“Buang Cina jauh-jauh dari pribumi!” teriak mereka yang masih dengan gagahnya berdiri di depan balai kota siang itu. Berbagai warna almamater dari beberapa kampus berbeda, mereka bersatu padu menyuarakan (katanya) aspirasi mereka untuk menurunkan salah satu pejabat Negara yang genetiknya merupakan keturunan Tionghoa.
“Kami ingin pemimpin asli pribumi!” teriak mereka semakin gagah dan yakin apa yang mereka suarakan dari luar akan dikabulkan dengan mudah. Ribuan mahasiswa yang tergabung disini memiliki satu suara untuk menyingkirkan apa yang ingin mereka singkirkan. Termasuk saya.
Setelah aksi unjuk rasa usai dengan kebosanan para demonstran yang tidak mendapatkan hasil seusai yang diinginkan, satu-persatu meninggalkan arena pertaruhan mereka. Begitupun dengan saya. Setelah melipat almamater yang penuh dengan embelm organisasi yang saya ikuti, saya menyadari bahwa hari sudah gelap. Biasanya saya pulang dengan menggunakan angkutan umum Transjakarta. Namun karena waktu yang sudah larut dan saya rasa ragu masih ada bus yang lewat, akhirnya pulang menggunakan ojek online menjadi satu alternatif yang mudah di zaman seperti ini.
Liem, nama pengemudi ojek online yang sekitar 4 menit lagi sampai ke titik penjemputan saya. Disela-sela beberapa teman saya pamit duluan dengan kendaraannya masing-masing, Liem datang dengan jaket seragam namun helm yang tidak senada. Ia memanggil-manggil nama saya namun dengan cepat saya hampiri ia. Ia tersenyum ramah menyambut kedatangan penumpangnya. Buru-buru saya naiki motornya dan menjelaskan jalan yang biasa saya lewati untuk sampai ke rumah.
“Abis ada kegiatan mas? Kok sampai larut?” tanyanya kepada saya yang masih sibuk memainkan ponsel.
“Eh iya nih pak, ikut-ikutan aksi aja sama temen-temen.”
Sejenak ia hening. Di persimpangan jalan, ia menunjuk beberapa spanduk yang terpasang di antara pohon-pohon bertuliskan ‘Bhineka Tunggal Ika’.
“Spanduk segede gitu berapa duit ya mas harganya?” tanyanya.
Sejenak saya berfikir mengira-ngira ukuran spanduk yang ia tunjuk sekitar 4x2 meter ukurannya. Yang saya tahu harga per meternya sekitar 20.000, ya kira-kira 160.000 untuk satu spanduk.
“Wah mahal juga ya. Kalo dipasang banyak di deretan jalan gini bisa abis berapa juta ya?”
Saya hanya tertawa kecil mendengar ocehan bapak ini.
“Sayang sekali ya mas, uang jutaan hanya untuk menipu rakyat. Katanya Bhineka Tunggal Ika, tapi kenyataannya masih saja memperjuangkan perbedaan.” Terangnya yang membuat saya semakin penasaran.
“Maksudnya pak?” Tanya saya.
Ia berdehem sebentar sembari berfikir kata pertama yang hendak ia ucapkan.
“Dulu saya pengusaha yang sukses. Walaupun perusahaan saya hanya satu berdiri di Jakarta, tapi pendapatannya lumayan besar.”
Kalimat itu membuat saya semakin penasaran, apa yang hendaknya ia katakan. Reflek saya mengiyakan kalimat tersebut dengan nada tanya. Setelahnya ia bertanya kanan atau kiri untuk pertigaan yang kami lewati. Belok ke kanan, saya tunjuk dengan tangan saya.
Katanya, ini jalan menuju ke perusahaannya dulu. Setiap pagi ia selalu mengantar anaknya ke sekolah sebelum menuju jalan ini. Saya tidak berani bertanya kenapa malah jadi pengemudi ojek online sebab saya merasa pertanyaan itu malah takutnya menyinggung profesinya.
“Perusahaan saya dibakar habis.”
Sekujur tubuh saya merinding mendengar yang satu ini. Kejadiannya tepat pada tragedi 98 dimana rakyat membabi buta menjarah dan menghabiskan apapun yang bukan milik pribumi. Termasuk perusahaan milik Liem.
“Semuanya habis, saya pailit. Sudah tidak punya apa-apa lagi selain rumah yang sebelumnya tidak saya tempati.”
Saya masih mengiyakan setiap omongannya dengan maksud untuk mengharapkan kelanjutan ceritanya. Bukan salahnya lahir dari keturunan Cina. Tuhan yang mau. Ia hanya ingin hidup sebagaimana rakyat pribumi menjalankan kesehariannya di sini.
“Padahal sebagian besar karyawan dan rekan kerja saya adalah asli pribumi. Serius. Saya tidak pernah memandang apapun selain skill untuk memilih seorang karyawan. Bahkan Jipe, seorang Maluku yang datang ke Jakarta untuk bekerja merupakan karyawan terbaik yang saya miliki. Jangankan ras, agama pun saya tidak pernah membedakannya. Mayoritas karyawan saya adalah Islam. Setiap bulan di kantor, semuanya mengadakan pengajian untuk mendoakan karyawan yang ulangtahun di bulan itu. Saya senang berada bersama mereka. Bukannya saya pamrih, jujur saya menyayangi mereka lebih dari apapun. Gimana tidak mas, setiap harinya saya bersama mereka kok.”
Saya hanya tertegun mendengar penjelasan panjangnya. Jalan masih lurus untuk akhirnya sampai ke perempatan selanjutnya. Tidak lama ia menunjuk satu rumah yang lumayan megah dengan lampu benderang dimana-mana. Ini perusahannya dulu yang sekarang sudah berubah bentuk menjadi rumah hunian.
“Dulu di depan sini ada Mba Lasmi. Penjaga warung kecil yang sering menjadi teman ngobrol saya kalo istri saya bermasalah. Mba Lasmi pendatang dari Semarang. Ia mengerti bagaimana perempuan. Darinya saya belajar banyak cara melayani istri saya dengan baik.”
Saya tertawa kecil mendengarnya untuk menutupi rasa penyesalan saya yang hari ini malah ikut teriak-teriak menyuarakan kebencian. Tapi pembelaan masih ada pada diri saya, sedikit egois memang.
“Tapi kan pak ini tanah Indonesia, kenapa malah banyak etnis Cina yang menguasai?” Tanya saya membela.
Malah ia gentian tertawa mendengar perkataan saya. “Emang mas sudah menghitung banyakan mana?”
Diam. Merasa saya diremehkan olehnya, hendaklah saya membuka kembali pembelaan saya namun ia berkata lebih dulu.
“Saya kan tadi bilang, mata kita aja nih yang sipit. Emang bayi bisa milih mau lahir dari perut orang mana? Ini ke kiri ya mas?”
Iya. Sebentar lagi saya sampai rumah. Lalu, kenapa jadi pengemudi ojek? Setelah kejadian, kemana ia? Rasa penasaran saya yang semakin kuat membuat saya menanyakan hal barusan. Ia menjelaskan bahwa depresi sempat bertamu selama dua bulan. Semuanya, termasuk istri dan anaknya yang kala itu hanya ingin tidur di ranjang rumahnya. Istri dan anaknya ia telantarkan begitu saja tanpa ia peduli makan darimana. Semuanya stress, mengurus diri sendiri saja sulit, apalagi mendengarkan istri yang selalu minta dipulangkan ke rumah orangtuanya di Blitar.
“Saya bersyukur sih masih bisa bertahan. Beberapa teman saya sudah ada yang bunuh diri, jadi gila, sampai jadi gelandangan sekarang ini.”
“Di sini mas rumahnya?” tanyanya.
Saya mengiyakan sambil memberinya uang bulat tanpa harus ia kembalikan kembaliannya kepada saya.
“Makasih ya mas, salam buat bapak. Ditunggu laporan bulanannya sama Pak Liem. Haha.”
0 komentar:
Posting Komentar