu diam. Lalu senyap. Apa speaker itu
mati? Apa speaker itu rusak? Masih hening. Masih diam. Masih senyap. Apa suara
sedang dihitung jumlahnya? Apa sebanyak itukan perolehan yang didapat? Apa
setipis itukah perbandingannya. Terus hening, terus diam, terus senyap. Kemudian
bunyi kresek-kresek speaker bunyi lagi…
“Ya…”
“Dan… setelah perhitungan, maka Ketua OSIS Periode
2018 akan dipimpin oleh Jafar!”
Hahahahaha…. Saya gagal! Saya pecundang! Saya kalah!
Hahaha… Tidak lama setelah itu, mereka datang. Mereka yang menemani perjalanan
saya di organisasi ini merangkul saya erat. Memeluk saya dengan hangatnya. Ditambah
basah airmata yang membuat saya ikut meneteskannya. Kemudian saya Tanya, “berapa
suara yang saya dapat?” Enam puluh tiga kata mereka. Sementara Jafar mendapat
70 suara. Lalu saya lepaskan pelukan mereka dan menatap mereka penuh keyakinan.
Mata mereka masih sembab karena tangisan. Wajah mereka masih merah. Dengan
yakin saya katakana kepada mereka…
“63 suara yang saya dapat adalah hasil dari kerja
keras yang saya lakukan semenjak saya menginjakan kaki di sekolah ini. Saya
tidak kampanye, saya tidak obral janji, saya bertindak selayakanya tidak ada
pemilihan. 63 suara yang saya dapat berasal dari orang-orang yang mengenal
betul siapa saya, orang-orang yang tahu apa tujuan saya, orang-orang yang
percaya dengan saya. 63 suara yang saya dapat adalah mereka yang tidak mudah
percaya dengan janji politik. 63 suara yang saya dapat adalah orang yang jatuh
hati dengan kinerja saya. 63 suara yang saya dapat berasal dari orang-orang
yang percaya bahwa saya bukanlah kakak galak. 63 suara yang saya dapat adalah orang-orang
yang senantiasa bersama saya.”
“70 suara yang didapat oleh Jafar adalah hasil jual
diri, adalah hasil obral janji, adalah hasil memakai topeng, adalah hasil haus
akan posisi, adalah hasil akan nafsu memimpin.”
Dia memimpin, tapi tidak menang dalam pemilihan.
Karena juara sesungguhnya adalah ia yang bertahan sebagaimana dirinya sendiri.
Lihat kan teman-teman, sudah hampir satu jam kita
disini. Sedangkan bel masuk sudah berbunyi dari tadi. Lihat kan betapa tidak
pedulinya guru-guru kita terhadap muridnya yang masih keluyuran di jam
pelajaran. Bukannya ditegur, malah cuek saja. Saya yakin, pasti mereka masih
enak-enakan melihat-lihat catalog Oriflame di ruang guru. Atau masih sibuk merencanakan
jalan-jalan ke luar kota dengan motif rapat kerja. Haduh….
Sudah teman-teman, ayo kita masuk kelas. Eh, itu
yang dasinya jelek tidak usah dipakai. Nanti kalian malah dipaksa untuk beli
dasi baru di koperasi.
Seseorang itu
kemudian meninggalkan lapangan dengan berlari perlahan. Lampu perlahan-lahan fade
out namun masih mennjukan sisi terang di tiang basket yang jelek tadi.
Tamat
0 komentar:
Posting Komentar