Padahal dia yang bilang mau melunasi utang yang ia pinjam sejak umur saya tiga tahun. Ketika itu pada pesta ulang tahun dan banyak tetangga yang malas untuk pergi ke sebuah toko mainan sehingga mereka hanya memberikan saya amplop berisi uang sekitar lima sampai sepuluh ribu. Banyak tetangga yang datang baik yang memiliki anak kecil maupun hanya ibu-ibu yang biasa mengobrol dengan mama. Uang yang terkumpul mungkin bisa saya belikan sebuah piano belajar yang harganya murah.
Tapi sekarang ketika saya beranjak dewasa, ia sama
sekali tidak ingat bahwa ia pernah menikmati kumpulan uang hasil ulang tahun
anak kecil yang ia gunakan untuk membayar rugi temannya yang memecahkan botol
bir di sebuah warung pinggir jalan. Kini ia memiliki sebuah kafe kecil yang
pada akhir tahun ini kering pengunjung. Membuatnya meminjam lagi kesana kemari
demi menutup utang-utang sebelumnya.
Hari ini saya berniat mengundurkan diri dan beranjak
ke luar kota. Dengan menuntut upah saya selama 6 bulan yang belum dibayar tanpa
utang yang ia pinjam semasa saya kecil, saya harap cukup untuk modal kamar
tidur dan ongkos bolak-balik mencari pekerjaan baru. Memang sebenarnya aneh ada
anak yang menagih upah kepada ayahnya ketika usahanya bangkrut dan memutuskan
untuk bekerja secara pribadi dibandingkan membantunya keluar dari masalah. Tetapi,
saya sudah sampai di ambang batas kejenuhan. Bertahun-tahun saya diperbudak
oleh seorang ayah yang bahkan tidak menyekolahkan anak perempuannya ini.
Dibalik kesengsasraan yang saya miliki, ketika ayah
menutup kafenya dan tinggal saya sendirian di dalam, biasanya saya menarik
sebuah kursi dan meletakkannya di tengah-tengah kafe. Saya mengambil napas
dalam-dalam dan memulai nada awal yang langsung meninggi. Mendendangkan
lagu-lagu Broadway dengan goyangan
tubuh yang saya rasa nikmat untuk digerakkan. Hingga dua atau tiga lagu
selesai, tubuh dan mulut saya masih semangat mendendangkan lagu-lagu yang
membuat semua bergetar.
Begitu setiap sore hingga hari menjelang gelap.
Lalu, saya pulang ke rumah untuk mencuci piring dan merapikan kamar untuk tidur
karena esok akan kembali ke rutinitas membosankan serta merugikan ini. Tetapi,
tidak untuk hari ini. Ini adalah hari terakhir saya berada di sini dengan
langsung meninggalkan kota bersama koper yang sudah saya sembunyikan di loker
penyimpanan tepung dan beras sehingga ayah tidak melihatnya. Biarkan saya lepas
dari bebannya, mengambil uang di rekening yang ia pasrahkan kepada saya. Tidak saya
lebihkan, cukup dengan 6 bulan gaji saya yang tertunda.
Saya meninggalkan surat yang diletakkan di meja
nomor empat belas yang ditindih dengan botol merica. Hanya berisikan kata “Saya pamit” tanpa embel-embel apapun. Biarkan
dia panik mencari keberadaan saya dan suatu hari saya kembali dengan mobil
mewah yang diparkir di depan rumah karena mungkin dalam beberapa minggu ke
depan, kafe akan dirubuhkan.
Saya pergi.
___
Kini saya berada di sebuah pusat kota. Mencari
sebuah kamar sewa untuk tidur karena esok pagi harus mencari pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan saya. Kalau tidak bisa menjadi seorang penyanyi acara
pernikahan, penyanyi kafe, mungkin menjadi pelayan seperti semula tidak
masalah. Asalkan upah yang diberikan pantas dan tidak seperti sebelumnya.
Masih berjalan menyusuri jalanan kota yang penuh
dengan lampu malam. Membuat tubuh serasa ingin bergoyang dengan musik yang
terdengar dari satu toko ke toko yang lain.
Bahkan hingga larut malam, saya belum menemukan satu
pun kamar tidur yang bisa menampung saya tidur malam ini. Bukan karena tidak
ada yang cocok, melainkan saya belum sama sekali mencarinya. Mata masih
menikmati suasana kota yang terang dengan lampu-lampu malam yang penuh dengan
warna.
Hingga sampai pada satu jalan kecil dan langit
menyuarakan kebosanannya. Gemuruh guntur dengan kilat tambahan membuat suasana
malam mendadak suram. Perlahan hujan jatuh di hidung saya dan perlahan
membasahi seluruh tubuh. Saya berteduh di salah satu atap yang terlihat seperti
pintu belakang sebuah bar. Koper yang saya bawa terletak aman di belakang tubuh
saya. Jadi, jika hujan deras, mungkin hanya kaus bagian depan saya saja yang
akan basah.
Suara musik di bar sebenarnya terdengar jelas hingga
ke telinga saya. Lagu yang diputar memang tidak masuk ke dalam playlist yang biasa saya nyanyikan
setiap harinya. Tetapi, saya tahu bahwa lagu itu mampu membuat tubuh saya
bergerak mendekati hujan. Membuat saya merasa bahwa hujan adalah taburan mawar
yang jatuh dari atas panggung menjadi ornamen ketika saya tampil di sana.
Dengan menikmati setiap alunannya, tubuh saya
bergerak sesuai irama dan kini sudah tidak ada satupun sisi yang kering. Air
hujan mengalir di atas permukaan kulit saya yang kini sedang merasakan getaran
dari nada ke nada.
Tanpa saya sadari, sudah ada satu orang yang membuka
pintu belakang tadi dan memperhatikan saya menari. Seorang wanita ramping
dengan rambut hitam yang dikuncir kuda dan wajah yang terlihat keturunan Timur
Tengah. Matanya yang berwarna hijau kecoklatan melihat saya tajam dengan bibir
yang mengatup. Tangannya bersedekap tanda ia benar-benar nyaman memperhatikan
setiap gerakan yang saya keluarkan.
Ia bertanya kepada saya di mana sebelumnya saya
pasti menyapanya. Awalnya saya kira ia mengeluarkan nada bicara seakan-akan
tidak menyukai saya. Tetapi, setelah berbicara lumayan banyak dan ia menawarkan
saya untuk masuk ke dalam bar, berganti pakaian, bahkan ia menawarkan sebuah
pekerjaan kecil yang mungkin bisa membantu saya untuk mencari uang.
Masuklah saya ke dalam dan dibawanya saya menyusuri
tangga menuju lantai tiga. Sepanjang perjalanan, saya melihat hal-hal yang
asing seperti dua atau tiga orang yang saling bercumbu baik di mulut maupun di
bagian tubuh manapun, orang-orang yang berbagi rokok atau alat yang dapat mengeluarkan
asap yang saya tidak tahu namanya, dan yang menarik perhatian saya adalah
panggung yang berisikan sekitar lima wanita dengan lingerie menari sambil bernyanyi bagaikan bintang yang saya lihat
di televisi.
Hingga sampailah saya di lantai tiga. Wanita yang
saya temui di belakang tadi menunjuk ke arah pintu di mana itu adalah toilet. Tanpa
berbicara, saya paham bahwa ia memerintahkan saya untuk berganti pakaian yang
kering. Sementara ia menunggu di depannya. Sebelum saya masuk, saya sempat
menanyakan namanya tapi ia hanya memerintahkan saya untuk masuk ke toilet lebih
cepat. Ia akan menjawab ribuan pertanyaan dari saya pada saat kita berbincang
di ruangannya nanti.
Setelah selesai berganti pakaian, saya mengikutinya
menuju ruangan yang terletak di ujung lorong lantai tiga. Memasuki ruangan yang
langsung kedap suara begitu pintu ditutup.
“Tsara. Pelayan minuman, besok malam langsung datang
atau cari pekerjaan lain?” tanyanya kepada saya datar.
Saya hanya terpaku mendengar dan menatapnya yang
seakan-akan menunjukan bahwa hanya ia penyelamat saya sekarang ini. Sebenarnya
saya melirik wanita-wanita penari tadi dan berkeinginan untuk bergabung
bersamanya.
Saya mengiyakan karena kini saya berpikir bahwa
sebenarnya ini adalah berkah dari Tuhan yang diberikan kepada saya. Saya kira
esok pagi akan susah payah panas-panasan mencari pekerjaan. Ternyata baru satu
malam saya di sini, pekerjaan menghampiri saya. Tanpa surat lamaran, tanpa
daftar riwayat hidup.
Terimakasih, Tsara. Semoga senang menampung saya.
___
Malam-malam di bar ini telah saya lewati sebagai
pengantar minuman dari bar ke meja-meja tamu. Seringkali gelas saya jatuhkan
karena seringnya saya melihat wanita-wanita yang menari di panggung itu dengan
kostum sexy yang berganti-ganti.
Sering saya membayangkan diri saya berada di atas
sana. Menari dan bernyanyi secara sungguhan karena yang selama ini mereka
lakukan hanyalah lypsinc dan
menggoyangkan tubuhnya sesuai irama.
Pada satu malam ketika saya sudah mengenal sebagian
besar karyawan di sini, sebuah tragedi muncul yang mungkin bisa saya sebut
sebagai rezeki. Ketika para penari tampil dan saat itu juga lagu yang diputar
mendadak berhenti. Membuat semua penonton merasa kecewa. Jika pintar,
seharusnya salah satu diantara mereka membuka suara dan membunyikan nada
sebagaimana orang bernyanyi pada umumnya. Karena semakin lama, loyalitas saya
terhadap tempat ini meningkat dan khawatir melihat tamu yang mulai tidak
nyaman, saya memberanikan diri mendekat ke panggung.
Tirai sudah setengah turun saat ini dan saya sudah
berdiri gugup di depan pelantang. Tirai semakin turun sehingga sudah menutup
setengah wajah saya. Tidak mau menyianyiakan kesempatan ini, saya melantunkan
sebuah nada yang biasa saya lantunkan ketika di kafe dulu. Seketika, suara
ricuh penonton surut. Suara saya bergema dalam satu ruangan luas itu. Perlahan
tirai naik kembali.
Saya lantunkan kembali lirik berikutnya sehingga
kini saya bernyanyi masih dengan nada perlahan. Tanpa saya sadari, ternyata
salah satu bartender sudah memegang
gitar dan memetiknya sehingga nadanya sama dengan apa yang saya nyanyikan. Tanpa
briefing, kami melantunkan lagunya
bersama. Penonton yang semula kecewa kini kembali memberi perhatiannya.
Selesai satu lagu saya bawakan, terdengar suara
ribut di luar. Saya meninggalkan panggung dan menuju ke sumber keributan itu. Rupanya
Tsara dan salah satu penari wanita sedang adu argumen. Yang saya dengar ialah
ia tidak suka dengan perebutan penampilan yang saya ambil alih tadi. Namun di
sisi lain, Tsara malah mendukung dan ia bahagia karena para tamu senang
melihatnya.
Ketika ia menyadari bahwa saya sedang memperhatikan
pembicaraannya, ia menghampiri saya. Seperti biasa, Tsara mengeluarkan satu
kalimat singkat yang tidak bisa ditolak karena kalimat itu tidak mengandung
tanda tanya.
“Menari besok malam atau keluar dari bar ini.
Selamat.”
Saya bahagia mendengarnya. Kini impian saya terwujud
untuk menari di atas sana. Di balut dengan bikini dan bulu-bulu mewah diiringi
musik yang mampu menggoyangkan tubuh.
Kemudian Tsara mendekat dan membisikkan sesuatu di
telinga saya. Membuat saya sebenarnya merasa berubah menjadi kecewa dalam
sekejap. Membuat saya melupakan impian yang baru saya dapatkan.
“Tidurlah dengannya malam ini. Ia bisa mengajarkanmu
bergoyang di atas panggung. Atau keluar dari bar ini.”
Pinta Tsara sambil menunjuk seorang lelaki berumur
sekitar empat puluh tahun keturunan Eropa yang kini sedang duduk di sofa
ditindih oleh salah satu penari wanita yang mencumbunya bagaikan anak sapi
menemukan puting susu ibunya.
Ini kunjungan pertama saya ke belakang panggung.
Besok malam kunjungan pertama lelaki itu ke belakang
saya.
Malam seterusnya kunjungan saya menuju jurang
kehidupan.
Jakarta, 26 Desember 2016
Bima Dewanto
0 komentar:
Posting Komentar