Rabu, 25 Maret 2020

Isolasi (Cerpen)

Bima Dewanto, Fauziannisa


Kemarin sebelum semuanya terjadi, teman-teman saya mengatakan kalau menjadi saya itu enak: rumahnya di kompleks. Besar, bagus, dan pandangan-pandangan lain yang membentuk pola pikir tentang karakter penduduk yang tinggal di kompleks. Hanya saja, rumah saya tidak memiliki kolam renang melainkan kolam ikan yang isinya kura-kura, peliharaan Ayah yang dirawat Ibu sehari-hari. Di rumah juga tidak ada guci mewah. Ibu lebih suka mengoleksi piring yang dipajang di seluruh isi rumah: di meja, bufet, dinding, sampai dapur. 
Seperti semua orang yang hanya melihat dari kulitnya, begitupun dengan teman-teman saya. Biar saya perjelas. Imaji tentang rumah besar dan bagus mereka hanyalah terlihat dari luarnya saja. Tak ada yang mengetahui betapa kura-kura Ayah hanya bernapas pasrah sebelum ajalnya tiba. Tak ada yang mengetahui pula betapa meja, bufet, dan dinding yang melapisi rumah ini hanyalah sebuah kesunyian. Hingga, hari itu tiba. Ketika semuanya semakin menunjukkan bahwa segala hal yang saya miliki ialah fana. 
Sampai hari ini, saya tetap berdiam di rumah seorang diri. Pemberitaan di luar yang terus membunyikan larangan untuk keluar rumah semakin membuat saya takut untuk memandang sinar matahari. Ayah dan Ibu masih terjebak di belahan bumi bagian barat sejak sebulan lalu dan belum mendapatkan izin untuk pulang. Hanya ada saya, kura-kura, dan koleksi piring di rumah. Awalnya saya senang karena bisa menguasai isi rumah seorang diri. Kabar untuk mengisolasi diri di rumah yang disuarakan pemerintah sejujurnya membuat saya bahagia karena saya bisa menghindari pertemuan dengan orang-orang menyebalkan di luar sana. Teman-teman yang menanyakan kelulusan, atasan yang memamerkan kekayaan, hingga tukang parkir yang seenaknya meminta jatah padahal tidak sama sekali membantu penempatan motor saya. 
    Sehari setelah pemberitahuan itu tiba, saya masih bisa bernapas lega untuk melepaskan sejenak tuntutan pekerjaan. Sehari berikutnya, saya mencoba produktif dengan membersihkan kamar dan seisi rumah.  Hari-hari berikutnya, saya mulai menyeimbangi tugas-tugas dari kantor sambil menamatkan buku-buku yang belum saya baca berbulan-bulan lalu. Hingga pada satu titik, tak ada lagi  telepon dari Ayah dan Ibu, tak ada telepon dari teman-teman terdekat, bahkan tukang kebun pun enggan menyapa ke rumah padahal rerumputan sudah meninggi. Kehidupan saya selama ini hanya dipenuhi oleh tuntutan rapat secara daring, mengisi perut, dan selebihnya mencoba melepaskan kebosanan dengan tidur. Hanya itu yang bisa saya lakukan. Melihat berita dan membuka internet? Seolah saya menenggelamkan diri saya sendiri. 
    Semakin banyak informasi yang beredar, semakin saya tidak kuat menahan diri. Semakin banyak informasi yang saya dapat, semakin gemetar tubuh saya. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan ini terjadi. Saat-saat seperti ini seakan-akan membunuh saya dengan cara yang cantik. Selama hampir satu bulan, saya tidak pernah menyalakan televisi. Selama hampir sebulan, saya telah melepas aplikasi browser dan sosial media yang menyebarkan informasi tentang berkembangnya virus ini setiap hari. Kiriman koran yang diantar petugas setiap pagi bahkan menumpuk di teras tidak pernah saya sentuh. Hujan dalam beberapa hari kemarin membuat tumpukan koran itu basah bahkan berceceran halamannya. Saya tidak peduli. Yang terpenting, diri saya aman di dalam rumah tanpa perlu mengkhawatirkan apa yang terjadi di luar.   
    Sesekali saya memang melihat keluar melalui jendela. Tapi selangkah pun saya tidak pernah keluar dari ambang pintu. Untuk apa saya menjebloskan diri ke jurang, sementara di dalam rumah saya memiliki tameng yang nyaman. Suatu hari, saya lihat seorang anak lelaki berlari dan tak sengaja terjatuh tepat di depan rumah saya. Ibunya menyusul dan membangunkan anak tersebut. Sayup-sayup saya mendengar ucapan mereka.
“Sudah Ibu bilang, kalau di rumah, ya di rumah aja. Yang lain juga pada di rumah.  Noh, liat! Rumah itu ada hantunya.”
    Anak lelaki itu menangis semakin kencang dan menggandeng lengan Ibunya. Setelah beberapa langkah mereka pergi, saya merasa tersindir. Selama 25 tahun saya hidup di rumah ini, tak pernah sedetik pun saya melihat ada hantu. Semakin memikirkan tentang kebohongan Ibu tadi, saya merasa tertampar. Karena saya merasa seperti mengulang luka lama yang sampai saat ini tak bisa saya musnahkan dalam kepala. Tentang Ayah yang pernah berulang-ulang mengucapkan, “kamu sih” saat saya kecil. Dari situ, saya selalu melindungi diri untuk tidak berbuat apapun yang dapat melukai orang dan diri sendiri. Apalagi saat kondisi seperti ini. Mengurung diri di rumah tanpa ada satupun informasi tentang pertumbuhan pandemik akan membuat diri saya lebih tenang.
    Saat ini saya masih terbaring di atas ranjang. Memandangi langit-langit kamar yang polos tanpa pola. Rutinitas yang saya lakukan sebelumnya semakin lama berkurang hingga saat ini saya tidak tahu harus berbuat apa. Pernah seorang teman menelpon untuk membicarakan hubungannya dengan sang kekasih. Namun, ia justru mengucapkan, “eh korban virus makin bertambah, loh”. Dari kejadian itu, saya matikan telepon dan tidak pernah saya sentuh hingga dua hari ke depan. Awalnya biasa saja, tapi jenuh perlahan menyerang. Saya tidak habis pikir dengan teman-teman yang masih aktif dengan sosial medianya. Saya juga tidak habis pikir dengan diri saya yang lebih takut dengan kabar daripada virus itu sendiri. 
Mungkin virus itu tidak seberapa dahsyatnya selain hari-hari yang dulu  saya jalani, tetapi sekarang masih tetap terkubur dalam ingatan. Ketika semuanya menyalahkan karena saya yang terlalu cerewet padahal saya ialah anak lelaki. Kala itu, ketika saya masih tergila-gila dengan tokoh superhero dan  menjadikan Ayah satu-satunya superhero dalam hidup. Tak henti-hentinya saya mendongeng kepada Ibu tentang Ayah yang selalu memberikan makan kucing di gang kompleks dan berbagai cerita baik lainnya yang Ayah lakukan. Namun, naasnya Ayah ialah superhero yang bukan hanya menolong saya tapi juga orang lain. Kala itu kulihat Ayah membawa wanita lain ke kamar selain ibu. Yang baru saya ketahui, bahwa wanita itu ialah janda dari sahabat karib Ayah yang meninggal. Ibu yang sedang pulang ke rumah Nenek tak mengetahui hal tersebut sampai saya bercerita seperti biasa tentang Ayah yang menolong wanita dan membawanya ke dalam kamar.
    Semenjak itu, kebiasaan bercerita saya semakin lenyap karena ucapan saya menyakiti orang lain, menyakiti Ibu. Ayah tak henti-hentinya mengatakan, “Kau lelaki, tapi mulut macam perempuan!” belum lagi saudara-saudara Ayah yang mengatakan, “Coba kau tak pandai bercerita, mungkin Ayahmu bisa menjelaskan secara pelan-pelan kepada Ibumu.” Kejadian itulah yang menyebabkan Ayah dan Ibu masih tetap hidup bersama tapi dalam dunianya masing-masing. Sampai saat ini dan detik ini, kurasa memang pilihan terbaik ialah diam dan tak bersuara. Meski gemuruh dalam kepala semakin memaksa. Meski segala berita dan kabar membuat badan saya bergetar. 
    Mengingat hal itu membuat dada saya sesak seakan dikunci oleh perkataan Ayah. Tapi mau bagaimana, mulut memang sebuah alat yang jahat. Saya kapok sebenarnya menerima informasi yang membuat saya takut. Sepuluh tahun lalu ketika masih duduk di bangku sekolah, sekelompok teman saya pernah menghampiri saya yang sedang duduk sendirian di kantin. Dengan logat sedihnya, mereka berkata sesuatu yang membuat saya hampir rubuh di kursi kantin.
    “Kata bu guru, mama kamu kecelakaan. Kita turut berduka ya, semoga kamu bisa kuat.”
    Sontak wajah saya memerah kuyup dengan air mata. Tubuh saya lemas, dada saya sesak, kaki saya tidak bisa menopang untuk berdiri tegak. Kantin yang saat itu penuh orang mendadak sepi hanya dengan raungan yang saya teriakan. Memanggil-manggil Ibu dengan terbata-bata seakan jenazahnya sudah berada di depan saya. Semuanya melihat, semuanya mendengar, semuanya penasaran. Tapi perlahan, sekelompok teman saya mulai tertawa kecil hingga bendungan tawanya lepas dan bahak tawa mulai mengalahkan tangisan. Telunjuknya mengarah ke depan wajah saya dengan ejekan, “cengeng, dibohongin mau aja!”. Perlahan mata saya mulai gelap tidak dapat melihat kebrengsekan mereka.
    Sudah sekitar dua jam saya masih di atas ranjang memandangi langit-langit tanpa pola. Hari ini seakan tubuh saya memaksa untuk tetap diam di dalam kamar. Memikirkan ketakutan masa lalu memang sulit saya sembuhkan hingga sekarang. Kadang, untuk memberikan informasi dari sekolah kepada Ayah saja, tubuh saya bisa berguncang tidak karuan. Belum lagi perlakuan teman-teman bajingan itu. Hari ini berbeda, seakan badan saya hanya ingin diam di atas sprei putih dalam kamar. Sesekali telepon berbunyi namun tidak saya jawab. Beberapa notifikasi pesan masuk hingga sekarang tidak saya lihat. Hanya lagu yang terus berputar seakan mengikuti diamnya tubuh yang tergeletak di atas ranjang.
    Salah sendiri, dalam keadaan begini malah mengingat luka masa lalu. Mungkin di hari biasa, saya akan keluar rumah untuk jalan-jalan sendiri di sekitar kompleks. Tapi kalau kondisi begini, yang bisa saya lakukan hanya menikmati kesendirian. Bukan menikmati, lebih tepatnya bertahan dengan diri sendiri hingga kondisi membaik.
    Namun, yang terjadi tak sesuai harapan. Kondisi saya bukannya semakin membaik, justru membuat saya semakin tercekik. Himbauan pemerintah untuk mengisolasi diri saya lakukan dengan amat baik. Terlampau baik. Saya bukan hanya mengisolasi diri dengan orang lain tetapi juga dengan tubuh saya sendiri. Berhari-hari saya hanya di ranjang yang besinya sudah karatan, tak ada makanan yang dikelola oleh sistem pencernaan, serta pikiran-pikiran kalut masa lalu yang dibumbui kepahitan berhasil membuat saya bagai ikan yang mendamba air. 
    Telepon kembali berdering, kali ini ada niat untuk mengangkatnya. Saya kira badan saya malas untuk bergerak, ternyata kaku. Dari pundak hingga telapak kaki tidak ada satupun yang bisa digerakkan. Telepon terus berdering, keringat semakin bercucuran. Dengan susah saya menggerakkan seluruh tubuh untuk bisa bangkit dari ranjang ini, namun tubuh justru semakin beku. Saya tidak bisa merasakan pundak, punggung, dan kaki yang masih menempel. Wajah saya memerah kembali seperti saat teman saya berbohong atas kematian Ibu. Mulut saya tertutup rapat kaku tidak bisa bergerak sama seperti Ayah menghunus  tajam dengan perkataannya. 
    Nama Ibu dalam layar telepon itu membuat saya semakin membukakan mata. Saya mencoba sekuat tenaga untuk mengangkatnya. Meski seluruh tubuh kaku, namun di sisa tenaga, saya mengandalkan kemampuan telunjuk untuk mengangkat teleponnya dan mendengar suara Ibu samar-samar di udara.
“Ibu dan Ayah sudah di bandara. Untung pandemi di sini udah hilang seminggu yang lalu. Jadi, ibu sudah boleh pulang. Di rumah, nanti ceritakan hal-hal yang ingin kamu sampaikan di samping kolam ikan sambil makan kue dengan piring kesayangan Ibu, ya.”
Tubuh saya semakin kaku dari ujung kepala hingga telapak kaki. Mata saya terbelalak, menyedihkan mendengar kabar yang seharusnya saya tahu seminggu lalu. Mungkin Ibu dan Ayah tak tahu, piring-piring itu sudah berdebu  dan kura-kura dalam kolam ikan sudah sangat cocok dijadikan hiasan kematian.


Jakarta, Jasinga
25 Maret 2020
#diRumahAja

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.