Tampilkan postingan dengan label Naskah Drama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Naskah Drama. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Mei 2018

Naskah: Abdi dan Damar: Dua Dendam dalam Satu Titik Panah




Naskah Lakon Dua Orang:

ABDI DAN DAMAR
DUA DENDAM DALAM SATU TITIK PANAH

Bima Dewanto
2018



Abdi dan Damar merupakan dua tokoh negara yang sangat berpengaruh di negaranya. Mereka bersama-sama membuat pembangunan negara berjalan dengan baik. Sifat rendah hati mereka membuat rakyat merasa nyaman dan tidak lagi menganggap mereka sebagai pejabat negara yang sulit disentuh. Rakyat menjadikan mereka sebagai sahabat dan orang yang sangat disayang.
Tapi belakangan ini sifat Abdi berubah karena beberapa hal yang tidak diketahui Damar. Damar merasa bahwa Abdi menjauhi dirinya serta enggan untuk berinteraksi dengannya.


Jakarta, 5 Mei 2018

Terimakasih untuk mereka
yang membuatmu melangkah
(walaupun berlandaskan dendam).



LATAR DI SEBUAH RUANGAN YANG BERANTAKAN DENGAN BARANG-BARANG. TAMPAK DUA ORANG LAKI-LAKI SEDANG SIBUK DENGAN URUSANNYA MASING-MASING. TIDAK ADA INTERAKSI, TIDAK ADA TATAP, TIDAK ADA KOMUNIKASI. TAPI ADA CANGGUNG YANG MELUAP HENDAK MELEDAKAN SEISI RUANGAN. YANG SATU MENGEMAS BARANG, SEMENTARA YANG SATU LAGI ASIK DUDUK BERSANDAR PADA LEMARI

Damar             : (mengemas tas-nya dan hendak keluar dari ruangan) Saya pulang dulu (pamitnya dengan maksud basa-basi).
Abdi                : (masih sibuk dengan benda yang ia pegang dan tidak menghiraukan Damar).

TIBA-TIBA HUJAN TURUN DIDAMPINGI DENGAN PETIR DAN KILAT YANG CAHAYANYA SAMPAI MASUK KE DALAM RUANGAN

Damar             : (membalikan tubuhnya dengan maksud tidak jadi keluar karena hujan) Yah, hujan.
Abdi             : … Yah (masih menyibukkan diri)

DAMAR DUDUK DI LANTAI BERSANDAR DI SEBUAH LEMARI MEMBELAKANGI ABDI. TERJADI DIAM YANG AMAT LAMA DISANA. ABDI MASIH DAN SELALU ASIK DENGAN BENDA YANG IA MAINKAN ITU. DAMAR JUGA ASIK DENGAN KECANGGUNGAN YANG SEDANG DIRASANYA SAAT ITU.

Damar           : ….

KEDUANYA MASIH DIAM. TIDAK ADA INTERAKSI YANG DILAKUKAN. KEADAAN SEMAKIN CANGGUNG. DAMAR SEMAKIN SULIT MENGONTROL DIRINYA. KAKINYA DITEKAN-TEKAN KE LANTAI, GIGINYA MENGGIGIT BIBIR, BOLA MATANYA MENELUSURI SEISI RUANGAN. ABDI MASIH ASIK DENGAN BENDA YANG IA MAINKAN. TAPI RASA CANGGUNG SEBENARNYA MALAH LEBIH DIRASAKAN OLEH ABDI.

Damar           : Tidak ada yang menunggu di rumah?
Abdi             : Hah? (salah tingkah)
Damar           : Tumben tidak buru-buru
Abdi                : … (menengok sedikit ke arah Damar lalu memalingkannya lagi) Iya, tidak. Hujan.
Damar           : Saya juga tahu di luar hujan. Sebelum hujan, kamu masih asik duduk di situ.
Abdi             : Iya.

KEHENINGAN TERJADI LAGI. DAMAR MENCOBA BERDIRI DAN BERJALAN MENUJU PINTU UNTUK MELIHAT HUJAN.

Damar           : Deras sekali
Abdi             : ….

DALAM HENING DAN HUJAN SEPERTI INI, DAMAR MELAMUN MENATAPI HUJAN YANG TERUS TURUN TANPA AMPUN. SEMAKIN LARUT DAMAR DALAM LAMUNANNYA, SEMAKIN TERSADAR PULA BAHWA INI ADALAH WAKTU BAGINYA DAN ABDI UNTUK BERDUA DALAM SATU RUANG SETELAH BEBERAPA WAKTU MEREKA TIDAK PERNAH BERINTERAKSI DENGAN BAIK.

Damar           : Besok kamu jadi datang ke balai kota?
Abdi             : Hmm.. belum tahu.
Damar           : Kamu pulang naik apa, di?
Abdi             : Naik kereta

SEDIKIT DEMI SEDIKIT, USAHA DAMAR UNTUK MEMBUKA PERCAKAPAN YANG LEBIH SERIUS SEMAKIN TERKUMPUL. NAMUN DI SISI LAIN, ABDI MALAH GUGUP KARENA SUDAH LAMA TIDAK BERSUA BERSAMA KAWANNYA ITU.

Damar           : Saya jadi ingat ketika kita berteduh di sebuah toko Cina
Abdi             : Iya
Damar           : Kaki kamu lecet tergores besi seng, kamu ingat?
Abdi             : Iya.
Damar           : Abdi…
Abdi             : (hanya menengok)
Damar              : Saya rindu waktu kita seperti ini. Sekitar, ya mungkin dua tahun lalu. Ketika kita masih menjadi kacung di sini.
Abdi             : Iya
Damar           : Kamu ingat kan, sewaktu kita baru masuk?
Abdi             : …
Damar           : (tertawa kecil), pejabat-pejabat itu selalu menertawakan kita. Padahal kita kan masih baru.
Abdi             : Mereka hanya iseng
Damar           : Iya! Ya! Kita masih dianggap bayi saat itu. Kita diajak dari kota yang satu ke kota yang lain.
Abdi             : Kalau itu, mereka hanya butuh tenaga kita untuk diperbudak
Damar           : Tapi dari situ, saya mulai dekat dengan kamu. Hanya kita junior yang selalu diminta bantuan. Padahal masih ada sekitar tiga puluh orang orang waktu itu.
Abdi             : Lalu?
Damar           : Ya, itu merupakan cerita awal kenapa kita bisa menjadi satu pasang pada masa itu. Kamu ingat kata Coach Arthur kalau kita ini satu paket? Katanya, Abdi dan Damar. Bukan Abdi tanpa Damar atau sebaliknya.
Abdi             : Iya. Terserah kamu saja.
Damar           : Jangan begitu, Abdi! Setelah itu, kita semakin dekat. Kita selalu berangkat rapat bersama, saling ejek, saling jahil. Saya ingat saat itu kamu banyak cerita tentang perasaan kamu terhadap pacar kamu yang sekarang. Saya juga ingat ketika saya cerita tentang target yang ingin saya capai dari tahun ke tahun.
Abdi             : Saya lupa.
Damar           : Tidak mungkin, Abdi! Kamu jangan bohong! Memang kamu tidak rindu saat kita sedang berdua seperti ini? Biasanya, kamu yang duluan membuka dengan masalah yang ingin kamu ceritakan ke saya.
Abdi             : …
Damar           : (menghampiri Abdi) Sepulang latihan, sepanjang perjalanan kita menuju tempat transit, kita selalu bertukar pendapat. Saya tahu semua masalah kamu, dan kamu pun tahu keluh kesah saya. Kita ini dulu satu paket, Abdi. Ingat kan?
Abdi             : Sudahlah (berpindah ke sisi lemari yang berlawanan)
Damar           : Abdi… (duduk berhadapan dengan Abdi) Sambil menunggu hujan, kamu mau kan tukar cerita lagi dengan saya? Ini sudah hampir satu tahun kita tidak berinteraksi dengan baik
Abdi             : Terserah
Damar           : Abdi, saya serius. Sadarkah kamu kalau komunikasi antara kita selama satu tahun belakangan ini sangat tidak baik. Saya tidak tahu sejak kapan, tapi yang saya rasakan kamu berbeda pada saat itu.
Abdi             : Lalu kamu menyalahkan saya? (matanya mulai berani menatap Damar)
Damar           : (terhening menatap mata Abdi) Bukan. Bukan tentang siapa yang salah. Abdi, ada apa dengan kamu? Saya merasa kehilangan kamu sejak satu tahun lalu.
Abdi             : (membuang muka) Lebih baik kamu instropeksi dulu diri kamu
Damar           : Nah! Itu dia! Abdi, kamu harus cerita kepada saya. Kenapa kamu menjauh? Kenapa kamu menghindar? Kenapa kamu bukan kamu?
Abdi             : Saya bilang: kamu harus instropeksi diri! (membentak dengan mata yang menatap tajam ke Damar)
Damar           : Saya… saya… saya tidak bisa instropeksi kalau saya tidak tahu kenapa kamu menjadi seperti ini!
Abdi             : Kamu tahu, Damar! Kamu tahu! Kamu yang membuat saya menjadi seperti ini! Kamu orangnya! Kamu dalangnya! Kamu tuhannya! Brengsek! (berdiri menuju satu tempat)
Damar           : (semakin penasaran) Jelaskan dulu kepada saya, Abdi. Agar saya bisa mengerti!

HUJAN SEMAKIN DERAS. PETIR MENYAMBAR MEMBABI BUTA. KEADAAN DALAM RUANGAN SEMAKIN TEGANG.

Abdi             : Saya tidak pernah meminta apapun dari kamu. Saya tidak pernah menghilangkan apapun dari kamu. Tapi kenapa kamu rampas apa yang menjadi milik saya!
Damar           : Benar! Benar kan! Kamu menyimpan sesuatu. Ayo, Abdi! Ceritakan semuanya! Buang semua masalah kamu kepada saya! Apa yang saya rampas? Apa yang saya ambil? Katakan sekarang!
Abdi             : (emosinya semakin naik) Ah! Sialan!
Damar           : Apa, Abdi?
Abdi             : (berusaha menenangkan diri, ia duduk di kursi yang ada di dekatnya) Hmm… Kenapa kamu selalu mendapat andil besar dalam setiap hal?
Damar           : …
Abdi             : Kenapa… Kenapa kamu selalu mendapatkan tanggung jawab yang berat? Kenapa kamu selalu mendapatkan posisi di atas?
Damar           : Saya tidak minta!
Abdi             : Tapi kamu menunjukkannya, Damar! Kamu selalu menunjukan wajah kalau kamu bisa mengemban semua itu! Saya perlu kesempatan!
Damar           : Saya tidak tahu, Abdi! Para tetua itu yang punya kuasa dan menentukan siapa yang memegang tanggung jawab. Saya tidak pernah memohon untuk diberikan.
Abdi             : Lalu kenapa kamu ambil semua?

DAMAR HENING KEBINGUNGAN HENDAK MENJAWAB APA. IA TIDAK HABIS PIKIR BAHWA SAHABATNYA TERNYATA BERUBAH AKIBAT SEBUAH TANGGUNG JAWAB YANG TIDAK PERNAH IA DAPAT.

Abdi             : Jawab, Damar!
Damar           : Menurut kamu, apa yang saya emban itu ringan? Menurut kamu, apa saya mau memikul beban berat tersebut? Kamu tahu saya ini cengeng dan lemah.
Abdi             : Cukup, Damar! Saya tidak bisa meneruskan dialog ini. Sudah, tolong. (sambil merapikan tas dan bergegas pergi)
Damar           : Di luar hujan. Stasiun jauh. Tunggu sebentar!
Abdi             : Sudah, cukup!
Damar           : Apakah jika saya melepas semua amanah itu, kamu mau berteman lagi dengan saya?

ABDI TERHENTI KEMUDIAN MENGHAMPIRI DAMAR

Abdi             : Luka kalau sudah terlalu parah akan menjadi bekas dan sulit untuk hilang.
Damar           : Bagaimana dengan kata ‘maaf’ yang katanya ajaib itu?
Abdi             : Maaf? Hahaha… Saya bukan anak kecil yang hanya butuh dua kelingking saling sangkut kemudian dapat pulih rasa sakitnya. Hah!
Damar           : Abdi, saya butuh teman. Saya butuh kamu seperti dulu. Saya rindu kita berdua. Saya rindu…
Abdi             : Kalau begitu terimakasih telah menjadi salah satu sayap dari pertemanan kita selama satu tahun yang lalu. Tapi sayap akan putus dengan sendirinya jika telalu lama kering.
Damar           : Abdi..!
Abdi             : Saya tenggelam karena ambisi besarmu, Damar!

DAMAR TERDIAM MEMASANG TATAPAN DENGAN RIBUAN PERTANYAAN KEPADA ABDI

Damar           : Ambisi? Ambisi katamu? Ambisi apa?
Abdi             : Ambisi untuk menjadi kepala dari negara ini! Ambisi-mu yang sebenarnya membungkus diri kamu sehingga saya enggan untuk menjalin pertemanan lagi.
Damar           : Ambisi?
Abdi             : Semua cara yang kamu lakukan agar bisa mendapatkan posisi di atas membuat saya semakin tertutup, Damar!
Damar           : Saya tidak berambisi besar! Ambisi saya biasa saja. Jika memang terlihat besar, sebisa mungkin saya tutupi dengan kelakuan-kelakuan konyol yang saya lakukan.
Abdi             : Oh… Bagaimana dengan cara kamu menyingkirkan saya agar saya tidak terpilih menjadi kepala negara ini? Hah! Bagaimana?!
Damar           : Apa maksud kamu?

ABDI MENDEKATI DAMAR. WAJAHNYA HANYA SEKITAR SEPULUH SENTI DARI WAJAH DAMAR

Abdi             : Sekarang giliran kamu menceritakan kepada saya, kenapa kamu terlalu focus untuk menjadi kepala hingga dengan pintar memiliki strategi untuk menyingkirkan saya? Jawab!
Damar           : ….
Abdi             : (menarik kerah pakaian Damar) Jelaskan kepada saya, sekarang!
Damar           : Iya! Iya! (perlahan melepas tangan Abdi dari kerahnya) Saya membuat wacana bahwa kamu merupakan orang yang sangat jahat. Saya berkhutbah di depan semua rakyat bahwa jika kamu memimpin, maka kepemimpinan kamu akan menjadi suatu kepemimpinan yang dictator. Akan menjadi suatu kepemimpinan yang kaku. Kamu akan membawa negara ini sebagai kelompok yang enggan berkreasi! Saya menjadikan kamu sebagai orang yang tidak mungkin lagi dipercaya oleh orang banyak, khususnya rakyat! Puas!

SEKEPALAN TINJU DILAYANGKAN DI PIPI DAMAR OLEH TANGAN ABDI. KEDUANYA JATUH KE LANTAI DENGAN POSISI SALING TINDIH. EMOSI DAMAR YANG SEMAKIN MELUAP MEMBUATNYA TAK KUNJUNG MENAHAN AIR MATA. IA MENANGIS DI ATAS WAJAH SAHABATNYA. AIR MATANYA MEMBASAHI WAJAH DAMAR. DAMAR PUN JUGA IKUT MENANGIS DENGAN AIR MATA YANG DERAS.

Abdi             : Kenapa? Kenapa!
Damar           : ….
Abdi             : Berikan saya satu kesempatan untuk bisa menjadi seperti kamu, Damar (tangisannya makin menjadi)

ABDI BANGUN DAN MELEPASKAN TUBUH DAMAR. IA BERPALING DARI SAHABATNYA MENUJU SISI LAIN. YANG IA LAKUKAN HANYALAH TERIAK MENYESAL DAN MENANGIS. KADANG IA MELETAKAN LUTUTNYA DI LANTAI SAMBIL SUJUD KARENA TIDAK HABIS PIKIR MENDENGAR JAWABAN SAHABATNYA

Abdi             : Ya Tuhan!

DAMAR BANGUN DENGAN KEADAAN MASIH LEMAS. KINI IA TERDUDUK KAKU SAMBIL MENANGISI KEADAAN YANG SEDANG TERJADI. MELIHAT ABDI MARAH KARENA DIRINYA, TANGISANNYA SEMAKIN MENJADI

Damar           : Abdi, maafkan saya
Abdi             : Ah! Brengsek! Damar kamu adalah sahabat saya!
Damar           : Tapi saya tidak merasakannya lagi
Abdi             : Itu karena perbuatanmu, setan! Kenapa kamu sampai pikir untuk membuat wacana seperti itu? Kenapa?!
Damar           : (hening sejenak) Karena saya tahu bahwa kamu juga merupakan salah satu kandidat terkuat untuk menjadi pimpinan negara. Jabatan itu merupakan jabatan impian saya sejak dulu. Saya akan menggunakan berbagai cara untuk bisa mendapatkannya
Abdi             : Termasuk mengorbankan persahabatan? Bangsat!
Damar           : Maafkan saya, Abdi. Saya tahu ini salah saya. Saya takut tidak mendapatkan jabatan itu. Saya takut kamu yang terpilih. Kata mereka, kamu merupakan orang yang pantas memimpin sanggar ini. Hal itu yang membuat saya takut akan kegagalan. Maafkan saya.

ABDI MASIH DALAM KEADAAN KECEWA

Abdi             : Ya Tuhan!
Damar           : Saya minta maaf, Abdi. Maaf. Ini memang salah. Saya terlalu ambisius. Saya tahu saya maruk. Maafkan saya.
Abdi             : Cara kamu itu busuk, Damar!
Damar           : Tapi mereka juga sependapat dengan saya bahwa kamu merupakan orang yang keras! Mereka juga merasakan bahwa kamu merupakan orang yang tidak bisa tersentuh. Kamu terlalu tegas, terlalu kaku, terlalu kasar! Mau jadi apa negara kalau kamu yang memimpin!
Abdi             : Lalu mau jadi apa negara kalau dipimpin oleh orang-orang yang sering bertindak konyol seperti kamu?!
Damar           : Maksud kamu apa?
Abdi             : Tidak. Cukup, Damar! Sudahi saja dialog ini!

KEDUANYA PERLAHAN BERHENTI MENANGIS. PIKIRANNYA MASIH FOKUS PADA KEKECEWAAN MASING-MASING

Damar           : Lalu, kenapa kamu tidak terlalu berusaha untuk menang saat itu
Abdi             : Sudahlah
Damar           : Ini merupakan pertanyaan besar, Abdi! Banyak kawan-kawan kita yang bertanya!
Abdi             : Karena seseorang mengatakan persis seperti kamu tentang wacana itu. Saya berpikir bahwa memang ambisi kamu sangat besar. Saya juga berpikir bahwa kamu merupakan orang yang pantas. Walaupun saya tahu kalau saya juga merupakan salah satu kandidat terkuat, tapi saya yakin kamu lebih mampu mengembannya daripada saya.
Damar           : Hanya itu?
Abdi             : Itu bukan ‘hanya’, Damar! Mulut yang kau gunakan itu sangat berbahaya bagi saya. Akibatnya orang-orang percaya bahwa saya ini jahat!
Damar           : (terdiam) Baiklah. Apa lagi? Jelaskan kepada saya yang lainnya.
Abdi             : Beberapa hal lain seperti keluarga dan semua yang memuakkan tentang negara ini. Saat itu saya enggan menjadikan diri saya sebagai salah satu kandidatnya.
Damar           : Iya, Abdi. Kamu hilang saat itu. Maafkan saya sudah membuat kamu merasa pesimis. Saya hanya takut kalah. Memang ambisi saya sangat besar.

KEDUANYA TERDIAM SEJENAK

Abdi             : Lalu kenapa kamu juga tidak melakukan usaha yang besar saat pemilihan? Setidaknya kamu kampanye. Malah yang saya lihat, kamu terlalu santai sebagai kandidat.
Damar           : (tersenyum kepada Abdi) Saya sadar kalau ambisi saya memang kuat. Maka dari itu, saya berusaha menguranginya. Saya tidak mau berkampanye atau menjual diri saya kepada orang-orang agar memilih saya sebagai kepala. Saya juga enggan membuat janji-janji palsu sebagaimana para calon presiden disana.
Abdi             : Kenapa?
Damar           : Karena saya percaya, rakyat sudah mengenal saya sebaik-baiknya. Saya yakin mereka akan memilih saya. Biarkan mereka menilai saya dari kinerja saya selama disini. Bukan karena kampanye dan hasil jual diri.
Abdi             : Tapi akhirnya kan…
Damar           : Iya saya tahu. Akhirnya saya kalah.
Abdi             : Maaf bukan maksud…
Damar           : Tidak, Abdi. Saya yang tidak teliti. Saya kira saingannya hanya kamu.
Abdi             : Iya, ada satu lagi.
Damar           : Saya tidak sangka dia juga berambisi untuk menjadi kepala. Hah, siapa yang percaya juga. Kedatangannya kemari bisa kita hitung jari. Katanya ia sibuk dengan urusan di luar negeri. Tapi orang-orang bilang, kerjanya hanya membuat onar dimana-mana.
Abdi             : Iya! Dan ia hanya hadir saat kenaikan jenderal kemarin. Padahal kita sudah sering menjalani proses pahit disini.

DAMAR MULAI TERTARIK DENGAN RESPON ABDI YANG TERNYATA SEPENDAPAT DENGANNYA. IA MEMANFAATKAN MOMEN INI UNTUK MENGAJAK ABDI SEPEMIKIRAN DENGANNYA.

Damar           : Ya memang seperti itu. Dari awal saya juga tidak melihat ada kemauan dari dirinya.
Abdi             : Lalu kenapa dia yang menang?
Damar           : Karena ia melakukan hal yang sama seperti saya.
Abdi             : Maksudnya?
Damar           : Ia berkhutbah ke orang-orang bahwa kita bukanlah pemimpin yang baik.
Abdi             : Kita?
Damar           : Iya, kita. Selain itu sebelum masa pemilihan, ia berbicara empat mata kepada beberapa rakyat, khusunya para pemimpin mereka untuk meminta restu atas penyalonan dirinya sebagai kepala.
Abdi             : Apa?
Damar           : Kamu tahu kan kalau orang-orang kita selalu merasa ‘diperhatikan dan disayang’ kalau mata sudah saling tatap? Bagaimana kalau dengan sedikit buah tangan? Ya seperti sebatang coklat misalnya.
Abdi             : Sogokan maksudmu?
Damar           : Semacam itu. Tapi hanya itu yang saya tahu. Selebihnya, kita sudah tahu berdua.
Abdi             : Apa lagi?
Damar           : Memang kamu tidak memerhatikan gerak-geriknya semasa kampanye?
Abdi             : Aku perhatikan. Tentang janji-janjinya semasa itu kan? Yang ia ingin membangun jembatan, rumah sakit, rumah ibadah, bahkan sekolah gratis? Iya kan?
Damar           : Tepat sekali! Rakyat semakin menggilai dirinya.
Abdi             : Iya aku paham. Dan kau tahu, rakyat juga menilai bahwa ia adalah tokoh yang agamis. Ia sangat religius.
Damar           : Nah! Itu, Abdi! Itu!
Abdi             : Padahal, ia tidak kenal siapa rakyatnya. Ia tidak tahu tata negara ini. Puluhan tahun ia tinggal di luar negeri.
Damar           : Ya, benar. Tidak dapat dipungkiri, padahal kita yang berjuang demi rakyat.
Abdi             : Tidak, Damar. Kamu yang berjuang. Rakyat mencintai-mu.
Damar           : Tapi saya perlu kamu di samping saya. Rakyat juga kagum dengan-mu.Wibawa, kebijaksanaan, dan kharisma-mu membuat rakyat juga jatuh cinta.
Abdi             : Tapi sifat rendah hati dan penyayang membuat rakyat merasa nyaman berada dekatmu, Damar. Kamu ini memiliki sifat jenaka yang mampu mencairkan suasana dan membuat rakyat terhibur. Mereka nyaman.
Damar           : Tapi, ini sudah terjadi. Tidak ada yang bisa kita batalkan. Ia telah naik mimbar sebagai kepala negara kita.
Abdi             : Iya, benar. Kita sudah bukan siapa-siapa.
Damar           : Tapi kamu wakil negara, Abdi. Saya hanya seniman.
Abdi             : Tapi saya bingung tugas saya. Ia bahkan belum pernah bertatap muka dengan saya membicarakan negara ini.
Damar           : Sungguh?
Abdi             : Iya!
Damar           : Sesungguhnya, masih ada rasa kecewa karena kalah pemilihan. Bukan karena saya tidak menjadi kepala negara. Tapi karena saya dikalahkan oleh orang yang sama sekali tidak pantas untuk memimpin negara ini. Saya sakit hati. Seenaknya dia mengambil alih.
Abdi             : Saya pun demikian, Damar. Saya sudah mengira kamu yang akan naik. Saya pun tidak rela sebenarnya kalah dari manusia itu.
Damar           : Pernahkan terbesit olehmu, kenapa dia menjadikanmu wakilnya?
Abdi             : Tidak
Damar           : Karena ia membutuhkan orang yang kenal dengan negaranya. Dan kamu orangnya. Ia membutuhkan orang yang tahu seluk beluk negara ini.
Abdi             : Tapi kamu yang lebih tahu daripada saya. Kenapa bukan kamu?
Abdi             : Karena dari awal saya sudah menunjukan rasa benci saya kepadanya. Ketika beberapa orang meneriakkan kekalahan saya, saya selalu bilang bahawa jumlah suara yang saya dapat adalah kinerja saya selama ini. Bukan hasil dari kampanye dan obral janji.
Abdi             : Kamu berbuat seperti itu?
Damar           : Iya. Biar dia sadar bahwa kemenangannya merupakan kepalsuan. Ini sudah hampir setengah tahun, dan belum ada rencana pembangunan yang dibuatnya.
Abdi             : Dia juga belum memberitahukan apa-apa kepada saya.
Damar           : Nah, itu! Bagaimana dia ini! Kerjanya tidak becus!
Abdi             : Tapi dia pemimpin kita sekarang, Damar. Kita harus menurutinya.
Damar           : Pemimpin saya adalah orang yang saya kenal dan dia juga mengenal saya.
Abdi             : Tapi saya wakilnya. Berarti kamu juga harus menuruti saya.
Damar           : Saya menuruti kamu, Abdi. Tapi tidak untuk dia.
Abdi             : Lalu, apa rencana kamu selanjutnya? Masih tetap mau focus dengan kesenianmu itu?
Damar           : Iya. Biar saya tunjukan ke semua orang bahwa sebenarnya kita adalah pemimpin mereka. Melalui puisi-puisi yang saya buat, saya akan membuat orang-orang yang telah memilihnya menyesal.
Abdi             : Tapi saya sudah menjadi wakilnya.
Damar           : Kamu adalah bonekanya, bukan wakilnya!

ABDI TERDIAM MENDENGAR KATA DAMAR. IA BERPIKIR SEJENAK UNTUK MENCERNANYA.

Abdi             : Benarkan begitu adanya?
Damar           : Kamu pikir sendiri, Abdi. (mengemas kembali barang-barangnya) Hujan sudah reda, saya pulang dulu.
Abdi             : Baiklah
Damar           : Selamat tinggal (sambil melangkah keluar)
Abdi             : Bagaimana jika saya tidak mau dijadikan wakil?
Damar           : (terdiam sejenak memerhatikan Abdi) Maka jadilah kepala.
Abdi             : Membunuh maksumu?
Damar           : Tidak perlu, aku saja. (tersenyum sambil keluar dari ruangan)

ABDI TERDIAM SAMBIL MENATAP KEPERGIAN DAMAR. PIKIRANNYA BINGUNG ANTARA MEMBELA DIRINYA ATAU MENGIKUTI MAKSUD DAMAR

Tamat



Share:

Sabtu, 16 Desember 2017

Naskah Monolog: Kandidat (-7)


Seseorang berseragam SMA duduk bersandar pada tiang ring basket. Dimainkannya bola basket yang dipegangnya sambil menatap awan diatasnya. Yang ia duduki adalah lapangan basket dengan garis lapangan tegas terang dan di depannya terdapat ring basket kedua namun lebih jelek (berkarat, cat nya luntur, jaringnya robek).
BUNYI BEL SEKOLAH
Ah masuk! (Berbicara kepada penonton) Teman-teman, ayo masuk! Sudah bel!
Ia hendak pergi meninggalkan lapangan. Namun ketia sampai didepan tiang basket yang jelek, langkahnya terhenti.
Ah ini lagi! (Memperhatikan tiang itu dengan seksama. Dilihatnya dari bawah sampai atas. Dielus-elus tak sekali dicium bau besi berkarat yang sering kena hujan itu). Dasar, pejabat tidak bertanggung jawab! Sudah tahu ada yang rusak, tapi masih saja didiamkan seperti ini. Lama-lama karat menggerogoti besi ini terus rontok dan jatuh menimpa kepala mereka, awas saja. Saya orang yang tertawa paling keras! Hahaha!!!
Memang kelakuan manusia sekarang seperti itu. Mereka tidak pernah sadar kalau ada hal yang rusak. Mereka tidak pernah sadar kalau ada yang luka. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana melewati hari agar terus tetap duduk di posisinya saat ini. Lihat kan tiang basket ini? Jelek sekali keliatannya. Tapi bapak dan ibu bagian sarpras itu enggan untuk memperindah tiang ini lagi. Yang mereka pikirkan hanyalah datang ke sekolah-duduk di belakang meja-pulang-sambil menghitung hari dan menyambut tanggal gajian. Apa? Eh saya bukannya durhaka sama guru. Tapi ini pengalaman yang saya alami setiap saya mau minta izin buat minjem barang untuk keperluan acara OSIS. Birokrasi selalu dijadikan alas an, padahal saya Cuma mau minjem mikrofon satu biji! Bilang aja kalo males ngambil di gudang. Ya kan saya bisa ambil sendiri, gak usah nunggu mereka.
Lihat saja, masa kepengurusan OSIS selanjutnya, saya akan lebih berani untuk memaksa mereka agar melayani kami lebih baik sebagai babu sekolah. Memang mereka ini tidak sadar apa kalau kami ini yang selalu sibuk membuat acara agar nama sekolahnya juga yang bagus. Berkat kami juga, akreditasi sekolah sekarang jadi A. OSIS juga berperan penting sebagai penghubung antara birokrat dengan siswa. Ah! Susah, dasar penyakit. Tapi teman-teman tahu kan, ini yang menjadi penyakit sekolah kita sekarang. Masa Pembina OSIS enggan mengizinkan anak-anaknya membuat acara di sekolah. Alasannya simple, mereka hanya tidak mau datang saat hari libur. Katanya mereka juga punya keluarga, mereka punya anak. Heh! Bu, pak, kalo begitu mending gak usah jadi Pembina kami! 30% gaji tambahan sebagai Pembina OSIS yang diberikan Negara untuk apa?
Tapi… Buat apa saya marah-marah disini. Buat apa juga saya masih memikirkan kepengurusan OSIS selanjutnya. Wong saya ini bukan ketua OSIS nya kok. Saya Cuma kandidat yang lebih sedikit suaranya. Heh! Bukan! Bukan kalah! Enak saja! Saya tidak kalah! Saya tidak gagal!
Memang kalian lihat hasil perhitungan suara kemarin? Lihat tidak? Hahahaha… saya hanya kurang 7 suara dari kandidat yang satu. Yah memang, untuk kalian-kalian yang tidak tahu apa-apa, pasti kalian langsung mengira kalau saya ini kalah pemilihan. Untuk kalian-kalian yang tidak peduli apa-apa, pasti kalian langsung mengira kalau saya gagal dalam pemilihan kali ini. Tapi sebenarnya, saya menang!
Hahaha.. saya tahu pasti kalian mengira kalau saya ini sombong, kalau saya ini angkuh, kalau saya ini besar kepala. Nah, biar kita sama-sama enak, mungkin saya ceritakan dulu kenapa saya menganggap kalau diri saya adalah pemenang dalam pemilihan kemarin. Tapi, perlu teman-teman ketahui, kalau pemenang dan kandidat terpilih adalah sebuah perbedaan.
Awalnya, saya tidak mengira kalau Jafar, ketua OSIS yang baru terpilih kemarin hendak mencalonkan diri. Jangankan saya, semua teman-teman seperjuangan saya di OSIS pun tidak pernah terbesit sekalipun pikiran kalau nanti ia yang akan menjadi kepala kami. Padahal si Jafar ini adalah orang yang senangnya berpindah-pindah organisasi. Maka tidak jarang ia selalu absen setiap OSIS mengadakan rapat atau acara. Bagaimana tidak? Setiap ditanya kemana, pasti dia jawab…
“Saya ada rapat di Teater; saya ada kunjungan untuk Pecinta Alam; saya ada kajian di rohis”.
Nah, teman-teman pasti akan bertanya-tanya tentang loyalitasya. Dimana sebenarnya loyalitasnya untuk organisasi yang nanti akan ia kepalai ini. Beda dengan saya, saya hanya ikut dua organisasi yaitu teater dan OSIS. Teman-teman mengenal saya sebagai actor yang baik di teater dan pengurus yang taat di OSIS. Nah, dari situ saya merasa bahwa saya selalu punya ikon dari dua organisasi yang saya jalani itu. Tidak dengan Jafar, pasti kalian bingung dan enggan memikirkan siapa Jafar untuk perannya baik di sekolah maupun di organisasi yang banyak ia jalani itu. Mungkin orang-orang akan menganggapnya bagus dan kagum dengan pembagian waktu Jafar menjalani organisasi yang banyak itu. Tapi tidak dengan saya dan orang-orang yang paham betul arti loyalitas.
Hmmm sampai mana tadi… Oh iya, pencalonan itu. Ketika saya tahu kalau Jafar adalah salah satu kandidat, tidak ada rasa resah sedikitpun dari saya. Tidak ada pikiran di benak saya bahwa nantinya ia akan mengalahkan saya di pemilihan. Tapi hari demi hari menjelang masa kampanye, teman-teman di OSIS yang dekat dengan saya bercerita tentang apa-apa yang dilakukan Jafar. Kata mereka, Jafar mengirim pesan kepada teman-teman satu angkatannya yang sebelumnya tidak pernah ia kenal untuk meminta restu agar bisa naik menjadi ketua OSIS. Tapi saya bukanlah orang yang sembarangan seudzon dan gampang percaya. Saya Tanya kepada beberapa teman saya yang bukan pengurus OSIS, dan apa kata mereka? Mereka pun juga bingung, kenapa seorang Jafar yang kesehariannya adalah pribadi yang tertutup dan kuper mau mengirim pesan ke seluruh teman satu angkatan untuk mendukungnya menjadi ketua OSIS?
Tidak hanya itu teman-teman sekalian, asal kalian tahu. Semenjak awal menjabat sebagai pengurus OSIS, partisipasinya sangat sedikit. Ia hanya menjalani dua proker setelah itu ia hilang pergi ke organisasinya yang lain. Padahal saat itu OSIS sedang dilanda masalah. OSIS sedang genting keadaannya. Angkatan saya sebagai junior saat itu menuntut kinerja senior kami yang sangat minim. Kami menangis bersama meminta, meraung, memohon kepada senior kami untuk tidak hanya mengawasi tapi juga membimbing. Kami merasa ini adalah budaya yang jelek di OSIS. Senior yang kerjanya hanya mengeval kinerja kami, tapi mereka tidak ikut meringankan beban yang kami kerjakan setiap proker. Dimana Jafar saat itu? Tidak ada!
Lalu kapan ia kembali ke OSIS? Kapan? Ya, saat masa orientasi. Masa dimana masuknya siswa-siswi baru ke sekolah kami. Masa dimana masuknya gelas-gelas kosong yang belum mengerti apa-apa tentang kehidupan di sekolah kami. Saat itu, Jafar kembali. Dan tidak tanggung-tanggung, ia mengambil kendali menjadi pembawa acara pada masa itu. Ia mengambil kendali sebagai orang yang paling pertama dipandang oleh anak-anak baru. Sebagai seorang ‘kakak baik’;’kakak tampan’ bagi anak baru. Beda dengan saya, sebagai ketua pelaksana masa orientasi itu, saya memiliki goals. Saya tidak ingin anak-anak itu menjadi pribadi yang manja, menjadi pribadi yang lenjeh, menjadi pribadi yang ingin manisnya saja. Maka dari itu, saya dituntut tegas untuk mendidik mereka. Dan ini, pasti tegas yang saya maksud adalah ‘galak’ yang kalian lihat, iya kan?
Padahal saya hanya ingin membangun karakter siswa yang kuat. Bukan yang menye-menye. Tapi anak-anak baru itu malah menganggap bahwa saya adalah kakak yang galak. Buktinya saya mendengar sebuah percakapan antara teman saya dan salah satu anak baru yang bergabung dalam teater di sekolah saya. Katanya seperti ini.
“Kelas saya mah sepakat pilih kak Jafar semua. Dia ramah, baik, gak galak kaya kak Adli.”
Dari situ, dari situ saya mulai resah kalau-kalau Jafar yang akan menang pemilihan nanti. Saya takut, saya sedih, saya kalut… Ya ampun tuhan! OSIS, organisasi yang melahirkan pribadi baik saya, organisasi yang melambungkan nama saya, organisasi yang menjadi tempat berjuang saya akan dipimpin oleh orang yang tidak memiliki raga di OSIS nantinya. Akan dikepalai oleh orang yang tidak tahu ada luka di sini, orang yang tidak paham ada retakan di sini, orang yang tidak peka ada penyakit disini. Bahkan orang yang tidak kenal teman-teman pengurus lainnya. Sara, Jesi, Angga, Niko, Nisa, dan teman-teman pengurus yang lain adalah keluarga saya, adalah sahabat saya, adalah organ tubuh saya. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa hadir dalam hari-hari buruk saya. Mereka adalah pahlawan bagi saya, mereka segalanya.
Tuhan! Mereka akan dikepalai oleh orang yang tidak mereka kenal. Mereka akan dikepalai orang orang yang tidak mengenal mereka. Mereka akan dikepalai oleh orang yang tidak kenal rumahnya. Mereka akan dikepalai oleh orang yang tidak pernah berjuang bersama mereka. Kami menyayangi OSIS sebagaimana rumah kami. Banyak cerita yang kami ukir disana. Banyak kisah yang kami pahat disana. Banyak harapan yang kami doakan disana. Tapi tidak dengan ini. Ahhhh, saya benci politik!
“Adli, niat kamu sangat baik untuk menyembuhkan luka yang ada pada rumah kamu saat ini. Niat kamu sangat mulia untuk menghilangkan retakan yang ada sekarang. Dan kebanggaan besar bagi kami ketika kamu memberanikan diri untuk menyalokan diri kamu sebagai pemimpin kami nanti. Harapan besar kami ada pada kamu. Kami percaya kamu bisa memperbaiki kesalahan yang ada pada OSIS saat ini. Kami percaya kamu adalah orang yang tepat untuk membawa perubahan. Tapi satu yang harus kamu ingat, sekarang ini kamu sedang dalam masa pesta demokrasi. Sekarang ini kamu sedang dalam masa dimana seluruh warga sekolah akan mudah dihipnotis dengan janji-janji kampanye dan seluruh atribut untuk mencuri hati mereka. Teman, senior, dan adik kelas yang kita didik kemarin akan kosong pikirannya. Dan kamu harus berbuat yang sama seperti kandidat lainnya, seperti Jafar. Kamu harus bisa mengambil perhatian mereka. Kamu harus menyebarkan janji-janji kampanye seperti calon-calon presiden kemarin. Buat program kamu semuluk-muluknya agar warga sekolah bisa tertipu daya dengan kampanye yang kamu lakukan. Ini demi kami, demi OSIS. Yang menentukan kamu menang atau tidak adalah suara dari mereka, bukan dari kami sebagai sahabatmu.“
Tidak! Tidak! Ah… Saya butuh kejujuran. Saya butuh keadilan. Saya hanya ingin terpilih sebagai ketua dengan berbekal kepercayaan dari warga sekolah, bukan karena janji kampanye. Saya percaya, apa yang saya lakukan selama satu tahun di sekolah ini akan mampu membuat mereka percaya kalau saya bisa memimpin OSIS. Saya yang menghapus larangan junior tidak boleh lewat di tengah lapangan, saya yang mengepalai mereka untuk berani duduk di kantin tanpa harus takut dengan senior, saya yang menjadikan OSIS sebagai organisasi penyalur bakat mereka, saya yang membuat OSIS sebagai organisasi yang terbuka akan kritik dan saran bagi mereka. Saya yang… saya yang… akhhhhh!!!!
Saya tidak ingin menjadi ketua yang terpilih karena janji kampanye seperti para pemimpin Negara saat ini. Saya hanya ingin menjadi pemimpin yang dipilih karena ketulusan, karena kenal siapa saya, karena tahu apa yang akan saya lakukan. Saya tidak melakukan kampanye. Saya tidak menyebarkan pamphlet yang berisikan ajakan untuk memilih saya. Saya tidak mengirim pesan kepada kalian, kepada teman-teman saya. Saya tidak berpura-pura baik di depan anak baru. Saya percaya, tanpa saya harus menyuarakan rencana muluk seorang kandidat, saya akan menang menjadi ketua OSIS yang dipilih karena kepercayaan warga sekolah akan saya. Saya percaya. Iya, saya percaya!
Tetapi… Saat itu, sore hari di aula ketika waktu penghitungan suara. Saya duduk disamping salah satu teman saya. Mereka bercanda meledek saya karena saat itu jumlah suara yang saya dapat lebih unggul dari Jafar. Perhitungan terus berjalan, suara saya bertambah terus. Peluh saya mulai bermunculan menerka-nerka apa suara saya terus berjalan atau malah Jafar akan menyusul di depan. Di samping itu, saya juga berpikir tentang cabinet yang nantinya akan saya bentuk ketika menang pemilihan nanti. Rasa senang dan gelisah menjadi satu disitu. Akhirnya saya putuskan untuk pergi dari aula menuju ruang OSIS. Saya berniat untuk duduk dan menenangkan diri sambil menunggu hasilnya. Saya ingin tenang. Saya ingin rileks. Tapi suara penghitungan suara lewat speaker di aula masih saja terdengar dari sini. Walau samar-samar, tapi saya masih bisa mendengar nama siapa saja yang terus disebut.
Hingga akhirnya, speaker berbunyi.
“Lembar terakhir, no.urut 2….”
Lalu hening. Lalu diam. Lalu senyap. Apa speaker itu mati? Apa speaker itu rusak? Masih hening. Masih diam. Masih senyap. Apa suara sedang dihitung jumlahnya? Apa sebanyak itukan perolehan yang didapat? Apa setipis itukah perbandingannya. Terus hening, terus diam, terus senyap. Kemudian bunyi kresek-kresek speaker bunyi lagi…
“Ya…”
“Dan… setelah perhitungan, maka Ketua OSIS Periode 2018 akan dipimpin oleh Jafar!”
Hahahahaha…. Saya gagal! Saya pecundang! Saya kalah! Hahaha… Tidak lama setelah itu, mereka datang. Mereka yang menemani perjalanan saya di organisasi ini merangkul saya erat. Memeluk saya dengan hangatnya. Ditambah basah airmata yang membuat saya ikut meneteskannya. Kemudian saya Tanya, “berapa suara yang saya dapat?” Enam puluh tiga kata mereka. Sementara Jafar mendapat 70 suara. Lalu saya lepaskan pelukan mereka dan menatap mereka penuh keyakinan. Mata mereka masih sembab karena tangisan. Wajah mereka masih merah. Dengan yakin saya katakana kepada mereka…
“63 suara yang saya dapat adalah hasil dari kerja keras yang saya lakukan semenjak saya menginjakan kaki di sekolah ini. Saya tidak kampanye, saya tidak obral janji, saya bertindak selayakanya tidak ada pemilihan. 63 suara yang saya dapat berasal dari orang-orang yang mengenal betul siapa saya, orang-orang yang tahu apa tujuan saya, orang-orang yang percaya dengan saya. 63 suara yang saya dapat adalah mereka yang tidak mudah percaya dengan janji politik. 63 suara yang saya dapat adalah orang yang jatuh hati dengan kinerja saya. 63 suara yang saya dapat berasal dari orang-orang yang percaya bahwa saya bukanlah kakak galak. 63 suara yang saya dapat adalah orang-orang yang senantiasa bersama saya.”
“70 suara yang didapat oleh Jafar adalah hasil jual diri, adalah hasil obral janji, adalah hasil memakai topeng, adalah hasil haus akan posisi, adalah hasil akan nafsu memimpin.”
Dia memimpin, tapi tidak menang dalam pemilihan. Karena juara sesungguhnya adalah ia yang bertahan sebagaimana dirinya sendiri.
Lihat kan teman-teman, sudah hampir satu jam kita disini. Sedangkan bel masuk sudah berbunyi dari tadi. Lihat kan betapa tidak pedulinya guru-guru kita terhadap muridnya yang masih keluyuran di jam pelajaran. Bukannya ditegur, malah cuek saja. Saya yakin, pasti mereka masih enak-enakan melihat-lihat catalog Oriflame di ruang guru. Atau masih sibuk merencanakan jalan-jalan ke luar kota dengan motif rapat kerja. Haduh….
Sudah teman-teman, ayo kita masuk kelas. Eh, itu yang dasinya jelek tidak usah dipakai. Nanti kalian malah dipaksa untuk beli dasi baru di koperasi.
Seseorang itu kemudian meninggalkan lapangan dengan berlari perlahan. Lampu perlahan-lahan fade out namun masih mennjukan sisi terang di tiang basket yang jelek tadi.
Tamat

Share:
Diberdayakan oleh Blogger.