Senin, 26 Februari 2018

Cerpen: Gaun Semula

Setelah polesan terakhir yang dinamakan blush on membuat pipi keriput saya memerah, kini saya siap menyaksikan satu hari yang mungkin bisa saya sebut sebagai tayangan ulang sebuah pernikahan tua. Ya, hari ini adalah hari pernikaha cucu perempuan saya satu-satunya. Ia menikahi seorang pengusaha kedai kopi sukses di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Pernikahan ini dilangsungkan di sebuah taman kecil yang hanya muat sekitar tujuh puluh orang.
            Semenjak bangun tidur, saya merasa setiap menit kejadiannya pernah saya rasakan. Pasti. Hari itu, tepat pada pertengah Desember masa penjajahan silam, saya juga berada di posisi seperti ini dengan pemuda yang saya cintai. Seorang pengusaha rumah makan Cina yang semenjak pandangan pertama telah saya cinta. Tepat ketika saya membuka kedua mata saya dari tidur yang gelisah semalam, hal yang pertama saya lihat adalah sebuah lampu pijar di samping kanan kepala saya. Begitupun dengan di hotel yang saya singgahi ini. Lampu pijar warna hangat yang mengingatkan saya akan hari yang sama.
            Setelah semua nyawa saya terkumpul dan bisa berusaha bangun dari kasur empuk namun tulang remuk saya yang semakin keropos ini, saya menjalani ritual pagi dengan memejamkan mata sebentar dalam posisi duduk dan bersyukur atas nikmat tuhan karena di umur yang semakin renta ini, saya masih diberikan kesempatan untuk membuka mata di setiap hari saya bangun tidur. Kenangan itu muncul kembali setelah saya melihat sebuah buket bunga yang diletakan di samping meja televisi. Sama seperti hari pernikahan saya dulu, sama dengan buket bunga yang diletakan di meja, namun di samping radio tua.
Oma, terimakasih. Gaunnya kuno, tapi cantik.
-Rea

            Begitu yang tertulis dalam sebuah memo di dalam buket. Sebuah gaun tua milik saya yang sengaja saya minta kepada cucu saya untuk memakainya saat hari pernikahaannya. Berbahan satin dengan pundak yang mengembang, tua. Tapi itulah cucu saya. Ia sangat menyayangi saya. Apapun yang ia minta, saya berusaha untuk menurutinya. Begitupun dengan ia. Kali ini saya memintanya mengenakan gaun tua itu untuk mengingatkan kembali akan kenangan indah ketika masa pernikahan wanita tua ini dulu.
Kini saya duduk di sebuah kursi putih di ruang rias. Niatnya saya yang mengenakan gaun itu, tapi itu kan gaun pernikahan. Lagipula sudah tidak muat di bagian pinggang. Akhirnya Rea membuatkan saya sebuah kebaya modern berwarna biru muda beserta kain batiknya. Setelah riasan saya selesai, kini saya menunggu Rea keluar dari ruang gantinya dengan gaun cantik yang saya berikan. Mata saya menjurus ke sebuah kotak perhiasan kecil di atas meja. Kenangan itu muncul lagi. Ketika saya membuka sebuah kotak yang berisikan kalung mutiara pemberian dari ibu mertua saat hari pernikahan dulu. Saya ambil kotak itu dan saya buka perlahan. Ya, sama. Isinya sebuah kalung emas putih dengan mutiara di tengahnya. Ini milik Rea. Tapi apakah ia akan mengenakannya?  
Setelah pintu ruang ganti terbuka, keluarlah Sana, menantu perempuan saya yang merupakan ibunda Rea.
“Agak kecil di bagian pinggang, tapi masih bisa diatasi,” katanya.
Rea keluar dari ruangan itu. Saya melihatnya. Dari bawah. Dari lantai. Sebuah kain berwarna putih pucat menjulur melebihi kaki. Menyeret di lantai putih yang berantakan karena pakaian yang dibuang kemana-mana. Kemudian saya naik ke pinggul. Sebuah layer gaun berwarna keemasan terbentang disana. Saya lihat jemarinya mengenakan cincin permata biru muda senada dengan gaun yang saya kenakan saat ini. Kemudian di bagian dadanya tersemat sebuah kalung mutiara yang pada hari itu saya lihat di kotak tepat di meja rias saya. Rambutnya yang disanggul kepang membuatnya tidak seperti mengenakan gaun kuno milik neneknya.
Rea, saya tidak melihatnya. Ia adalah saya 54 tahun yang lalu. Ia adalah seorang pribumi yang dinikahi etnis Tionghoa pengusaha rumah makan saat itu. Ini adalah hari pernikahan saya. Hari dimana saya menjadi nyonya dari pemilik rumah makan sukses di sini. Rea hari ini adalah saya. Rea hari ini adalah neneknya 54 tahun lalu.
Saya beranjak dari kursi dan menghampirinya. Saya letakkan kedua telapak tangan keriput saya di pipinya yang merah merona. Dilihatnya saya dengan tatapan haru yang berkaca-kaca pada kedua matanya.
“Kamu cantik,” kata saya.
Ia balas dengan tertawa kecil bersama dengan airmata yang mengalir membasahi pipi. Langsung saya usap agar tidak merusak riasannya yang cantik ini. Mata itu adalah mata ibu  mertua saya ketika saya mengenakan gaun yang sama. Saya melihatnya disana. Tatapan haru kedua pasang mata yang saling tatap.
“Semuanya sudah menunggu di luar, ayo!” ucap Sana.
Kami semua mengiring Rea keluar menuju pelataran. Seingat saya, di hari pernikahan saya dulu gaun ini sempat tersangkut pada pintu. Maka dari itu saya membukakan pintu untuk Rea. Tapi begini, namanya juga lansia pasti dilarang untuk berbuat apa-apa. Lalu saya bilang, “jangan sampai gaun ini tersangkut!”
Benar saja, belum sempat dua langkah keluar, Rea berhenti melangkah. Ia menginkan bagian belakang gaunnya yang melilit kakinya. Saya hanya mendengus melihatnya.
“Hati-hati, gaun ini sudah lama. Bahannya sudah tidak bagus,” ucap seorang penata rias yang membantu Rea keluar.
“Tidak! Gaun ini tidak akan rusak,” ucap saya membalasnya.
Semua yang berada disana hanya saling tatap kebingungan. Kemudian saya mengajak mereka untuk terus berjalan.  
Kini kami tiba di pelataran. Sebuah taman kecil dengan beberapa kursi yang dibalut kain putih sudah berjejer rapih menghadap sebuah panggung kecil yang membentuk pelaminan. Saya dituntung untuk duduk di kursi depan agar bisa melihat Rea dan calon suaminya mengikrarkan janji suci mereka.
Kenangan itu kembali memuncak. Saya melihat ke belakang dan disana sudah ada Rea bersama ibunya. Kembali lagi saya melihat sebuah pernikahan suci 54 tahun silam dengan gaun yang sama. Saya melihat seorang gadis yang muda kembali 54 tahun lalu berjalan menyusuri karpet di taman dengan taburan bunga-bunga halus di bawahnya. Saya melihat seorang gadis yang muda kembali 54 tahun lalu berjalan dengan gaun cantik nuansa Belanda yang menyeret di bagian belakangnya. Perlahan saya beranjak dari tempat duduk saya dan mulai meneteskan air mata perlahan.
Kemudian saya berpaling ke depan. Saya melihat disana, di atas pelaminan seorang laki-laki muda berparas Cina sedang menunggu saya berjalan menyusulnya. Laki-laki itu tersenyum menyambut calon mempelai wanitanya. Saya ingat betul waktu itu. Ia, laki-laki yang saya cinta berdiri tegak menyambut kedatangan saya dengan tangannya. Rea, tangkap tangannya. Ia adalah masa depanmu. Ia adalah imam untukmu.
“Ini adalah déjà vu yang sangat dahsyat untuk seorang wanita tua seperti kita kan.”
Begitulah yang saya ceritakan kepada teman-teman di panti jompo ini. Sudah sekitar lima tahun saya tinggal disini sekarang. Lima tahun saya tinggal bersama sahabat-sahabat yang bersama-sama menantikan ajal. Lalu kemana keluarga yang saya ceritakan barusan? Tebak saja, apakah seorang pengusaha sukses akan terus tinggal di negerinya sendiri? Apakah seorang pengusaha kaya akan peduli dengan nenek mertuanya yang sudah tidak bisa lagi member apa-apa?
“Kemana Rea dan suaminya sekarang?” Tanya salah seorang panitia yang masih belia yang saat itu sedang mengadakan sebuah bakti sosial dip anti.
“Mereka bercinta di negeri tirai bambu,” jawab saya.
Kemudian saya memandangi jendela di depan dan masih menunggu tuhan memanggil saya sehingga kenangan ini tidak terulang setiap harinya.


What’s Up Café

30 Desember 2017
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.