Setelah masuk ke liang lahat, semua berubah gelap.
Wangi melati yang sedari tadi menemani saya sepanjang perjalanan kini telah
hilang. Hanya tanah dari dalam liang dan kayu dari peti yang memancarkan bau
dari dalam sini.
Setelah masuk ke liang lahat, semua berubah gelap.
Lantunan do’a pengantar yang sedari semalam saya dengar begitu indah kini
hilang perlahan berbarengan dengan ditutupnya liang. Suara isak tangis yang
saya dengar menderu-deru senyap seketika.
Setelah masuk ke liang lahat, semua berubah gelap.
Perlahan saya mulai mengucapkan salam untuk kegelapan yang kini menjadi teman
saya di dalam sini. Aroma kayu dan tanah juga berbalik mengucapkan salam
selamat datang bersama dengan berbaringnya saya di dalam sini.
Seperti nyawa mulai kembali, jiwa datang lagi, raga
bergerak perlahan membuat jemari menari kecil. Baru sekitar sepuluh menit saya
tidur di dalam sini, bosan sudah datang. Sama halnya seperti yang saya lakukan
semasa hidup, bernyanyi. Melantunkan sebuah lagu yang mungkin bisa membuat
kebosanan ini luntur. Sebelum malaikat datang ke ruangan sempit ini dan
melakukan interview selama masa hidup
saya. Bedanya kali ini tidak diperlukan daftar riwayat hidup dan sertifikat
yang biasanya dibutuhkan. Saya di kuburan.
“I see trees of green, red roses too
I see them bloom for me and you
And I think to myself what a wonderful world”
Lirik demi lirik saya lantunkan perlahan namun bosan
tidak juga hilang pergi meninggalkan saya. Kemana malaikat yang katanya akan
datang menemui saya? Cepat datang, saya bosan. Walaupun saya tahu nantinya saya
akan dihakimi karena perbuatan saya semasa hidup. Tapi setidaknya ada kegiatan
yang dilakukan di dalam sini selain memandangi gelap dan menghirup bau tanah. Apa
mereka tidak akan datang?
Saya berharap kehidupan baru saya di liang ini tidak sama
seperti di dunia. Pasalnya, kesepian selalu menemani saya selama hidup. Saya
lahir tanpa ibu yang menyusui saya dan ditemani ayah yang fisiknya saja tidak
pernah saya sentuh karena bekerja pagi bertemu pagi. Belum lagi sanak saudara
yang tinggalnya sangat jauh dari rumah. Tetangga saja enggan
mengenal keluarga saya karena rumah yang selalu tertutup.
Sekolah, saya hanya bermain dengan sebuah buku catatan
yang menampung banyak materi yang saya pelajari. Tidak bosan saya baca berulang-ulang
baik untuk memahaminya kembali atau hanya sekedar iseng. Jarang sekali satu, dua
orang yang menjadi teman untuk saya karena pribadi saya yang tertutup.
“I see skies of blue and clouds of white
The bright blessed day, the dark sacred night
And I think to myself what a wonderful world”
Itu
lanjutan lagu yang saya lantunkan, tapi suaranya datang dari liang di sebelah
saya. Suara wanita, tidak begitu bagus malahan rapuh. Tapi saya terhanyut mendengarkannya.
Perasaannya tulus melantunkan lirik tiap lirik.
“Saya
terkesan” puji saya yang masih mendengarkan suaranya.
Lagu
terhenti, mungkin ia hendak menjawab pujian saya. Sekedar ucapan terimakasih
mungkin.
“Saya
rindu hidup” katanya.
Saya
mulai memikirkan kalimatnya barusan. Berarti ia telah lama berbaring di sini. Mungkin
ia adalah seorang nenek yang mati karena sakit sehingga ia merindukan anak dan
cucunya.
“Saya
rindu ketika kelambu menutup rapat ranjang ketika saya tidur dengan gaun tebal”
lanjutnya, cerita yang tidak saya tanyakan.
“Teriakkan
ayah yang memerintahkan pesuruh untuk menghukum pribumi yang tidak menyerahkan
hasil tani-nya”
Kebosanan
yang saya rasakan mulai berganti dengan kebingungan yang menindih saya lebih
rapat dibandingkan tutup peti di atas saya sekarang.
Kemudian
ia menceritakan kehidupannya yang lebih sepi. Dantjé namanya, seorang anak
keturunan Belanda yang tinggal ikut ayahnya semasa penjajahan dulu. Ayahnya
adalah seorang jenderal yang berkuasa untuk mengambil hasil tani dan kebun para
penduduk pribumi. Dantjé bahagia ketika nyawanya di lepas dari raganya. Sebab
semasa hidup yang dirasakan hanyalah kesendirian.
Ayahnya
sibuk menginjak-injak pribumi yang menentangnya. Ibunya sibuk memamerkan
kekayaan curiannya dengan teman-teman sebangsa-nya yang tinggal di sini. Adik
laki-laki yang saat itu berumur lima tahun dipaksa untuk berlatih perang guna
melanjutkan takhta ayahnya nanti. Sementara dirinya sendiri, Dantjé yang sepi.
Kehidupannya
sehari-hari hanya untuk menunggu setiap lelaki Belanda yang datang untuk
melamarnya. Tetapi lelaki yang di harapkan tidak pernah datang.
“Saya
bakar foto-foto lelaki yang diberikan ibu kepada saya untuk memilihnya menjadi
pendamping hidup. Semuanya adalah anak jenderal dan atau yang lebih tinggi”
papar-nya.
“Saya
mencintainya. Lelaki yang membawakan ayah hasil tani dan membawakan saya
sebotol susu” lanjutnya.
Jadi
ini masalah cinta yang sering saya baca dari buku-buku klasi semasa hidup dulu.
Kesepian yang ia rasakan ternyata jauh lebih dahsyat daripada saya. Kesepian
batin, sebut saja. Saya merasakan semua emosi yang ia pendam semasa hidup
tertuang di dalam sini. Sementara saya menunggu malaikat yang ‘katanya’ akan
menemui saya.
Kemudian
ia menceritakan tentang lelaki itu. Lelaki yang membawakannya susu. Pribumi
yang sangat rajin menyetorkan hasil-nya kepada sang jenderal. Walaupun ia tahu
itu berat baginya dan hasil yang diberikan juga sama sekali tidak ada ikhlas
didalamnya. Tapi ini yang dikagumi, konsistensi. Bukan. Bukan konsistensi.
Lelaki
itu pernah bilang bahwa hasil tani yang diberikan tidak ada apa-apanya selain
bisa melihat Dantjé. Ia memberikan hasilnya agar bisa berkunjung ke kediaman
jenderal dan menatap Dantjé. Satu, dua, hingga hari-hari berikutnya mereka
berdua semakin dekat. Dantjé sudah bisa menghilangkan rasa kesendiriannya itu.
Tapi
memang benar adanya cerita Romeo dan Juliet. Jenderal mengetahui kedekatan
mereka dan melarang Dantjé berhubungan dengannya. Lelaki itu dibuang dari desa
agar tidak pernah bisa menemui Dantjé kembali.
Bulan
demi bulan ia lalui tanpa tatap muka dengan lelaki itu. Kesepian yang
merangkulnya kembali bukan apa-apa dibanding rasa rindu yang lebih besar. Dantjé
tidak betah dengan kesendiriannya di kamar dan pikiran yang terus menuju ke
lelaki itu. Raganya masih utuh namun jiwanya hilang pergi terbawa olehnya. Sudah
tidak ada lagi rasa dalam tubuhnya saat ini. Merasakan tidak berguna-nya hidup
di dunia, Dantjé memutuskan untuk mengakhiri masanya.
“Saya
minum saja susu yang telah saya simpan selama berbulan-bulan lalu untuk mengobati
rasa rindu” katanya.
Kemudian
saya mencoba berani bertanya kepadanya, “lalu apa rindu itu hilang?”
“Hilang.
Rindu itu lenyap bersamaan dengan nyawa saya.” Hingga akhirnya ia mati dan
dimakamkan di sini.
Kemudian
saya diam sejenak memikirkan apa yang telah ia ceritakan. Saya teringat kembali
soal malaikat yang ‘katanya’ akan menemui saya. Tapi hingga sekarang, mereka
tidak kunjung datang.
“Kemana
malaikat-mu? Tanyanya kepada saya seakan-akan ia tahu apa yang sedang saya
pikirkan.
“Tidak
tahu. Saya memikirkannya dari tadi”
Kemudian
ia diam dan percakapan kami sempat habis sampai disitu.
“Mereka
tidak akan datang ke sini” katanya kembali berbicara.
Sontak
saya dibebani bingung yang lebih berat dari sebelumnya. Bukankan sudah
takdir-nya untuk malaikat datang menjumpai orang yang baru saja dimakamkan?
“Jika
kamu mau didatangi, maka pindahkan makam-mu ke tempat lain”
Apa-apaan
ini. Masa iya saya pindah makam.
“Mereka
tidak ingin berkunjung ke makam saya. Begitupun dengan makam yang berada
didekatnya”
“Kenapa?
Bukannya sudah tugas mereka?”
Dia
terdiam lama. Hingga akhirnya tidak ada lagi percakapan diantara kami. Setiap
halnya membuat saya bingung. Lihat saja dari awal ia melanjutkan lagu yang saya
nyanyikan. Memangnya sudah ada lagu itu sebelum ia meninggal? Lalu, apa iya
susu yang membuat nyawa-nya hilang? Belum lagi pertanyaan saya tentang malaikat
yang enggan datang ke makam ini.
Semuanya
membuat saya bingung. Sangat bingung. Hingga saya lupa kejenuhan yang saya
rasakan.
“Kamu
tahu…” katanya yang kembali membuka perbincangan.
“Malaikat
benci kesepian” lanjut-nya.
___
“Yes, I think to myself what a wonderful world”
___
Jakarta, 9
Februari 2017
Allianz Tower 29th
Floor
0 komentar:
Posting Komentar