Jumat, 17 Februari 2017

Cerpen: Katresnan





Hatinya hancur namun egonya membara ketika ia tahu hubungannya tidak disetujui ayah yang ia ubah panggilannya menjadi ‘katanya ayah’. Baru saja Damar bahagia bisa melihat kembali cinta pertamanya setelah selesai menempuh pendidikan di negeri seberang. Keluarganya adalah keluarga ternama di daerahnya. Dengan kedudukan sang Ayah sebagai salah satu orang dengan harta kekayaan dan tanah ia miliki dimana-mana, membuat Damar dengan mudah menempuh pendidikan hingga setinggi ini di luar negeri.
            “Perempuan itu adalah pencuri jambu di pohon yang tertanam di sekitaran rumah kita!” bentak ayahnya pada malam terakhir Damar meninggalkan rumah untuk kedua kalinya.
            “Keluarganya menjual anak perempuannya ke sini agar bisa tidur di ranjang empuk bersama kami!” tambah ibunya yang sama-sama tidak suka dengan perempuan itu dan keluarganya.
            Hati Damar tersayat sembari kakinya berjalan menyusuri jalan gelap dengn jas tebalnya. Pikirannya kembali akan ucapan-ucapan para orangtua yang saling bersahutan membuat pikiran kusut.
            “Jambu kata anda, Raden? Apa saya pernah menghitung berapa banyak suapan nasi yang saya berikan untuk putera kebanggaanmu itu?” kata ibunda Daya, perempuan yang merupakan cinta pertamanya.
            Damar masih berjalan dengan mata yang perih namun tidak berair. SUlit rasanya mengeluarkan airmata untuk seorang lelaki. Padahal Damar berharap dengan keluarnya airmata itu, setidaknya hatinya akan lebih tenang karena semua emosinya tercurahkan.
            “Silahkan kalian hitung  tujuh hari dari malam ini. Daya akan mendapatkan seorang keturuan Keraton yang hartanya mampu menenggelamkan istana yang kalian sanjung ini!” tambah ibundanya.
            Damar melihat banyak sekali jalan didepan matanya. Namun tidak satupun yang mampu mengarahkannya ke satu tujuan. Kakinya terus saja menyusuri jalan yang lurus ke depan. Enggan ia menengok ke belakang karena ingatannya tentang Daya akan masuk menerobos hatinya yang kini tinggal kepingan akibat dilahap habis oleh ego.
            Telinganya masih memutar suara lantunan gending yang dinyanyikan oleh Daya ketika kepalanya ia jatuhkan di kedua paha Daya. Suara lembut yang mampu membuat Damar tertidur lelap hingga lupa akan ranjang empuk yang dikatakan ibunya tadi. Belum lagi desahan lembut ketika Daya membangunkan Damar untuk segera pulang. Wangi cendana yang khas tercium dari tubuhnya mampu membuat Damar seolah-olah terbawa angin yang menghembus aromanya.
___
            Tujuh malam sudah semenjak sumpah ibu yang hendak mencarikan lelaki keturunan darah biru dimana hartanya mampu menelan rumah Damar. Saya duduk di meja rias menunggu persiapan pernikahan yang akan berlangsung sebentar lagi. Menatapi cermin yang seakan-akan menunjukan orang asing. Bukan, bukan rupanya.
            Terlihat jelas bibirnya tidak mengembang seperti hari-hari biasanya. kini lurus. Hampa. Merah akibat lipstick pun terlihat abu-abu di mata say.
            “Tinggalkan saya sendiri, bu. Damar akan menemui saya di sini. Berdua.” Pinta saya kepada ibunda. Ibu mengiyakan karena sudah paham bagaimana kedekatan kami. Ibunda pun masih menyayangi Damar sama seperti anaknya sendiri walau kini ia sudah dijatuhkan oleh orangtuanya.
            Saya masih duduk dengan posisi yang sama menantikan kedatangan Damar. Sepuluh menit pertama, lilin di samping pintu sudah mulai habis meleleh. Damar belum juga datang mengetuk pintu. Suara gamelan yang terdengar sendu dari luar mengiringi kesepian saya menantinya di ruangan ini.
            “Saya disini. Daya.”
            Suara berat yang saya dengar dari belakang punggung saya. Mata saya masih menatap kosong jari kuku merah yang saya letakkan di atas meja rias.
            “Panggil saya Ndoro Ramandaya sekarang” sahut saya.
            “Belum”
            “Setengah jam lagi, maka kedudukan saya akan lebih tinggi dari keluargamu”
            Damar berjalan perlahan mendekati saya. Menggenggam pundak saya yang telanjang. Saya tepis tangannya hingga tidak sampai pada satu inci dari pundak yang hendak dipegangnya. Namun tangannya lebih kuat. Justru sekarang tangan saya yang digenggamnya kuat-kuat.
            “Saya akan mengantar kamu ke bawah” katanya.
___
            Sudah sampai saya di sebuah rumah yang ramai. Gemerlap lampu di malam hari membuat gelap tidak disebut lagi sebagai gelap. Musik keras yang diputar membuat hati saya yang sepi seakan-akan gaduh didalamnya. Orang berlalu lalang di sekitaran rumah itu namun tidak satupun yang jalannya tegap. Tidak satupun yang mulutnya tertutup.
            Hingga saya masuk ke dalam satu ruangan yang sudah ramai orang. Musik di dalamnya mengalunkan gending yang mengiringi beberapa penari di dalam. Semuanya wanita, dengan kemben yang terlihat dipaksakan mengetat di bagian dada hingga atas tumit. Belum lagi kain yang mereka kalungkan di leher masing-masing. Tidak jarang kain itu digunakan untuk menarik para penonton pria agar ikut menari bersamanya.
            Satu yang membuat saya kaget sehingga tangan saya melayang memukul salah seorang dari penari itu. Ia mencoba mengalungkan kainnya ke leher saya dengan membungkukan badannya sehingga belahan dadanya terlihat jelas tidak lebih dari setengah meter didepan mata saya. Penari itu terheran melihat kelakuan saya yang berbuat kasar kepadanya. Itu tidak sengaja karena refleksnya tangan saya.
            Musik berhenti hingga semua orang memandang fokus kepadanya dan saya. Begitupun dengannya, yang perlahan menatap saya dalam-dalam. Tubuhnya semakin mendekat. Wajahnya kini saling berhadapan dengan wajah saya. Matanya tajam namun cantik dengan riasan yang mencolok.
            “Selamat datang, Tuan Damar” katanya sambil menempelkan kedua telapak tangannya seakan-akan memberikan kehormatan untuk saya.
            Matanya masih menatap kedua mata saya. Tatapannya penuh tanda tanya. Bahkan ketika ia membalikkan badannya, tatapannya masih lurus ke kedua mata saya.
            “Dia adalah pelacur kelas atas di sini” kata salah seorang yang duduk tidak jauh dari sana.
            Saya masih menatap punggungnya yang kini berjalan menjauhi saya untuk kembali ke arena tempat ia dan teman-temannya menari. Musiknya masih terdengar namun lebih pelan. Hingga saya merasa jenuh di sini, akhirnya saya putuskan untuk kembali ke jalanan mencari tempat yang lebih bisa membuat saya tenang.
            Saya berjalan perlahan keluar menuju sebuah pintu besar tempat saya masuk tadi. Masih ramai dengan orang yang berlalu-lalang hingga saya harus berhimpitan dengan mereka. Setelah saya sampai pada pintu besar yang saya tuju, seseorang menghentikan langkah saya.
            “Suatu kehormatan bagi saya bisa melihat tuan di tempat seperti ini.”
___
            Saya tahu dia sedang memandang dengan tatapan kosong ke arah para penari melenggang. Perlahan mengikuti irama gamelan, saya langkahkan kaki dengan pinggul yang bergoyang mendekatinya. Terlihat kehampaan dalam dirinya saat itu.
            Sontak saya kaget ketika pergelangan tangan saya terlempar akibat tangannya yang melayang ketika kain saya coba kalungkan di lehernya. Seperti halnya wanita lain, saya mengeluarkan suara teriakan manis yang bisa membuat para lelaki terangsang ketika tempatnya bukan di sini.
            Saya tahu siapa dia. Seorang pemuda hebat dari keluarga kaya yang baru saja pulang menempuh pendidikannya. Tampan, gagah. Kharismanya mampu menusuk mata saya hingga tidak bisa lepas dari pandangannya. Salam tidak lupa saya ucapkan untuknya karena saya tahu kedudukan keluarganya yang kaya itu.
            Setelah kejadian barusan, saya lihat dirinya berjalan perlahan menerjang kerumunan orang menuju pintu keluar. Ia mencoba melarikan diri dari situasi canggung yang barusan terjadi. Kaki saya mampu berjalan mengikuti arahnya dengan mata saya yang masih tajam memperhatikan gerak tubuhnya.
            Dapat! Kini kami saling berhadapan kembali di depan pintu besar yang ia tuju. Mata kami saling menatap lama walaupun masih terlihat kehampaan pada dirinya. Perlahan ekspresinya berubah menjadi bingung setelah berlama-lama menatap. Satu kalimat ia ucapkan dan mampu merubah pikiran saya setelahnya. Membuat hati saya seketika beku tidak merasakan apa-apa lagi.
“Saya mampu membeli tubuh anda kapanpun saya mau. Jangan goda saya sekarang”
Semakin dingin tubuh saya ketika mendengar caranya berucap demikian. Datar, namun menyakitkan. Saya mampu mendengar retakan hati saya yang beku kering akibatnya. Tapi satu yang panas, pikiran saya. Otak saya mencerna setiap katanya. Menggerakan ratusan syaraf untuk membuat bibir terbuka.
“Apakah tidak boleh seorang pelacur jatuh cinta?” tanya saya kepadanya.
___
Sudah duapuluh tujuh malam setelah malam pernikahan Daya. Keluarga Damar dilanda kehilangan yang mendalam. Kepergiannya dari rumah hingga sekarang membuat seisi rumah resah.
“Dimanapun dia sekarang, saya harap selalu dalam lindungan” pinta ibunya yang telah melalui malam-malam itu tanpa setengguk jamu yang biasa ia minum rutin.
“Mungkin ia sudah memiliki usaha yang membuatnya sukses di sana” harap ayahnya yang selalu gengsi untuk memperlihatkan kerinduan terhadap putera semata wayangnya itu.
Setiap hari pintu rumah selalu dibuka lebar demi menunggu datangnya Damar dari pelariannya. Duapuluh tujuh malam, seisi rumah merasakan dinginnya malam dengan keadaan pintu rumah yang terbuka lebar. Ibunya tidak pernah beranjak dari sofa yang terletak di teras rumah demi menunggu anaknya pulang.
“Saya lihat Damar!” kata seorang pembantu di rumahnya.
Membuat ibunda bahagia dan penasaran mendengarnya. Ia bangun dari duduknya karena perasaan bahagianya. Tapi tidak lagi ketika kalimat selanjutnya di ucapkan.
“Bertelanjang dada…”
Perlahan posisi berdirinya melemah.
“Menari gembira…”
Matanya menutup pelan-pelan. Wajahnya memucat biru kedinginan.
“Di atas paha wanita…”
Tubuhnya sudah kembali terjatuh di sofa tempat ia duduk.

“Di sebuah rumah bordil di utara sana.”
___
            Tunggu saja hingga perempuan yang Damar cintai tahu kalau suaminya sedang saya jepit dengan kedua paha saya malam ini.
            “Apakah pelacur dilarang jatuh cinta?”


Jakarta, 17 Februari 2017
Allianz Tower 29th Floor
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.