Padahal baru pukul delapan malam, tapi Cavern Club sudah penuh dengan pengunjung. Malam itu memang Thomas Abe akan menyanyikan semua lagu-lagu legendaris The Beatles. Vokalis yang piawai bermain gitar itu memang lekat dengan semua lagu-lagu band tersebut sejak dikenalkan oleh sang Ayah waktu kecil. Kali ini, Tom—panggilan yang akrab baginya, akan membawakan beberapa lagu-lagu The Beatles kesayangannya.
Bukan tanpa alasan ia memilih beberapa lagu yang akan dibawakan malam itu. Sebagaimana Paul McCartney dan kawan-kawannya, Cavern Club sempat menjadi tempat bersejarah bagi Tom. Begitupun dengan kumpulan lagu yang akan ia nyanyikan dengan petikan gitarnya. Sebut saja Here’s Come the Sun, sebagai lagu pembuka yang nantinya akan ia nyanyikan setelah menyapa kumpulan tamu klub tersebut. Tom tidak perlu lagi mengenalkan dirinya karena sebagian besar pengunjung sudah tahu, bahkan mereka memang datang karena mengenal Tom dan ingin menyaksikan penampilannya secara langsung.
Tom memang bukan John Lennon. Tetapi, suara lembut Tom mampu menghipnotis pengunjung Cavern Club dengan lagu-lagu legendaris band tersebut setiap ia menguasai panggung Cavern Club. Itu sebabnya, penonton selalu merindukan penampilan Tom, apalagi Ketika mereka tahu bahwa Tom akan membawakan tembang The Beatles malam itu. Pernah suatu malam, Tom tidak berencana bernyanyi. Namun, salah satu pengunjung yang sudah mengenalnya mendorongnya ke panggung dan meminta band yang sedang tampil saat itu untuk memberikan mikrofonnya kepada Tom. Jadilah ia bersenandung Let it Be dengan iringan music dari band tersebut dan suara tidak siapnya yang justru malah membuat penonton jatuh cinta.
Saat ini, Tom sedang duduk di samping panggung. Semua kesiapan konsernya sudah matang. Gitar, mikrofon, pengeras suara, urutan lagu, hingga salam pembukanya sudah ia pastikan dengan baik. Ia sudah sadar juga bahwa kehadiran penonton sudah memenuhi klub di bawah tanah tersebut. Dipandanginya pengunjung yang bersenda gurau bersama kawannya. Memegang paling tidak satu gelas minuman beralkohol dan kentang goreng. Cavern Club masih sama seperti ia pertama kali datang. Ornamen foto legenda musik dunia masih terpajang rapih di setiap sudut temboknya. Tandatangan idola-idolanya masih pekat di antara barang peninggalannya di Cavern Club, sebut saja seragam bola, gitar, piringan hitam, atau sekadar corat-coretan nama di tembok.
Pengunjungnya kebanyakan orang dewasa. Kalau Ayahnya masih hidup, mungkin Tom akan beranggapan bahwa penontonnya malam ini merupakan orang-orang seusia Ayahnya yang pernah berada pada masa kejayaan The Beatles. Selain menonton Tom, kehadiran mereka dapat dipastikan juga untuk mengenang memori indah bersama lagu-lagu The Beatles. Itulah sebabnya, mereka tidak datang sendirian melainkan dengan teman-teman sekolah, istri, atau perempuan lain yang dianggapnya dekat dengannya. Walaupun tidak sedikit anak muda seumuran Tom yang hadir, namun padatnya Cavern Club malam itu tetap membuat Tom merasa sendirian.
Di malam yang sama lima tahun lalu, Layla bersamanya tepat di kursi tempat Tom duduk saat ini. Gadis yang ia temui saat ia sedang bernyanyi di bawah stasiun Underground di London itu merupakan gadis pertama yang membawakannya air jahe hangat sebelum ia bernyanyi. Malam itu, Layla datang lebih cepat sepuluh menit sebelum Tom naik panggung untuk memastikan bahwa ia meminum air jahe tersebut. Layla pandai sekali meracik minuman tradisional. Tepat setelah Tom bilang bahwa tenggorokannya sedang serak dan penampilannya tinggal dua hari lagi, dengan sigap, Layla membuatkannya air ajaib tersebut dan membawakannya kembali di hari Tom bernyanyi.
Setelah meminum air jahe buatan Layla, tenggorokan Tom perlahan membaik, hatinya perlahan berbunga. Hari berikutnya ia menghabiskan sebagian besar waktu bersama gadis tersebut. Tom mengenal berbagai macam minuman herbal ajaib buatan Layla. Walaupun tidak sedang sakit tenggorokan, kadang Tom minta dibuatkan air jahe lagi untuk keperluan pentasnya di Cavern Club. Layla suka sekali kalau Tom minum air mujarab buatannya itu. Selain mengerjakan tugas kuliah, Layla hobi memarut dan menumbuk rempah untuk dijadikan minumannya sehari-hari. Alasannya sederhana, ia ingin awet muda, katanya.
Tetapi, mengingat kepergian Layla, Tom kali ini harus duduk seorang diri. Tenggorokannya memang baik-baik saja. Tidak perlu segelas air jahe untuk membuat suaranya keluar jernih. Namun itulah ritual yang harusnya ia jalankan. Meneguk perlahan air jahe hangat buatan Layla yang sebenarnya tidak hanya baik bagi tenggorokannya, tapi juga untuk hatinya. Walupun masih banyak air di muka bumi dan ribuan hektar perkebunan jahe di dunia, tapi air jahe buatan Layla berbeda. Tom yang merasakannya sendiri, hangat dan lembut saat larutannya masuk melewati dinding-dinding tenggorokannya.
Laya bukalah penggemar The Beatles sebagaimana Tom. Ia pergi ke Cavern Club karena Tom yang mengajaknya. Kata Tom, ada beberapa pernik Adele yang secara resmi ditandatanganinya. Apalagi ketika Adele membawakan lagu-lagu andalannya dari album 21 di Cavern Club, potretnya masih tertata rapih di dalam sebuah etalase khusus untuk Adele bersebelahan dengan pernik Ringo Star. Layla menyukainya. Apalagi ketika ia baca “We could have it all…”, penggalan lagu Adele yang tertulis indah tepat di bawah sampul album yang dipajang di klab itu. Walaupun tidak fanatik, namun lagu-lagu Adele selalu bisa mengisi setiap perasaan Layla di saat tertentu.
Etalase itu dipandanginya selama kurang lebih sepuluh menit. Walaupun suara berisik penonton yang bernyanyi dengan alunan speaker bising khas Cavern Club, mata Layla belum juga berpaling dari foto-foto Adele saat tampil di tempat itu.
“Kalau saja saya kenal kamu lebih dulu, mungkin bisa saja kamu ajak saya menonton Adele saat itu,” katanya.
Tom hanya terkekeh manis–kaget sejenak setelah pandangan Layla berpaling dari etalase ke matanya. Layla kembali bertanya, “apa kamu mengajak orang lain saat menonton Adele? Bekas pacar mungkin?” Mulut Tom hampir menyemburkan jus jeruk yang dicampur vodka mendengar pertanyaan tersebut. Tersenyum lebar setelah berhasil menelan minuman tersebut, dan berkata secara refleks, “mana ada yang mau saya ajak ke sini? Apalagi perempuan.”
Layla terdiam mencernya omongan Tom. Hatinya mungkin sedikit bahagia karena ialah perempuan pertama yang Tom ajak melihat etalase tersebut. Matanya berbinar memantulkan cahaya warna-warni dari panggung Cavern Club. Kenangan itu yang kini ada di pikiran Tom. Tentang pertanyaan Layla, matanya yang berbinar, dan air jahe buatannya. Pikirannya melayang ke masa lima tahun lalu, walaupun raganya ada di Cavern Club malam itu. Selain lirik dan kunci gitar, Layla merupakan satu memori yang saat ini diingatnya. Terlebih ia sedang duduk tepat di mana ia dan Layla menonton pertunjukan musik di Cavern Club saat itu.
Lampu panggung sudah bersinar. Saatnya Tom naik dan menyapa penonton. Tanpa segelas air jahe hangat dan kehadiran Layla, perlahan ia bangkit dari duduknya dan membalikan tubuhnya ke arah panggung. Dilihatnya panggung itu, tempat ia dikenal pengunjung bar dengan lagu-lagu The Beatles andalannya. Terbesit di pikiran Tom, mungkin air matanya akan sedikit menetes ketika ia menyanyikan Let It Be atau Yesterday. Lagu yang saat ini mewakili perasaannya, dan juga lagu yang selalu diminta Layla untuk Tom nyanyikan setiap kali ia bersama dengan gitarnya.
Kakinya melangkah perlahan ke atas panggung. Wajahnya kini menghadap ke arah penonton dengan sorotan lampu panggung yang menghias. Penonton bersorak memanggil namanya berulang kali. Tom mencoba tersenyum dan mengucapkan selamat malam dengan suara yang bergetar. Dilihatnya sekeliling klab untuk memastikan matanya akrab dengan penonton malam itu. Sebelum ia memetik gitarnya, Tom menyapa beberapa penonton yang sekiranya sudah ia kenal.
“Sam, teman lama yang dulu rebutan poster Paul McCartney, terima kasih kehadirannya, kawan.”
Penonton tertawa mendengar itu. Sam dengan muka jahilnya mengangkat segelas minuman yang digenggamnya dan berkat, “akhirnya aku yang dapat posternya, ha ha ha.”
“Hey Andrew! Selamat datang dan terima kasih kehadirannya. Dia adalah kawan baik semua pengunjung Cavern Club. Kadang-kadang ia akan membelikan kalian minuman jika ia suka dengan obrolan kalian.”
Andrew yang berdiri di tengah ruangan menganga kaget mendengar Tom berkata seperti itu. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya menandakan bahwa itu hanya candaan yang dibuat Tom.
Kawan selanjutnya, yakni Lara. Perempuan paruh baya yang duduk bersama teman-teman perempuan lainnya di depan koleksi gitar yang terpajang di klab. Lara saat itu sedang berbinar karena sudah lama ia tidak mendengar Tom bernyanyi. Apalagi setelah ia tahu bahwa Tom akan menyanyikan Blackbird khusus untuknya malam ini.
“Lara, kamu tahu apa yang akan saya nyanyikan malam ini, kan? Tetap duduk di situ dan jangan beranjak,” kata Tom kepada Lara yang mengangkat kedua jempolnya untuk Tom.
Matanya kini tertuju di etalase yang mengarah ke tangga keluar. Dilihatnya seorang yang ia kenal akrab dengannya. Pun sama halnya dengan kawannya yang lain, Tom menyapanya dengan hangat.
“Dan yang paling spesial malam ini, terima kasih kehadirannya untuk Layla dan Catherine yang baru saja menikah dua minggu lalu. Selamat datang di Cavern Club, enjoy!”
Penonton bersorak makin ramai. Jarinya mulai memetik gitar dan pertunjukan dimulai.
Liverpool,
24 Mei 2022
0 komentar:
Posting Komentar