Sabtu, 16 Desember 2017

Menjadi Diri Sendiri dalam Orkes Madun II: Umang-umang karya Arifin C. Noer


Agustus lalu, Bengkel Sastra UNJ mengadakan sebuah pementasan besar di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki tepatnya pada 19 Agustus 2017. Pementasan kali ini diadakan untuk merayakan ulang tahun Bengkel Sastra yang ke-9 tahun. Pada kesempatan kali ini, naskah yang dipilih adalah Orkes Madun 2 atawa Umang-umang karya sastrawan ternama Indonesia, Arifin C. Noer yang merupakan sekuel kedua dari naskah sebelumnya Orkes Madun 1 atawa Madekur Tarkeni. Dalam lakon ini, awalnya saya mengincar tokoh Seniman/Jonathan yang merupakan seorang seniman music yang identik dengan biolanya. 
           Pada proses kali ini, Bengkel Sastra sempat mengalami kegalauan dengan digantinya sutradara sebelumnya. Pada proses dengan sutradara semula, saya diberi kesempatan untuk bermain sebagai Engkos, seorang masokis, lekong, yang selalu sange, naik birahi setiap Waska (tokoh utama) menghukum dirinya. Beberapa minggu saya fokuskan mendalami karakter Engkos yang sejatinya sudah tertanam dalam diri saya, lelaki kemayu yang lenjeh hanya tinggal menumbuhkan rasa birahi dengan lawan main saya. Sutradara juga memutuskan untuk menjadikan saya triple role. Peran dirigen yang sebenarnya tidak ada dalam naskah saya mainkan untuk memimpin para Umang-umang (anak buah Waska) menangis sehingga tangisan mereka bernada. Sutradara juga sempat memutuskan saya memainkan tokoh Albert yang belum saya kaji betul karakternya. Jadi, selama beberapa minggu latihan saya hanya memfokuskan diri untuk Engkos dan Dirigen.
            Namun setelah beberapa pengurus memutuskan untuk mengganti sutradara dengan alasan tertentu, maka berubah juga konsep pementasan, actor, dan lain sebagainya yang berimbas pula ke saya. Dengan sutradara yang baru, tokoh Engkos dihilangkan. Triple role yang saya mainkan sudah tidak ada lagi. Beberapa hari reading naskah hasil sadurannya yang menurut saya lebih ringan. Jadilah tanpa casting, beberapa actor baru dipilih secara otoriter olehnya.
Kuncen, salah satu tokoh yang ada dalam naskah ini. Seorang juru kunci kuburan asal Betawi yang kesehariannya menjaga makam bersama dengan satu anaknya. Pekerjaannya menjaga makam juga ia pergunakan untuk mengambil barang-barang berharga yang biasanya ikut terkubur dengan jenazah didalamnya seperti kain kafan yang pada adegannya ia pamerkan sebagai kafan yang memiliki kegunaan yang sangat banyak. Peran yang saya dapatkan untuk pementasan ini berujung padanya. Jadilah saya seorang juru kunci kuburan yang ‘katanya’ sutradara memiliki karakter yang sama dengan saya. Begitupun dengan anak juru kunci yang juga diperankan oleh salah satu senior di Bengsas dengan karakter yang sama persis dengannya.
            Karakter Kuncen disini adalah seorang lelaki paruh baya asal Betawi (dari setiap dialog anak Kuncen yang memanggilnya Babeh) yang tinggal bersama anak perempuannya. Kuncen berperan sebagai seorang yang menjadi perantara bagi Borok dan Ranggong (anak buah Waska) untuk mendapatkan sebuah bahan dasar untuk jamu yang berguna menyambung umur Waska, jantung bayi. Sebelumnya, Ranggong dan Borok menemui Albert dan istrinya, ahli ramuan yang hidup sejak lama untuk bertanya mengenai jamu yang dapat menyembuhkan Waska dari sakitnya.  Mereka mengatakan bahwa jamu dadar bayi dengan bahan dasar jantung bayilah yang dapat menyembuhkan penyakit Waska. Setelah itu, mereka berdua pergi mencari jantung bayi dan memutuskan untuk bertanya kepada Kuncen.
            Adegan Kuncen dalam lakon ini hanya muncul satu kali ketika Ranggong dan Borok bernegoisasi untuk membeli jantung bayi darinya. Adegan dimulai dengan kemunculan kuncen bersama anaknya yang masuk panggung sambil berjoget seenaknya. Sampai ditengah panggung, Kuncen menghentikan music dan mulai menyapa para penonton.
            “Eh penongton!”
            Awal kemunculan Kuncen yang mampu menarik decak tawa penonton membuat saya semakin berenergi memainkannya. Setelah menyapa penonton, ia memulai pantunnya untuk membuka adegan.
            Malem Minggu bobok di ranjang
            Bobok di ranjang, eh sama si Ijat
            Lu liat noh mayat pada telanjang
            Gegara kain kafannya gua embat!
            Setelahnya, ia kembali duduk bersama anaknya membicarakan mengenai kain kafan dengan kualitas luar biasa yang malam ini ia dapatkan. Setelah menjelaskan mengenai kain kafan itu, Kuncen menyampaikan pesan yang bermaksud menyindir.
            “Orang-orang yang udah mati aja masih peduli sama kita daripada yang masih hidup”, katanya.
            Maksud dari pesannya ini adalah ia merasa bahwa mayat-mayat yang terkubur disana lebih membantu kehidupannya daripada orang-orang yang masih bernyawa. Pasalnya, Kuncen mendapatkan sumber dagangannya dari mayat-mayat itu untuk dijual kembali kepada pembeli benda-benda klenik.
            Setelah adegan ini, Ranggong dan Borok datang dengan kesan menodong. Kedatangan tidak diharapkan oleh Kuncen dan Anaknya ini membuat dirinya kesal. Setelah bertanya-tanya maksud kedatangannya, Kuncen akhirnya merasa bahagia karena kedatangan mereka berdua merupakan lading bisnis besar yang datang malam-malam begini. 15 bayi sekali beli. Setelah tawar menawar dan cocok dengan harganya, mereka akhirnya dipersilahkan mengambil barang yang mereka incar. Awalnya Kuncen tidak tahu apa yang hendak diambil dari mayat bayi itu. Biasanya orang-orang hanya ingin mengambil kain kafannya, tali pocong, atau benda-benda lain yang ada di dalam liang lahat. Tetapi setelah tahu bahwa Ranggong dan Borok mendedel jenazah untuk mengambil jantungnya, Kuncen panic tak karuan. Ia ketakutan akan dituntut oleh keluarga korban atau pihak yang berwajib. Akibat dari kepanikannya yang tak terbendung dan membuat Borok kesal, Borok memerintahkan Ranggong untuk membunuh Kuncen dan anaknya.
            Pesan kembali muncul dari mulut Kuncen setelah terbunuh dan pergi sebagai arwah.  Ia mengatakan, “Biarin mati, seenggaknya kita gak kelaperan lagi.” Artinya, setelah lelah menghadapi susahnya hidup di dunia, ia bersyukur atas apa yang ia dapatkan. Karakter Kuncen muncul pada dialog ini dimana ia selalu menerima setiap hal yang ia dapatkan. Masalah yang datang ia pikir belakangan. Dialog pesan yang diriwayatkan Kuncen juga muncul pada dialog selanjutnya, “Semasa hidup kita dimana? Kuburan! Lu mau kita mati di kuburan juga?” Saya menafsirkan dialog ini sebagai pesan yang ia ungkapkan untuk selalu meng-upgrade diri.
            Satu pesan terakhir yang disampaikan Kuncen adalah, “Babeh tau kita maling, tapi seenggaknya gak kaya mereka yang tega ngobrak-abrik jantung bayi.” Penfasirannya adalah orang-orang yang selama ini kita anggap berbuat negative (maling), ternyata juga memiliki ukuran atau takarannya sendiri untuk diembat. Tidak semua maling rakus, tidak semua maling maruk.
1.     

GRAND THEATER JAKARTA
Pengalaman pertama untuk pementasan di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki untuk saya yang merupakan bibit baru Bengkel Sastra. Songong. Setelah melewati proses sekitar dua bulan untuk blocking, drilling, running, dan pergantian berbagai macam rupa untuk menghasilkan pementasan sesuai kemauan sutradara, 19 Agustus 2017 itu puncaknya. Pada proses kali ini, saya disibukkan dengan kegiatan ospek yang sekarang ini berganti nama menjadi Masa Pengenalan Akademik (MPA). Berhubung saya adalah ketua panitia yang sebenarnya posisi ini adalah salah satu posisi yang saya targetkan sejak awal masuk kepengurusan BEM, maka totalitas untuk 90% konsep MPA ini adalah ala saya.
Lumayan sulit membagi waktu antara Bengkel Sastra dan BEM yang sejatinya adalah dua organisasi berbeda. Ditambah mayoritas staf BEM angkatan saya adalah anggota Bengsas yang semuanya kedapatan peran untuk pementasan ini. Walaupun saya adalah ketua pelaksana MPA, namun konsistensi saya adalah tetap mengutamakan Bengkel Sastra sebagai prioritas.
Cara yang saya gunakan adalah membuat rapat seminimum mungkin untuk MPA namum dengan hasil yang banyak karena saya tidak mau proses pementasan ini terganggu. Ditambah beberapa minggu sebelumnya saya mendapat tawaran freelance lagi di kantor lama. Namun karena waktu yang dirasa tersita banyak, akhirnya tiga minggu pekerjaan saya resign.
Kembali kepada Umang-umang. Pada proses kali ini, jujur saya merasakan kerasnya proses berteater. Waktu, tenaga, pikiran, dan hati menjadi motor utama dalam setiap kali latihan. Waktu, saya tidak permasalahkan karena sudah terbiasa setiap pulang kuliah harus latihan. Tidak jadi masalah. Tenaga, pasti terkuras apalagi dengan latihan yang semakin lama semakin intens. Pikirian, beres. Hati? Acap kali saya mendapati beberapa selentingan atau kabar atau ceplos dari beberapa anggota yang sekiranya kurang mengenakkan di hati saya ataupun teman-teman yang lain. Sayangnya saya adalah orang yang haha-hihi, maksudnya tidak mudah tersinggung-sehingga mereka yang kebiasaan bermulut seenaknya malah kebiasaan mengejek tanpa takut saya marah.
Jadi, Umang-Umang….
Tiba pada hari pementasan, semua kru yang bertugas siap di posisinya masing-masing. Begitupun dengan saya yang sudah menyiapkan tetekbengek alat rekam baik video maupun audio. Sama seperti pementasan sebelumnya, tugas saya adalah membuat video blog untuk akun YouTube.
Malam tiba, pementasan sebentar lagi akan dimulai. Setelah menelusuri megahnya Teater Jakarta untuk pementasan teater kampus,  harap dan cemas tak kunjung henti mengitari kepala. Banyak pemain yang sengaja memberikan freepass untuk kedua orangtuanya tapi berbeda dengan saya yang malah memberikannya kepada Sarah dan Angga dan Sarah2. Semua kru dan pemain berkumpul untuk memanjatkan doa agar pementasan berjalan lancer hingga terdengar bunyi gong ketiga tanda pementasan akan dimulai.

Kita adalah pencuri
Akan kita curi seluruh alam semesta…

Lagu tema mulai berkumandang di atas panggung. Adegan pertama sudah dimulai. Suasana wing dingin bukan main. Beruntung property saya adalah kain kafan lebar dan sarung sehingga bisa menyelimuti dinginnya blower besar di kisaran wing. Adegan demi adegan dimainkan hingga sampailah pada adegan Kuncen.
Karena karakter saya yang jenaka dan kehadiran saya wajib mengundang gelak tawa penonton, pemanasan yang saya lakukan adalah joget. Kebiasaan setiap latihan yang dilihat orang mungkin kesannya saya bercanda, tapi sebenarnya ini adalah cara saya berkontemplasi. Instrumen lagu Sirih Kuning dimainkan, tanda saya harus masuk bersama Anak Kuncen.
Ahhh! Saya tidak bisa bercerita….
Intinya setiap perkataan saya berhasil membuat seisi Teater Jakarta penuh dengan tawa riuh dari penonton. Dan, ini berkat bantuan besar dari Anak Kuncen tercinta yang sebenarnya merupakan boneka untuk setiap tawa dari penonton.
“Kaya ngomong sama tai!” Dialog ikonik yang selalu diingat penonton. Ada cerita dibalik dialog ini. Dialog yang sebenarnya adalah celetukan salah satu sahabat saya ketika SMK dulu, Takim yang sampai sekarang masih sering disuarakan sahabat lainnya setiap bertemu.
Ya, itulah kemeriahan untuk Teater Jakarta. Kuncen dan Anak Kuncen, membuat penonton selalu mengingat Umang-umang. Selalu menjadi bahan perbincangan selama dua minggu penuh di kampus.
“Babeh mau pangtun!”
“E ngape e ngape beh?”

Satu hal yang saya tidak bisa lupakan untuk pementasan di Teater Jakarta adalah kedatangan orang-orang yang saya harapkan (dengan paksaan) untuk datang. Sarah dan Angga yang selalu setia untuk hadir dengan setangkai mawar putih. Tidak lupa dengan ayam D’Besto: Sayap Pedas yang dibawakannya sesuai dengan pesanan saya siang sebelumnya. Sarah2, satu lagi Sarah yang sudah saya janjikan untuk memberikannya tiket gratis ketika pemilihan Duta Bahasa DKI Jakarta lalu. Dua batang Cadburry tidak lupa ia bawakan. Aya , Dania, Jeje, dan satu buket bunga yang mereka bawakan. Bayu dan Angel sebagai pelengkap. Belum lagi ucapan selamat dari Bu Hera selaku Koor. Prodi Sastra Indonesia. Dan sisanya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Terimakasih. Saya adalah actor dengan give terbanyak malam itu.
___

2.      FESTIVAL TEATER JAKARTA TIMUR
Setelah sukses dengan pementasan di Teater Jakarta, Bengkel Sastra memberanikan diri untuk mengikuti festival. Namun penyakit pasca proses pasti ada dan dialami oleh setiap komunitas teater dimana-mana. Hilangnya anggota.
Bukan, bukan hilang. Setelah pementasan di Teater Jakarta, sebagian anggota yang merupakan pengurus BEM sibuk melaksanakan rangkaian-rangkaian untuk penerimaan mahasiswa baru. Akibatnya olah tubuh yang dilakukan sore hari tidak berjalan efektif. Kami langsung mulai blocking setelah Maghrib. Belum lagi repotnya mengurus mahasiswa baru yang ikut bergabung bersama Bengkel Sastra. Repot!
Sempat sekali sutradara mengganti beberapa dialog di naskah hingga bisa saja kita menyebutnya naskah baru. Beberapa adegan yang dipotong dan dialog-dialog yang baru itu malah membuat suasana blocking semakin rusak tidak karuan. Akhirnya kembalilah kita dengan dialog-dialog yang lama namun dengan beberapa adegan yang dipangkas.
Resiko untuk saya adalah celetukan-celetukan Kuncen yang semula lucu menjadi tidak segar lagi. Kenapa? Sebagian besar penonton FTJT nanti adalah penonton ketika di Teater Jakarta. Inisiatif saya mencari celetukan-celetukan baru yang sebenarnya mudah saya dapatkan. Darimana? Celetukan-celetukan sederhana yang sering saya dengar dari beberapa teman saya bawa ke atas panggung FTJT nanti. Tapi ini beresiko juga. Pasalnya lawan main saya, Ranggong harus bersusah payah menahan tawa untuk beberapa hari blocking. Belum lagi kalau di atas panggung nanti. Kasihan…
Singkat cerita, sampailah kita ke atas panggung FTJT. Kecanggungan yang semula dirasakan di Teater Jakarta sudah mereda disini. Permainan lebih santai berjalan. Gugup sudah minimal dirasakan.
Masuklah ke adegan Kuncen dan anaknya. Dengan pantun yang baru, saya bersuara:
Diding Boneng maen ke kote
Sampe di kote, eh dia sawan
Lu liat ini kaen terpampang nyate
Hasil ngembat mayat perawan

Diding Boneng, salah satu juri FTJT saat itu yang sengaja saya gunakan namanya pada pantun untuk pembuka yang menarik. Sempat saya dibuat bimbang dengan ini beberapa menit sebelum adegan saya dimainkan karena dua senior saya kala itu berpendapat berbeda. Masalah penggunaan nama juri yang dirasa tidak sopan dan justru malah membuat daya tarik. Tapi konsistensi saya tetap pada penggunaan nama Diding Boneng! Voila!!! Pembuka saya dirasa lebih segar dibanding sebelumnya.
Dialog demi dialog dimainkan. Hingga Borok dan Ranggong datang menodong kain kafan. Satu lagi dialog ikonik baru yang saya bawakan disini:

“Tapi lu dateng kesini malem-malem begini, Bambang!”

Ya, Bambang! Celetukan yang sering saya dengar setiap datang ke proses Teater 45 Perjuangan. Terimakasih kalian…
Berkat celetukan ini, kembali saya memberikan kesan melekat untuk penonton FTJT. Sisanya masih sama dengan pementasan sebelumnya di Teater Jakarta.
Tetapi, evaluasi untuk adegan Kuncen dan anaknya kali ini adalah: rebutan dialog. Kami paham betul bahwa karakter kami disini adalah nyeletuk seenaknya. Karena terbawa suasana, saya dan anak Kuncen merasa dialog yang kami suarakan malah terkesan rebutan. Jika dibandingkan dengan pementasan di Teater Jakarta, kami lebih prefer di Teater Jakarta.
Sama seperti pementasan sebelumnya, kedatangan orang-orang tersayang tak lepas sebagai pelengkap pementasan. Talitha, Jihan, Felia, Wiwid dengan buket bunganya untuk saya dan Dini sebagai kru. Sarah2 yang datang lagi dengan Chuncky Bar nya. Dan penguru-pengurus BEM dengan beberapa tangkai mawarnya. Sore itu, saya tetap actor dengan give terbanyak.

PASCA TEATER JAKARTA
Rumah saya terbakar satu hari setelahnya. Semua pemberian yang diberikan ketika pementasan malam itu habis dilahap api. Euforia gembira pementasan di Teater Jakarta seketika hilang dengan kabar bahwa rumah saya telah menjadi abu kala itu.
Saya tidak mau menceritakan kronologis ini. Yang saya dapatkan adalah rasa syukur akan banyaknya orang yang peduli dengan saya saat itu. Ratusan pesan baik dari Whatsapp, Line, hingga Direct Message Instagram tak henti menyatakan bela sungkawa diiringi kalimat “akan ada pelangi setelahnya”. Saya percaya.


PASCA FTJT: Pelangi itu Datang
Benar saja pelangi itu datang. Malam Anugerah FTJT dilaksanakan pada malam hari di tempat yang sama, Pusat Pelatihan Seni dan Budaya Jakarta Timur. Tidak berharap dan tidak menunggu apapun untuk dibawa pulang karena kritik yang banyak dari pengamat setelah pementasan di FTJT kemarin membuat kami sadar bahwa penafsiran kami akan naskah Arifin ini salah.
“Nominasi aktris pendukung terbaik adalah….”
Tepat di baris ketiga layar, nama Hutmiati|Anak Kuncen|Bengkel Sastra terpampang. Rasa bahagia untuk kami yang datang pada malam anugerah saat itu salah satu pemain masuk di daftar nominasi walaupun belum berhasil ditempatkan sebagai pemenang.
Selanjutnya, nominasi actor pendukung terbaik…
Bima Dewanto|Juru Kunci|Bengkel Sastra. Tepat di baris ketiga layar panggung pada saat itu. Kuncen dan anaknya berhasil menjadi nominator pada malam itu. Kebahagiaan anak baru di FTJT ini membawa aura postitif bagi beberapa anggota Bengkel Sastra yang datang. Ini sederhana, saya hanya nominator bukan pemenang. Tapi berarti saya adalah satu dari sekian banyak actor pendukung yang dipilih masuk untuk nominas. Ini pelanginya.

___

Jakarta, 4 November 2017
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.