Image:
Flair België
Sejak virus bangsat itu menyebar di seluruh belahan dunia, semua gedung pertunjukan ditutup. Walaupun gedung lainnya juga ditutup, saya tidak peduli karena yang penting adalah gedung teater—tempat saya pentas dan membangun jati diri sebagai aktor yang hebat. Saya sudah memulai karir perteateran sejak dua tahun lalu, mulai dari pentas di aula kampus hingga gedung pertunjukan daerah. Suatu hal yang amat sangat membanggakan, karena saya aktor yang hebat.
Teater sudah mengalir bersama darah melalui nadi yang setiap hari bergerak dalam tubuh. Walaupun selama dua tahun belum mendapatkan peran yang saya incar, namun saya yakin penonton menyukai akting saya yang mahadahsyat ini kalau di atas panggung. Buktinya, mereka selalu menghampiri dan mengucapkan selamat kepada saya setelah pertunjukan berlangsung. Walaupun buket bunga yang saya dapatkan tidak sebanyak pemeran utama, tapi sebatang coklat menurut saya sudah menjadi apresiasi yang tinggi. Toh bagi saya, buket yang banyak tidak menandakan bahwa aktor itu lebih baik dari saya, karena saya aktor yang hebat.
Sekarang saya hanya diam diri di kamar kosan yang berantakan. Baju kotor berserakan di lantai bersama handuk basah yang baru saya pakai sore tadi. Saya ini jarang mandi, karena menurut saya, seniman teater harus seperti itu. Baju yang berserakan tadi juga saya biarkan menjadi dekorasi kamar supaya kalau ada orang yang datang, mereka langsung tahu bahwa kamar ini adalah milik seniman, yaitu saya—aktor yang hebat.
Sejak tahun lalu, saya juga mengupayakan agar rambut saya tumbuh panjang berantakan dengan brewok lebat di wajah. Tapi yang satu ini agak sulit dilakukan, karena Ibu masih sering ngomel kalau lihat rambut saya panjang sedikit. Tapi tidak apa, yang penting sudah ada rambut-rambut tipis tumbuh di sekitar bibir dan dagu. Sebentar lagi, penampilan saya akan semakin mirip seniman andal. Begitu menurut saya, kalian tidak lupa, kan kalau saya adalah aktor yang hebat?
Sudah sebulan sejak virus sialan itu menyebar, kini saya kehilangan kegiatan utama—berkesenian. Biasanya saya menjalani perkuliahan setiap Senin, Selasa, dan Kamis. Karena mata kuliah di hari Rabu dan Jumat hanya membahas teori kebahasaan, saya jarang sekali hadir. Untuk apa? Pilihan saya masuk jurusan sastra kan karena ingin belajar seni, mana peduli saya dengan tata bahasa. Itu tidak penting bagi puisi-puisi yang saya tulis karena biasanya saya bebas menggunakan diksi demi diksi. Puisi-puisi yang saya buat biasanya sulit dimengerti, loh. Hanya seniman hebat yang bisa menafsirkannya. Makanya saya tidak membicarakan puisi di sini karena khawatir kalian tidak paham. Apalagi buat kamu yang seringnya baca novel digital, maaf sekali lebih baik berhenti baca cerita saya sampai sini. Tapi saya jarang sekali membuat puisi, karena waktunya lebih saya fokuskan untuk berteater. Hal itu yang membentuk diri saya menjadi aktor yang hebat.
Saya rindu sekali berada di atas panggung. Menikmati cahaya lampu sorot warna-warni yang membantu saya terlihat keren saat beradegan. Tidak banyak dialog yang saya keluarkan, tapi dengan tubuh yang terlatih ini, saya yakin penonton berpikir bahwa talenta saya luar biasa. Jadi teringat ketika dialog saya bersama dengan para aktor pendukung lainnya berteriak, “hah?” dan penonton tertawa. Di situ saya merasa bangga, artinya penonton mampu menyatukan rasa mereka dengan pembawaan saya di atas panggung. Jelas, kan saya aktor yang hebat.
Para aktor yang mendapatkan peran saat pementasan itu tidak terlalu bagus aktingnya. Biasa saja, menurut saya. Karena dibantu pencahayaan dan musik latar yang biasa-biasa juga, akhirnya penampilan mereka cukup terbantu. Coba saja kalau saya yang mendapatkan peran itu, saya bisa jamin kalau pertunjukannya akan menjadi pertunjukan terbaik di kota ini. Setelah di kota, lalu di pulau, lalu di negara, dan akhirnya mendunia. Karena saya pemerannya, penonton akan semakin menyukai pertunjukan. Yang saya bawa bukan hanya kemampuan akting, namun juga persona sebagai seniman ulung yang darah seninya mengalir dengan deras. Perlu saya ingatkan lagi kalau saya ini aktor yang hebat?
Tapi jangan bilang-bilang sutradara kalau saya mengatakan ini, nanti dia bisa marah. Saya takut karena dia galak sekali. Beberapa kali saya pernah mau keluar dari tim karena tidak kuasa menahan amarahnya. Orangnya disiplin, tapi juga banyak bicara. Berkali-kali ia memarahi para pemeran itu karena aktingnya tidak becus. Memang tidak becus menurut saya. Kalau saja saya berani bilang ke sutradara, “sebaiknya saya saja pemerannya” mungkin dia tidak akan segalak itu dan mau mengakui kalau saya ini aktor yang hebat.
Sudah, saya tidak tau lagi mau menulis apa. Jangan berharap ada ending di sini. Saya bukan penulis cerita, saya ini aktor. Hanya fokus untuk panggung dan penonton, bukan teks dan pembaca. Bisa saja saya teruskan cerita ini dengan akhir yang sangat tidak mudah ditebak pembaca, sebagaimana cerita-cerita terkenal lainnya. Tapi nanti kalian malah suka dengan karya saya, dan melupakan identitas saya sebagai aktor. Maaf, saya harus membatasi diri karena saya aktor yang hebat.
Glasgow
2 November 2021
0 komentar:
Posting Komentar