Rabu, 08 Februari 2017

Cerpen: Menembus Ranum


Saya duduk ditemani seorang kuntilanak yang tubuhnya mampu menyamarkan benda-benda dibelakangnya. Ia menemani saya sedari dua puluh menit yang lalu di stasiun tempat saya menunggu kereta untuk pulang ke rumah. Lelah saya dapati setelah seharian bergulat bersama tugas-tugas kampus yang tiada hentinya diberikan oleh masing-masing dosen. Dan inilah salah satu usaha untuk membuat saya merasa ringan mengerjakannya, pulang. Saya masih di sini sepuluh menit kemudian. Tidak beranjak dari kursi yang diduduki juga oleh kuntilanak tadi. Kereta sudah tiga kali melewati kursi saya, tapi tidak satupun yang membuat saya tertarik untuk pulang. Saya masih menunggu yang setiap harinya saya tunggu.
            Ranum dimana, adalah kalimat yang setiap saat saya gumamkan. Anak perempuan berusia dua tahun yang sudah tidak hidup yang mampu membuat keseharian saya berubah lebih damai. Ia tewas dalam gendongan ibunya karena tangan kirinya terputus oleh pintu kereta yang tertutup rapat. Kata Ranum, saat itu ibunya berniat untuk meninggalkannya di rel. Tapi tuhan memutuskan untuk mengambil nyawanya tepat di kedua mata ibunya saat itu juga.
            Sepuluh menit selanjutnya, ia tidak juga muncul dan kuntilanak yang menemani saya duduk tadi sudah pergi meninggalkan saya sendiri. Biasanya kepala ranum sudah diletakkan di kedua paha saya saat ini. Suara merdu yang diberikan tuhan, saya gunakan untuk mendendangkannya lagu pengantar tidur setiap malam pada jam yang sama. Ketika ia sudah lelap dan terbawa dengan lagu yang saya nyanyikan, saya meletakkan kepalanya perlahan di kursi stasiun. Memandangnya terlelap dari jendela kereta yang berjalan membuat fisiknya yang tembus pandang perlahan lenyap dari celah. Pikiran yang semula berantakan menjadi tenang setelah mengantarnya untuk bermimpi.
            Tapi masih di sini untuk sepuluh menit selanjutnya. Ranum belum juga terlihat.Tidak ada perasaan untuk meninggalkan stasiun ini sebelum saya melihatnya. Satu kali saya berfikir bahwa ia diculik. Tapi saya ingat siapa dia.
            “Katanya ibu mau nyusul Ranum, kak.” Katanya ketika malam dimana ia menceritakan ibunya.
            Masih terngiang di pikiran saya bagaimana cara ia menceritakan apa yang dua tahun semasa hidupnya lakukan. Belum lagi anak-anak seperti Ranum di stasiun ini yang mampu melihatnya. Membuat Ranum merasa sedih karena keberadaannya ditakuti oleh mereka.
            “Aduh kamu dimana?” gumam saya terus menerus.
            Resah hati menunggunya tidak kunjung datang. Berbulan-bulan saya rutin mengunjunginya dan baru malam ini ia absen dari rutinitasnya. Apa iya dia sudah bosan dengan suara saya? Tidak. Baru saja semalam ia minta lagu baru yang hendak saya lantunkan.
            Dengan berat hati saya memutuskan untuk meninggalkan stasiun dan mengunjunginya besok pagi sekali. Tepat ketika kereta selanjutnya berhenti. Saya melangkah menuju pintu kereta untuk masuk ke dalamnya. Sudah larut malam sehingga kereta terlihat sepi. Saya duduk di kursi yang jendelanya bisa saya buat untuk melihat kursi yang saya duduki tadi sebagaimana saya memandangi Ranum yang terlelap seperti biasanya. Pintu kereta sudah tertutup dan kereta akan segera berangkat tapi tidak sekalipun saya melihat Ranum duduk di situ.
            Kereta berjalan perlahan meninggalkan stasiun. Bayang-bayang tangga dan kursi mulai terlihat samar hingga akhirnya saya menemukan apa yang saya cari. Tepat di tepi rel kereta di luar stasiun. Ranum tertidur pulas namun tidak sendiri. Saya memutar kepala dan menempelkan dahi di kaca kereta untuk bisa melihat seseorang yang duduk dengannya memegang sebuah gitar. Kereta mulai melaju cepat meninggalkan lingkungan sekitar stasiun dan mengganti suasana dengan pohon-pohon besar dan rel yang sejajar. Tapi, pikiran saya masih tertinggal di sana. Tepat di samping Ranum tertidur pulas dengan seseorang dan gitarnya.
            Keesokan malamnya, masih dengan waktu yang sama selesai berhadapan dengan penatnya kelas. Saya mengunjungi Ranum masih setia di kursi yang sama. Kuntilanak yang kemarin menemani saya sedang berdiri di seberang rel kereta sedang memandangi saya. Sepuluh menit saya menunggu Ranum yang tidak juga datang. Akhirnya saya putuskan untuk mencarinya di tempat kemarin ia terlelap. Saya berjalan cepat dengan niatan menjumpai Ranum yang masih membuka matanya.
            Hingga sampai di tempat tujuan, saya melihat mereka berdua. Yang kemarin, masih dengan gitarnya. Laki-laki dengan penampilannya yang lusuh, sebut saja dia seorang pengamen. Duduk bersandar tembok pembatas stasiun dengan menlantunkan sebuah lagu yang saya kenal.
“No hell below us
Above us only sky..”
            Saya dengar suaranya yang serak-serak sama seperti pengamen-pengamen yang sering saya jumpai di bis kota. Tapi memang ada perbedaan sedikit namun terasa besar. Saya mendengar ketulusannya melantunkan setiap lirik dari lagu tersebut.
“Nothing to kill or die for
And no religion too”
            Saya lihat Ranum yang sangat menikmati baik alunan gitar maupun suara dari laki-laki itu. Matanya berbinar menandakan hati matinya yang senang. Saya belum pernah melantunkan lagu ini untuknya, dan ini pertama kali saya melihat Ranum berseri menikmati setiap iramanya.
            Laki-laki itu tersadar ketika melihat keberadaan saya yang berdiri di sampingnya. Memperhatikan bahkan tanpa sadar saya menikmati suaranya hingga lupa tujuan awal datang ke sini. Ia berhenti bernyanyi namun tidak dengan gitarnya yang masih ia petik perlahan. Menatap saya dari ujung kepala hingga ujung kaki, tidak mungkin hanya sampai pinggang lalu kembali menatap wajah. Ia terlihat bingung namun tidak gugup. Ranum memberikan salam hangat kepada saya dengan memeluk kedua kaki saya yang masih berdiri tegap.
            Melihat tingkahnya, laki-laki tadi sepertinya mulai paham ikatan antara saya dan Ranum. Bahkan mungkin Ranum telah menceritakan tentang saya kepadanya. Ia beranjak dari duduknya dengan gitar yang ia letakkan tak jauh dari posisinya sekarang ini.
            “Abi” katanya sambil menjulurkan tangan.
            Saya masih menatapnya heran sekaligus kagum. Tangan saya tidak bergerak merespon tangannya yang hingga sekarang masih berada tepat didepan tangan kanan saya. Wajahnya masih konsisten menatap kedua mata saya.
            “Maaf kalo kamu kebingungan nyari Ranum. Saya gak tau semalem dia dateng dan…”
            “Makasih banyak” jawab saya tanpa pikir.
            Mungkin saya mengucapkan terimakasih karena ia tidak jahat dengan Ranum. Semalaman saya berfikir bahwa Ranum akan dimasukkan ke dalam botol. Tapi hari ini saya terpesona dengan apa yang saya lihat. Kemudian laki-laki itu pergi meninggalkan kami berdua. Ia berlari kencang dan melompati pagar pembatas rel kereta. Saya lihat gitarnya masih tergeletak pada posisinya. Saya dan Ranum memandangi gitar itu sebentar.
            Kemudian saya duduk berdua di tempat itu, mengambil posisi sama sebagaimana laki-laki itu bernyanyi dengan gitarnya. Begitupun dengan Ranum yang meletakkan kepalanya di antara paha saya. Saya ambil gitarnya dan mulai memetik, melanjutkan lagu yang tadi dinyanyikan oleh sang pemilik gitar.
“You may say I'm a dreamer, but I'm not the only one
I hope someday you'll join us”
            Ranum mulai memejamkan matanya memimpikan kehidupan yang tidak akan pernah ia dapatkan kembali.
and the world will be as one…

Jakarta, 8 Februari 2017
Allianz Tower 29th Floor
Share:

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.