Bima Dewanto, Fauziannisa
Kemarin sebelum semuanya terjadi, teman-teman saya
mengatakan kalau menjadi saya itu enak: rumahnya di kompleks. Besar, bagus, dan
pandangan-pandangan lain yang membentuk pola pikir tentang karakter penduduk
yang tinggal di kompleks. Hanya saja, rumah saya tidak memiliki kolam renang
melainkan kolam ikan yang isinya kura-kura, peliharaan Ayah yang dirawat Ibu
sehari-hari. Di rumah juga tidak ada guci mewah. Ibu lebih suka mengoleksi
piring yang dipajang di seluruh isi rumah: di meja, bufet, dinding, sampai
dapur.
Seperti semua orang yang hanya melihat dari kulitnya,
begitupun dengan teman-teman saya. Biar saya perjelas. Imaji tentang rumah
besar dan bagus mereka hanyalah terlihat dari luarnya saja. Tak ada yang
mengetahui betapa kura-kura Ayah hanya bernapas pasrah sebelum ajalnya tiba.
Tak ada yang mengetahui pula betapa meja, bufet, dan dinding yang melapisi
rumah ini hanyalah sebuah kesunyian. Hingga, hari itu tiba. Ketika semuanya
semakin menunjukkan bahwa segala hal yang saya miliki ialah fana.
Sampai hari ini, saya tetap berdiam di rumah seorang diri.
Pemberitaan di luar yang terus membunyikan larangan untuk keluar rumah semakin
membuat saya takut untuk memandang sinar matahari. Ayah dan Ibu masih terjebak
di belahan bumi bagian barat sejak sebulan lalu dan belum mendapatkan izin
untuk pulang. Hanya ada saya, kura-kura, dan koleksi piring di rumah. Awalnya
saya senang karena bisa menguasai isi rumah seorang diri. Kabar untuk
mengisolasi diri di rumah yang disuarakan pemerintah sejujurnya membuat saya
bahagia karena saya bisa menghindari pertemuan dengan orang-orang menyebalkan
di luar sana. Teman-teman yang menanyakan kelulusan, atasan yang memamerkan
kekayaan, hingga tukang parkir yang seenaknya meminta jatah padahal tidak sama
sekali membantu penempatan motor saya.
Sehari setelah pemberitahuan itu tiba, saya masih bisa bernapas lega untuk
melepaskan sejenak tuntutan pekerjaan. Sehari berikutnya, saya mencoba
produktif dengan membersihkan kamar dan seisi rumah. Hari-hari
berikutnya, saya mulai menyeimbangi tugas-tugas dari kantor sambil menamatkan
buku-buku yang belum saya baca berbulan-bulan lalu. Hingga pada satu titik, tak
ada lagi telepon dari Ayah dan Ibu, tak
ada telepon dari teman-teman terdekat, bahkan tukang kebun pun enggan menyapa
ke rumah padahal rerumputan sudah meninggi. Kehidupan saya selama ini hanya
dipenuhi oleh tuntutan rapat secara daring, mengisi perut, dan selebihnya
mencoba melepaskan kebosanan dengan tidur. Hanya itu yang bisa saya lakukan.
Melihat berita dan membuka internet? Seolah saya menenggelamkan diri saya
sendiri.
Semakin banyak informasi yang beredar, semakin saya tidak kuat menahan diri.
Semakin banyak informasi yang saya dapat, semakin gemetar tubuh saya. Saya
tidak tahu apa yang menyebabkan ini terjadi. Saat-saat seperti ini seakan-akan
membunuh saya dengan cara yang cantik. Selama hampir satu bulan, saya tidak
pernah menyalakan televisi. Selama hampir sebulan, saya telah melepas aplikasi browser
dan sosial media yang menyebarkan informasi tentang berkembangnya virus ini
setiap hari. Kiriman koran yang diantar petugas setiap pagi bahkan menumpuk di
teras tidak pernah saya sentuh. Hujan dalam beberapa hari kemarin membuat
tumpukan koran itu basah bahkan berceceran halamannya. Saya tidak peduli. Yang
terpenting, diri saya aman di dalam rumah tanpa perlu mengkhawatirkan apa yang
terjadi di luar.
Sesekali saya memang melihat keluar melalui jendela. Tapi selangkah pun saya
tidak pernah keluar dari ambang pintu. Untuk apa saya menjebloskan diri ke
jurang, sementara di dalam rumah saya memiliki tameng yang nyaman. Suatu hari,
saya lihat seorang anak lelaki berlari dan tak sengaja terjatuh tepat di depan
rumah saya. Ibunya menyusul dan membangunkan anak tersebut. Sayup-sayup saya
mendengar ucapan mereka.
“Sudah Ibu bilang, kalau di rumah, ya di rumah aja. Yang
lain juga pada di rumah. Noh, liat! Rumah itu ada hantunya.”
Anak lelaki itu menangis semakin kencang dan menggandeng lengan Ibunya. Setelah
beberapa langkah mereka pergi, saya merasa tersindir. Selama 25 tahun saya
hidup di rumah ini, tak pernah sedetik pun saya melihat ada hantu. Semakin
memikirkan tentang kebohongan Ibu tadi, saya merasa tertampar. Karena saya
merasa seperti mengulang luka lama yang sampai saat ini tak bisa saya musnahkan
dalam kepala. Tentang Ayah yang pernah berulang-ulang mengucapkan, “kamu sih”
saat saya kecil. Dari situ, saya selalu melindungi diri untuk tidak berbuat
apapun yang dapat melukai orang dan diri sendiri. Apalagi saat kondisi seperti
ini. Mengurung diri di rumah tanpa ada satupun informasi tentang pertumbuhan
pandemik akan membuat diri saya lebih tenang.
Saat ini saya masih terbaring di atas ranjang. Memandangi langit-langit kamar
yang polos tanpa pola. Rutinitas yang saya lakukan sebelumnya semakin lama
berkurang hingga saat ini saya tidak tahu harus berbuat apa. Pernah seorang
teman menelpon untuk membicarakan hubungannya dengan sang kekasih. Namun, ia
justru mengucapkan, “eh korban virus makin bertambah, loh”. Dari kejadian itu,
saya matikan telepon dan tidak pernah saya sentuh hingga dua hari ke depan.
Awalnya biasa saja, tapi jenuh perlahan menyerang. Saya tidak habis pikir
dengan teman-teman yang masih aktif dengan sosial medianya. Saya juga tidak
habis pikir dengan diri saya yang lebih takut dengan kabar daripada virus itu
sendiri.
Mungkin virus itu tidak seberapa dahsyatnya selain
hari-hari yang dulu saya jalani, tetapi sekarang masih tetap terkubur
dalam ingatan. Ketika semuanya menyalahkan karena saya yang terlalu cerewet
padahal saya ialah anak lelaki. Kala itu, ketika saya masih tergila-gila dengan
tokoh superhero dan menjadikan Ayah satu-satunya superhero dalam
hidup. Tak henti-hentinya saya mendongeng kepada Ibu tentang Ayah yang selalu
memberikan makan kucing di gang kompleks dan berbagai cerita baik lainnya yang
Ayah lakukan. Namun, naasnya Ayah ialah superhero yang bukan hanya menolong
saya tapi juga orang lain. Kala itu kulihat Ayah membawa wanita lain ke kamar
selain ibu. Yang baru saya ketahui, bahwa wanita itu ialah janda dari sahabat
karib Ayah yang meninggal. Ibu yang sedang pulang ke rumah Nenek tak mengetahui
hal tersebut sampai saya bercerita seperti biasa tentang Ayah yang menolong
wanita dan membawanya ke dalam kamar.
Semenjak itu, kebiasaan bercerita saya semakin lenyap karena ucapan saya
menyakiti orang lain, menyakiti Ibu. Ayah tak henti-hentinya mengatakan, “Kau
lelaki, tapi mulut macam perempuan!” belum lagi saudara-saudara Ayah yang
mengatakan, “Coba kau tak pandai bercerita, mungkin Ayahmu bisa menjelaskan
secara pelan-pelan kepada Ibumu.” Kejadian itulah yang menyebabkan Ayah dan Ibu
masih tetap hidup bersama tapi dalam dunianya masing-masing. Sampai saat ini
dan detik ini, kurasa memang pilihan terbaik ialah diam dan tak bersuara. Meski
gemuruh dalam kepala semakin memaksa. Meski segala berita dan kabar membuat
badan saya bergetar.
Mengingat hal itu membuat dada saya sesak seakan dikunci oleh perkataan Ayah.
Tapi mau bagaimana, mulut memang sebuah alat yang jahat. Saya kapok sebenarnya
menerima informasi yang membuat saya takut. Sepuluh tahun lalu ketika masih
duduk di bangku sekolah, sekelompok teman saya pernah menghampiri saya yang
sedang duduk sendirian di kantin. Dengan logat sedihnya, mereka berkata sesuatu
yang membuat saya hampir rubuh di kursi kantin.
“Kata bu guru, mama kamu kecelakaan. Kita turut berduka ya, semoga kamu bisa
kuat.”
Sontak wajah saya memerah kuyup dengan air mata. Tubuh saya lemas, dada saya
sesak, kaki saya tidak bisa menopang untuk berdiri tegak. Kantin yang saat itu
penuh orang mendadak sepi hanya dengan raungan yang saya teriakan.
Memanggil-manggil Ibu dengan terbata-bata seakan jenazahnya sudah berada di
depan saya. Semuanya melihat, semuanya mendengar, semuanya penasaran. Tapi
perlahan, sekelompok teman saya mulai tertawa kecil hingga bendungan tawanya
lepas dan bahak tawa mulai mengalahkan tangisan. Telunjuknya mengarah ke depan
wajah saya dengan ejekan, “cengeng, dibohongin mau aja!”. Perlahan mata saya
mulai gelap tidak dapat melihat kebrengsekan mereka.
Sudah sekitar dua jam saya masih di atas ranjang memandangi langit-langit tanpa
pola. Hari ini seakan tubuh saya memaksa untuk tetap diam di dalam kamar.
Memikirkan ketakutan masa lalu memang sulit saya sembuhkan hingga sekarang.
Kadang, untuk memberikan informasi dari sekolah kepada Ayah saja, tubuh saya
bisa berguncang tidak karuan. Belum lagi perlakuan teman-teman bajingan itu.
Hari ini berbeda, seakan badan saya hanya ingin diam di atas sprei putih dalam
kamar. Sesekali telepon berbunyi namun tidak saya jawab. Beberapa notifikasi
pesan masuk hingga sekarang tidak saya lihat. Hanya lagu yang terus berputar
seakan mengikuti diamnya tubuh yang tergeletak di atas ranjang.
Salah sendiri, dalam keadaan begini malah mengingat luka masa lalu. Mungkin di
hari biasa, saya akan keluar rumah untuk jalan-jalan sendiri di sekitar
kompleks. Tapi kalau kondisi begini, yang bisa saya lakukan hanya menikmati
kesendirian. Bukan menikmati, lebih tepatnya bertahan dengan diri sendiri
hingga kondisi membaik.
Namun, yang terjadi tak sesuai harapan. Kondisi saya bukannya semakin membaik,
justru membuat saya semakin tercekik. Himbauan pemerintah untuk mengisolasi
diri saya lakukan dengan amat baik. Terlampau baik. Saya bukan hanya
mengisolasi diri dengan orang lain tetapi juga dengan tubuh saya sendiri.
Berhari-hari saya hanya di ranjang yang besinya sudah karatan, tak ada makanan
yang dikelola oleh sistem pencernaan, serta pikiran-pikiran kalut masa lalu
yang dibumbui kepahitan berhasil membuat saya bagai ikan yang mendamba
air.
Telepon kembali berdering, kali ini ada niat untuk mengangkatnya. Saya kira
badan saya malas untuk bergerak, ternyata kaku. Dari pundak hingga telapak kaki
tidak ada satupun yang bisa digerakkan. Telepon terus berdering, keringat
semakin bercucuran. Dengan susah saya menggerakkan seluruh tubuh untuk bisa
bangkit dari ranjang ini, namun tubuh justru semakin beku. Saya tidak bisa
merasakan pundak, punggung, dan kaki yang masih menempel. Wajah saya memerah
kembali seperti saat teman saya berbohong atas kematian Ibu. Mulut saya
tertutup rapat kaku tidak bisa bergerak sama seperti Ayah menghunus tajam
dengan perkataannya.
Nama Ibu dalam layar telepon itu membuat saya semakin membukakan mata. Saya
mencoba sekuat tenaga untuk mengangkatnya. Meski seluruh tubuh kaku, namun di
sisa tenaga, saya mengandalkan kemampuan telunjuk untuk mengangkat teleponnya
dan mendengar suara Ibu samar-samar di udara.
“Ibu dan Ayah sudah di bandara. Untung pandemi di sini udah
hilang seminggu yang lalu. Jadi, ibu sudah boleh pulang. Di rumah, nanti
ceritakan hal-hal yang ingin kamu sampaikan di samping kolam ikan sambil makan
kue dengan piring kesayangan Ibu, ya.”
Tubuh saya semakin kaku dari ujung kepala hingga telapak
kaki. Mata saya terbelalak, menyedihkan mendengar kabar yang seharusnya saya
tahu seminggu lalu. Mungkin Ibu dan Ayah tak tahu, piring-piring itu sudah
berdebu dan kura-kura dalam kolam ikan sudah sangat cocok dijadikan
hiasan kematian.
Jakarta, Jasinga
25 Maret 2020
#diRumahAja
0 komentar:
Posting Komentar