Selasa, 14 Februari 2017

Cerpen: Kanan Cara




Padahal dia yang bilang mau melunasi utang yang ia pinjam sejak umur saya tiga tahun. Ketika itu pada pesta ulang tahun dan banyak tetangga yang malas untuk pergi ke sebuah toko mainan sehingga mereka hanya memberikan saya amplop berisi uang sekitar lima sampai sepuluh ribu. Banyak tetangga yang datang baik yang memiliki anak kecil maupun hanya ibu-ibu yang biasa mengobrol dengan mama. Uang yang terkumpul mungkin bisa saya belikan sebuah piano belajar yang harganya murah.
Tapi sekarang ketika saya beranjak dewasa, ia sama sekali tidak ingat bahwa ia pernah menikmati kumpulan uang hasil ulang tahun anak kecil yang ia gunakan untuk membayar rugi temannya yang memecahkan botol bir di sebuah warung pinggir jalan. Kini ia memiliki sebuah kafe kecil yang pada akhir tahun ini kering pengunjung. Membuatnya meminjam lagi kesana kemari demi menutup utang-utang sebelumnya.
Hari ini saya berniat mengundurkan diri dan beranjak ke luar kota. Dengan menuntut upah saya selama 6 bulan yang belum dibayar tanpa utang yang ia pinjam semasa saya kecil, saya harap cukup untuk modal kamar tidur dan ongkos bolak-balik mencari pekerjaan baru. Memang sebenarnya aneh ada anak yang menagih upah kepada ayahnya ketika usahanya bangkrut dan memutuskan untuk bekerja secara pribadi dibandingkan membantunya keluar dari masalah. Tetapi, saya sudah sampai di ambang batas kejenuhan. Bertahun-tahun saya diperbudak oleh seorang ayah yang bahkan tidak menyekolahkan anak perempuannya ini.
Dibalik kesengsasraan yang saya miliki, ketika ayah menutup kafenya dan tinggal saya sendirian di dalam, biasanya saya menarik sebuah kursi dan meletakkannya di tengah-tengah kafe. Saya mengambil napas dalam-dalam dan memulai nada awal yang langsung meninggi. Mendendangkan lagu-lagu Broadway dengan goyangan tubuh yang saya rasa nikmat untuk digerakkan. Hingga dua atau tiga lagu selesai, tubuh dan mulut saya masih semangat mendendangkan lagu-lagu yang membuat semua bergetar.
Begitu setiap sore hingga hari menjelang gelap. Lalu, saya pulang ke rumah untuk mencuci piring dan merapikan kamar untuk tidur karena esok akan kembali ke rutinitas membosankan serta merugikan ini. Tetapi, tidak untuk hari ini. Ini adalah hari terakhir saya berada di sini dengan langsung meninggalkan kota bersama koper yang sudah saya sembunyikan di loker penyimpanan tepung dan beras sehingga ayah tidak melihatnya. Biarkan saya lepas dari bebannya, mengambil uang di rekening yang ia pasrahkan kepada saya. Tidak saya lebihkan, cukup dengan 6 bulan gaji saya yang tertunda.
Saya meninggalkan surat yang diletakkan di meja nomor empat belas yang ditindih dengan botol merica. Hanya berisikan kata “Saya pamit” tanpa embel-embel apapun. Biarkan dia panik mencari keberadaan saya dan suatu hari saya kembali dengan mobil mewah yang diparkir di depan rumah karena mungkin dalam beberapa minggu ke depan, kafe akan dirubuhkan.
Saya pergi.
___
Kini saya berada di sebuah pusat kota. Mencari sebuah kamar sewa untuk tidur karena esok pagi harus mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan saya. Kalau tidak bisa menjadi seorang penyanyi acara pernikahan, penyanyi kafe, mungkin menjadi pelayan seperti semula tidak masalah. Asalkan upah yang diberikan pantas dan tidak seperti sebelumnya.
Masih berjalan menyusuri jalanan kota yang penuh dengan lampu malam. Membuat tubuh serasa ingin bergoyang dengan musik yang terdengar dari satu toko ke toko yang lain.
Bahkan hingga larut malam, saya belum menemukan satu pun kamar tidur yang bisa menampung saya tidur malam ini. Bukan karena tidak ada yang cocok, melainkan saya belum sama sekali mencarinya. Mata masih menikmati suasana kota yang terang dengan lampu-lampu malam yang penuh dengan warna.
Hingga sampai pada satu jalan kecil dan langit menyuarakan kebosanannya. Gemuruh guntur dengan kilat tambahan membuat suasana malam mendadak suram. Perlahan hujan jatuh di hidung saya dan perlahan membasahi seluruh tubuh. Saya berteduh di salah satu atap yang terlihat seperti pintu belakang sebuah bar. Koper yang saya bawa terletak aman di belakang tubuh saya. Jadi, jika hujan deras, mungkin hanya kaus bagian depan saya saja yang akan basah.
Suara musik di bar sebenarnya terdengar jelas hingga ke telinga saya. Lagu yang diputar memang tidak masuk ke dalam playlist yang biasa saya nyanyikan setiap harinya. Tetapi, saya tahu bahwa lagu itu mampu membuat tubuh saya bergerak mendekati hujan. Membuat saya merasa bahwa hujan adalah taburan mawar yang jatuh dari atas panggung menjadi ornamen ketika saya tampil di sana.
Dengan menikmati setiap alunannya, tubuh saya bergerak sesuai irama dan kini sudah tidak ada satupun sisi yang kering. Air hujan mengalir di atas permukaan kulit saya yang kini sedang merasakan getaran dari nada ke nada.
Tanpa saya sadari, sudah ada satu orang yang membuka pintu belakang tadi dan memperhatikan saya menari. Seorang wanita ramping dengan rambut hitam yang dikuncir kuda dan wajah yang terlihat keturunan Timur Tengah. Matanya yang berwarna hijau kecoklatan melihat saya tajam dengan bibir yang mengatup. Tangannya bersedekap tanda ia benar-benar nyaman memperhatikan setiap gerakan yang saya keluarkan.
Ia bertanya kepada saya di mana sebelumnya saya pasti menyapanya. Awalnya saya kira ia mengeluarkan nada bicara seakan-akan tidak menyukai saya. Tetapi, setelah berbicara lumayan banyak dan ia menawarkan saya untuk masuk ke dalam bar, berganti pakaian, bahkan ia menawarkan sebuah pekerjaan kecil yang mungkin bisa membantu saya untuk mencari uang.
Masuklah saya ke dalam dan dibawanya saya menyusuri tangga menuju lantai tiga. Sepanjang perjalanan, saya melihat hal-hal yang asing seperti dua atau tiga orang yang saling bercumbu baik di mulut maupun di bagian tubuh manapun, orang-orang yang berbagi rokok atau alat yang dapat mengeluarkan asap yang saya tidak tahu namanya, dan yang menarik perhatian saya adalah panggung yang berisikan sekitar lima wanita dengan lingerie menari sambil bernyanyi bagaikan bintang yang saya lihat di televisi.
Hingga sampailah saya di lantai tiga. Wanita yang saya temui di belakang tadi menunjuk ke arah pintu di mana itu adalah toilet. Tanpa berbicara, saya paham bahwa ia memerintahkan saya untuk berganti pakaian yang kering. Sementara ia menunggu di depannya. Sebelum saya masuk, saya sempat menanyakan namanya tapi ia hanya memerintahkan saya untuk masuk ke toilet lebih cepat. Ia akan menjawab ribuan pertanyaan dari saya pada saat kita berbincang di ruangannya nanti.
Setelah selesai berganti pakaian, saya mengikutinya menuju ruangan yang terletak di ujung lorong lantai tiga. Memasuki ruangan yang langsung kedap suara begitu pintu ditutup.
“Tsara. Pelayan minuman, besok malam langsung datang atau cari pekerjaan lain?” tanyanya kepada saya datar.
Saya hanya terpaku mendengar dan menatapnya yang seakan-akan menunjukan bahwa hanya ia penyelamat saya sekarang ini. Sebenarnya saya melirik wanita-wanita penari tadi dan berkeinginan untuk bergabung bersamanya.
Saya mengiyakan karena kini saya berpikir bahwa sebenarnya ini adalah berkah dari Tuhan yang diberikan kepada saya. Saya kira esok pagi akan susah payah panas-panasan mencari pekerjaan. Ternyata baru satu malam saya di sini, pekerjaan menghampiri saya. Tanpa surat lamaran, tanpa daftar riwayat hidup.
Terimakasih, Tsara. Semoga senang menampung saya.
___
Malam-malam di bar ini telah saya lewati sebagai pengantar minuman dari bar ke meja-meja tamu. Seringkali gelas saya jatuhkan karena seringnya saya melihat wanita-wanita yang menari di panggung itu dengan kostum sexy yang berganti-ganti.
Sering saya membayangkan diri saya berada di atas sana. Menari dan bernyanyi secara sungguhan karena yang selama ini mereka lakukan hanyalah lypsinc dan menggoyangkan tubuhnya sesuai irama.
Pada satu malam ketika saya sudah mengenal sebagian besar karyawan di sini, sebuah tragedi muncul yang mungkin bisa saya sebut sebagai rezeki. Ketika para penari tampil dan saat itu juga lagu yang diputar mendadak berhenti. Membuat semua penonton merasa kecewa. Jika pintar, seharusnya salah satu diantara mereka membuka suara dan membunyikan nada sebagaimana orang bernyanyi pada umumnya. Karena semakin lama, loyalitas saya terhadap tempat ini meningkat dan khawatir melihat tamu yang mulai tidak nyaman, saya memberanikan diri mendekat ke panggung.
Tirai sudah setengah turun saat ini dan saya sudah berdiri gugup di depan pelantang. Tirai semakin turun sehingga sudah menutup setengah wajah saya. Tidak mau menyianyiakan kesempatan ini, saya melantunkan sebuah nada yang biasa saya lantunkan ketika di kafe dulu. Seketika, suara ricuh penonton surut. Suara saya bergema dalam satu ruangan luas itu. Perlahan tirai naik kembali.
Saya lantunkan kembali lirik berikutnya sehingga kini saya bernyanyi masih dengan nada perlahan. Tanpa saya sadari, ternyata salah satu bartender sudah memegang gitar dan memetiknya sehingga nadanya sama dengan apa yang saya nyanyikan. Tanpa briefing, kami melantunkan lagunya bersama. Penonton yang semula kecewa kini kembali memberi perhatiannya.
Selesai satu lagu saya bawakan, terdengar suara ribut di luar. Saya meninggalkan panggung dan menuju ke sumber keributan itu. Rupanya Tsara dan salah satu penari wanita sedang adu argumen. Yang saya dengar ialah ia tidak suka dengan perebutan penampilan yang saya ambil alih tadi. Namun di sisi lain, Tsara malah mendukung dan ia bahagia karena para tamu senang melihatnya.
Ketika ia menyadari bahwa saya sedang memperhatikan pembicaraannya, ia menghampiri saya. Seperti biasa, Tsara mengeluarkan satu kalimat singkat yang tidak bisa ditolak karena kalimat itu tidak mengandung tanda tanya.
“Menari besok malam atau keluar dari bar ini. Selamat.”
Saya bahagia mendengarnya. Kini impian saya terwujud untuk menari di atas sana. Di balut dengan bikini dan bulu-bulu mewah diiringi musik yang mampu menggoyangkan tubuh.
Kemudian Tsara mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga saya. Membuat saya sebenarnya merasa berubah menjadi kecewa dalam sekejap. Membuat saya melupakan impian yang baru saya dapatkan.
“Tidurlah dengannya malam ini. Ia bisa mengajarkanmu bergoyang di atas panggung. Atau keluar dari bar ini.”
Pinta Tsara sambil menunjuk seorang lelaki berumur sekitar empat puluh tahun keturunan Eropa yang kini sedang duduk di sofa ditindih oleh salah satu penari wanita yang mencumbunya bagaikan anak sapi menemukan puting susu ibunya.
Ini kunjungan pertama saya ke belakang panggung.
Besok malam kunjungan pertama lelaki itu ke belakang saya.
Malam seterusnya kunjungan saya menuju jurang kehidupan.

Jakarta, 26 Desember 2016

Bima Dewanto
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.