Saya
duduk ditemani seorang kuntilanak yang tubuhnya mampu menyamarkan benda-benda
dibelakangnya. Ia menemani saya sedari dua puluh menit yang lalu di stasiun
tempat saya menunggu kereta untuk pulang ke rumah. Lelah saya dapati setelah
seharian bergulat bersama tugas-tugas kampus yang tiada hentinya diberikan oleh
masing-masing dosen. Dan inilah salah satu usaha untuk membuat saya merasa
ringan mengerjakannya, pulang. Saya masih di sini sepuluh menit kemudian. Tidak
beranjak dari kursi yang diduduki juga oleh kuntilanak tadi. Kereta sudah tiga
kali melewati kursi saya, tapi tidak satupun yang membuat saya tertarik untuk
pulang. Saya masih menunggu yang setiap harinya saya tunggu.
Ranum dimana, adalah kalimat yang setiap saat saya
gumamkan. Anak perempuan berusia dua tahun yang sudah tidak hidup yang mampu
membuat keseharian saya berubah lebih damai. Ia tewas dalam gendongan ibunya karena
tangan kirinya terputus oleh pintu kereta yang tertutup rapat. Kata Ranum, saat
itu ibunya berniat untuk meninggalkannya di rel. Tapi tuhan memutuskan untuk
mengambil nyawanya tepat di kedua mata ibunya saat itu juga.
Sepuluh menit selanjutnya, ia tidak juga muncul dan
kuntilanak yang menemani saya duduk tadi sudah pergi meninggalkan saya sendiri.
Biasanya kepala ranum sudah diletakkan di kedua paha saya saat ini. Suara merdu
yang diberikan tuhan, saya gunakan untuk mendendangkannya lagu pengantar tidur
setiap malam pada jam yang sama. Ketika ia sudah lelap dan terbawa dengan lagu
yang saya nyanyikan, saya meletakkan kepalanya perlahan di kursi stasiun. Memandangnya
terlelap dari jendela kereta yang berjalan membuat fisiknya yang tembus pandang
perlahan lenyap dari celah. Pikiran yang semula berantakan menjadi tenang
setelah mengantarnya untuk bermimpi.
Tapi masih di sini untuk sepuluh menit selanjutnya. Ranum
belum juga terlihat.Tidak ada perasaan untuk meninggalkan stasiun ini sebelum
saya melihatnya. Satu kali saya berfikir bahwa ia diculik. Tapi saya ingat
siapa dia.
“Katanya ibu mau nyusul Ranum, kak.” Katanya ketika malam
dimana ia menceritakan ibunya.
Masih terngiang di pikiran saya bagaimana cara ia
menceritakan apa yang dua tahun semasa hidupnya lakukan. Belum lagi anak-anak
seperti Ranum di stasiun ini yang mampu melihatnya. Membuat Ranum merasa sedih
karena keberadaannya ditakuti oleh mereka.
“Aduh kamu dimana?” gumam saya terus menerus.
Resah hati menunggunya tidak kunjung datang. Berbulan-bulan
saya rutin mengunjunginya dan baru malam ini ia absen dari rutinitasnya. Apa
iya dia sudah bosan dengan suara saya? Tidak. Baru saja semalam ia minta lagu
baru yang hendak saya lantunkan.
Dengan berat hati saya memutuskan untuk meninggalkan
stasiun dan mengunjunginya besok pagi sekali. Tepat ketika kereta selanjutnya
berhenti. Saya melangkah menuju pintu kereta untuk masuk ke dalamnya. Sudah
larut malam sehingga kereta terlihat sepi. Saya duduk di kursi yang jendelanya
bisa saya buat untuk melihat kursi yang saya duduki tadi sebagaimana saya
memandangi Ranum yang terlelap seperti biasanya. Pintu kereta sudah tertutup dan
kereta akan segera berangkat tapi tidak sekalipun saya melihat Ranum duduk di
situ.
Kereta berjalan perlahan meninggalkan stasiun. Bayang-bayang
tangga dan kursi mulai terlihat samar hingga akhirnya saya menemukan apa yang
saya cari. Tepat di tepi rel kereta di luar stasiun. Ranum tertidur pulas namun
tidak sendiri. Saya memutar kepala dan menempelkan dahi di kaca kereta untuk
bisa melihat seseorang yang duduk dengannya memegang sebuah gitar. Kereta mulai
melaju cepat meninggalkan lingkungan sekitar stasiun dan mengganti suasana
dengan pohon-pohon besar dan rel yang sejajar. Tapi, pikiran saya masih
tertinggal di sana. Tepat di samping Ranum tertidur pulas dengan seseorang dan
gitarnya.
Keesokan malamnya, masih dengan waktu yang sama selesai
berhadapan dengan penatnya kelas. Saya mengunjungi Ranum masih setia di kursi
yang sama. Kuntilanak yang kemarin menemani saya sedang berdiri di seberang rel
kereta sedang memandangi saya. Sepuluh menit saya menunggu Ranum yang tidak
juga datang. Akhirnya saya putuskan untuk mencarinya di tempat kemarin ia
terlelap. Saya berjalan cepat dengan niatan menjumpai Ranum yang masih membuka
matanya.
Hingga sampai di tempat tujuan, saya melihat mereka
berdua. Yang kemarin, masih dengan gitarnya. Laki-laki dengan penampilannya
yang lusuh, sebut saja dia seorang pengamen. Duduk bersandar tembok pembatas
stasiun dengan menlantunkan sebuah lagu yang saya kenal.
“No
hell below us
Above us only sky..”
Above us only sky..”
Saya
dengar suaranya yang serak-serak sama seperti pengamen-pengamen yang sering
saya jumpai di bis kota. Tapi memang ada perbedaan sedikit namun terasa besar. Saya
mendengar ketulusannya melantunkan setiap lirik dari lagu tersebut.
“Nothing
to kill or die for
And no religion too”
And no religion too”
Saya
lihat Ranum yang sangat menikmati baik alunan gitar maupun suara dari laki-laki
itu. Matanya berbinar menandakan hati matinya yang senang. Saya belum pernah
melantunkan lagu ini untuknya, dan ini pertama kali saya melihat Ranum berseri
menikmati setiap iramanya.
Laki-laki
itu tersadar ketika melihat keberadaan saya yang berdiri di sampingnya. Memperhatikan
bahkan tanpa sadar saya menikmati suaranya hingga lupa tujuan awal datang ke
sini. Ia berhenti bernyanyi namun tidak dengan gitarnya yang masih ia petik
perlahan. Menatap saya dari ujung kepala hingga ujung kaki, tidak mungkin hanya
sampai pinggang lalu kembali menatap wajah. Ia terlihat bingung namun tidak
gugup. Ranum memberikan salam hangat kepada saya dengan memeluk kedua kaki saya
yang masih berdiri tegap.
Melihat
tingkahnya, laki-laki tadi sepertinya mulai paham ikatan antara saya dan Ranum.
Bahkan mungkin Ranum telah menceritakan tentang saya kepadanya. Ia beranjak
dari duduknya dengan gitar yang ia letakkan tak jauh dari posisinya sekarang
ini.
“Abi”
katanya sambil menjulurkan tangan.
Saya
masih menatapnya heran sekaligus kagum. Tangan saya tidak bergerak merespon
tangannya yang hingga sekarang masih berada tepat didepan tangan kanan saya. Wajahnya
masih konsisten menatap kedua mata saya.
“Maaf
kalo kamu kebingungan nyari Ranum. Saya gak tau semalem dia dateng dan…”
“Makasih
banyak” jawab saya tanpa pikir.
Mungkin
saya mengucapkan terimakasih karena ia tidak jahat dengan Ranum. Semalaman saya
berfikir bahwa Ranum akan dimasukkan ke dalam botol. Tapi hari ini saya
terpesona dengan apa yang saya lihat. Kemudian laki-laki itu pergi meninggalkan
kami berdua. Ia berlari kencang dan melompati pagar pembatas rel kereta. Saya
lihat gitarnya masih tergeletak pada posisinya. Saya dan Ranum memandangi gitar
itu sebentar.
Kemudian
saya duduk berdua di tempat itu, mengambil posisi sama sebagaimana laki-laki
itu bernyanyi dengan gitarnya. Begitupun dengan Ranum yang meletakkan kepalanya
di antara paha saya. Saya ambil gitarnya dan mulai memetik, melanjutkan lagu
yang tadi dinyanyikan oleh sang pemilik gitar.
“You
may say I'm a dreamer, but I'm not the only one
I hope someday you'll join us”
I hope someday you'll join us”
Ranum
mulai memejamkan matanya memimpikan kehidupan yang tidak akan pernah ia
dapatkan kembali.
and
the world will be as one…
Jakarta, 8 Februari 2017
Allianz Tower 29th Floor
0 komentar:
Posting Komentar