Senin, 12 November 2018

Cerpen: Sebelas Rupiah


Hari ini tiket bioskop hanya seharga sebelas rupiah. Nominal yang sangat murah ketimbang hari biasa yang bisa mencapai 50—75 ribu—kebetulan hari ini juga hari Minggu. Semua orang berebut mendapatkan kuota nonton dengan harga gila tersebut. Murah memang status yang selalu diburu.
            Tapi siang ini, saya memikirkan sesuatu yang amat jauh lebih murah daripada sebelas rupiah. Seminggu lalu, Kotak—teman sekelas saya cerita tentang keluh kesahnya terhadap satu komunitas yang ia jalani. Saat itu, Kotak dan teman-temannya sedang berada dalam satu lingkarang besar. Pada momen itu, mereka didaulat sebagai peserta diskusi santai yang nantinya akan membahas kinerjanya selama beberapa bulan kemarin.
            Sebelum itu, saya juga merupakan salah satu pemburu tiket bioskop sebelas rupiah itu. Pergi ke minimarket guna isi saldo untuk transaksi di aplikasi startup sebagai media pembayaran tiket tersebut. Selang lima menit, kuota penontonnya sudah habis. Saya kira awalnya juga sia-sia, tapi hari Rabu nanti masih ada promo buy 1 get 1. Jadi bisa dibilang, saldo yang saya isi bisa untuk hari esok.
            Tapi, pesan masuk dari Kotak di ponsel saya. Isinya hanya sebuah pesan terusan tentang bahaya mabuk dengan air rebusan pembalut. Saya sudah baca artikelnya semalam. Seminggu lalu saat Kotak berkumpul dengan komunitasnya, ia berkata kepada saya bahwa hal paling murah di muka bumi ini adalah permintaan maaf.
            Yang saya ceritakan disini mungkin hanya sebagian karena saya tidak berada di lingkaran itu sebagaimana Kotak. Katanya, pada diskusi itu, teman-temannya banyak yang meminta maaf atas kesalahan dan kelalaiannya selama masa menjabat. Awalnya Kotak terharu dan tersentuh karena orang-orang di lingkaran itu dengan rendah hati mau mengungkapkan permintaan maaf atas kesalahannya. Tapi, yang saya tangkap justru semakin lama permintaan maaf semakin murah. Kotak dalam pertengahan cerita menunjukan kekesalannya karena ia merasa aktif dalam komunitasnya. Memang sebagai sahabat, saya melihatnya sebagai pribadi yang ulet dan rajin dalam menangani kegiatan di komunitasnya.
            Dalam lingkaran itu, ia melihat kawanannya menceritakan alasan kelalaian mereka dalam bekerja di komunitasnya. Bahkan ada yang sampai menangis tersedu-sedu sehingga Kotak tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkannya. Namun, seperti ada formasi di dalamnya. Setelah mereka menceritakan alasan, kata terakhir dalam setiap penyampaiannya adalah meminta maaf. Dalam hal ini, Kotak benar-benar menunjukan kemarahannya pada saya.
            “Mudah sekali mereka minta maaf, kalau benar adanya salah kenapa tidak langsung diperbaiki saat itu juga?”
            Ia juga mengeluarkan kalimat yang seakan-akan mendidik saya untuk tidak menggunakan forum semacam itu untuk ajang minta maaf karena akan menjadi kebiasaan yang buruk bagi setiap anggotanya. Saya pun berpikir demikian, kalau sebuah forum dibuat untuk ajang minta maaf, maka berbuat salah bisa dilakukan kapan saja dan sebebas mereka karena mereka beranggapan akan ada saatnya untuk meminta maaf secara massal.
            Terlihat bukan, sebelas rupiah masih terbilang cukup mahal dibandingkan meminta maaf atas apa yang telah diperbuat selama hampir kurang lebih setengah tahun. Kotak tidak memberitahu kepada saya kelalaian mereka, namun tampaknya ada sebuah penyesalan akan loyalitasnya di komunitas tersebut jika melihat teman-temannya hanya sekadar mengucapkan maaaf, kemudian semuanya menebarkan cintanya kembali dan menghapus kesalahan mereka selama setengah tahun tersebut.
            Sambil melihat isi cuitan di Twitter, akun sahabat saya yang bernama Bulat muncul dengan cuitannya yang menuntut perbaikan layanan di akun kereta listrik. Sudah dengan panjang lebar ia menuliskan protesnya ditambah emoticon yang turut mendukung emosinya, namun admin akun tersebut hanya membalasnya dengan permintaan maaf dan misi untuk memperbaiki layanannya tanpa ada informasi detil.
            Melihat kejadian ini, seakan-akan permintaan maaf malah hanya dijadikan untuk salam pembuka. Kasihan Bulat yang kemarin sore dilecehkan di dalam kereta. Lubang pantatnya disodok atau mungkin tersenggol gagang payung seorang laki-laki paruh baya. Namun yang ia dapat adalah permintaan maaf yang hanya berbunyi “eh maaf maaf”.
            Mempelajari kedua hal ini, saya jadi berpikir kembali dalam bertindak. Dulu ketika masih di masa ‘mengaji pukul empat’, saya diajarkan untuk berperilaku yang baik. Benar juga kata Pak Ustadz, kalau bertindak baik pasti akan menghasilkan kebaikan juga.
            Tapi, saya lebih tertarik pada masalah yang diceritakan si Kotak. Memang pada masa seperti ini, sebagai seorang mahasiswa saya merasakan betul orang-orang yang sibuk dalam menangani banyak organisasi namun tidak bisa menangani kinerjanya.
            Tahap evaluasi yang seharusnya dijadikan catatan perbaikan untuk kegiatan kedepan malah dijadikan ajang minta maaf. Kotak juga mengatakan kepada saya kalau maaf yang dikemukakan mereka juga memiliki level: maaf dengan alasan, maaf dengan tangisan, dan maaf mengakui kesalahan. Tapi dari ketiga level ini, solusinya sama: dimaafkan.
            Kalau begitu, saya turut prihatin dengan Kotak yang sudah merelakan waktunya dua puluh empat jam untuk dedikasi di komunitasnya. Sayang sekali, Kotak ini orangnya jenaka—tidak pernah dianggap serius oleh teman-temannya. Jadi kalau Kotak ingin ikut-ikutan bersedih seperti teman-temannya, itu malah hanya dijadikan bahan candaan.
            Tapi beruntungnya, Kotak bisa mendapatkan kesempatan untuk nonton di bioskop seharga sebelas rupiah hari ini.

Jakarta, 12 November 2018
01.44 WIB
           

Share:

Minggu, 07 Oktober 2018

EFEK ZOOKARTA: AZAB MAHASISWA AWAM TEATER YANG JATUH CINTA DENGAN SENI PERAN


Ini adalah catatan perjalanan Teaterin dalam membesarkan Zookarta hingga berdiri di atas lantai kayu, panggung Gedung Kesenian Miss Tjitjih.
           
Maaf besar jika saya mulai dengan diari singkat tentang saya.

NAFAS AWAL
            Jujur, tahun 2018 adalah tahun yang bersahabat dengan saya. Seakan-akan, tahun ini adalah pelunasan atas apa yang terjadi pada tahun sebelumnya. Musibah yang menimpa keluarga dengan habisnya rumah akibat api, kekecewaan besar pada Festival Teater Jakarta Timur, hingga yang paling buruk adalah kekalahan pada pemilihan ketua BEM.
            Beranjak dari kepahitan tersebut, melangkahlah saya pada jenjang yang baru. Awalnya, menargetkan diri untuk bisa menjadi bagian atas dari mata kuliah bergengsi: Apresiasi Drama, baik sebagai pimpinan produksi atau sutradara. Sebagai manusia yang ambis, maka jauh hari saya mulai menerawang bagaimana pembagian kelas untuk grup teater, siapa di divisi mana, siapa calon aktornya, dan banyak hal dengan rapih.
            Singkat cerita, terpilihlah saya sebagai sutradara. Karena semua sudah saya rencanakan, tinggal pengaplikasiannya kepada teman-teman satu tim yang akhirnya menjadi satu dengan nama: Teaterin.
            Dr. Irsyad Ridha, M.Hum., selaku dosen pengampu meminta kepada kami untuk membawakan naskah yang ditulis oleh penulis baru guna membuka gerbang bagi calon sastrawan Indonesia yang  masih segar. Pikiran langsung tertuju pada antologi naskah drama yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta, 2013 lalu.
            Sekedar perbincangan di atas motor dengan Sarah tentang pemilihan naskah, ia mempersilakan naskah karyanya dibaca oleh teman-teman Teaterin. Rekomendasi keduanya adalah naskah Jakarta Karikatur yang 2013 silam pernah ia pentaskan bersama teman-teman dari Teater 45.
___
Otak saya: “Naskah karya Sarah yang berjudul RT.4 RW.5 bercerita tentang dua orang kandidat RW yang berebut kekuasaan dengan melakukan berbagai macam cara kampanye. Atmosfer kekalahan saya akan pemilihan ketua BEM yang banyak orang mengira kalau saya masih memiliki dendam tersembunyi akan pemilihan tersebut. Maka, naskah tersebut benar-benar saya jauhkan dari pementasan.
___
            Akhirnya saya putuskan untuk mengadaptasi cerita dari lakon Jakarta Karikatur karya Yustiansyah Lesmana.

HAI TIAN!
            Sore itu di kawasan Kemang.
            Sebelumnya, saya telah mengubah fokus cerita Jakarta Karikatur yang awalnya dominan kepada cerita antara Jupran dan Babeh sehingga para pengontrak menjadi cerita utama pada naskah hasil adaptasi.
            Yustiansyah Lesmana, penulis lakon Jakarta Karikatur yang sore itu saya kira akan tertimpa musibah karena karyanya saya obrak-abrik. Ternyata, Tian adalah orang yang humble dan terbuka. Sutradara hebat yang saya kira untouchable ini seakan-akan menjadi teman ngobrol asik di langit jingga Kemang. Dengan segan yang tinggi, saya meminta izin kepada empunya cerita untuk mengubah alur, tokoh, fokus, dan embel-embel lain pada naskah Jakarta Karikatur. Segan saya semakin tinggi ketika saya minta izin untuk mengganti judul dari Jakarta Karikatur menjadi Zookarta.
            Seperti yang saya katakan: Tian adalah orang yang humble. Dengan senang hati ia mempersilakan saya mengacak-acak naskahnya. Bahkan, Tian menjelaskan secara detail tentang apa saja yang ada di Jakarta Karikatur.
___
Yustiansyah Lesmana: “Jakarta Karikatur merupakan proyeksi antara dua tokoh yang memperdebatkan sejarah Jakarta. Kedua tokoh tersebut digambarkan sebagai Jupran dan Babehnya yang pada satu adegan berdebat hebat tentang sejarah. Pengontrak hanya sebagai pelengkap.
___
            Beda dengan Zookarta yang memfokuskan cerita pada keragaman di Jakarta—kota kecil yang mampu menampung banyak perbedaan antara satu individu dengan individu lain. Penggambaran tebal yang saya terapkan pada para pengontrak yang berasal dari berbagai macam suku. Minang, Batak, Jawa, Sunda, hingga orang Timur menjadi simbol keragaman pada Zookarta.
            Adapun saya membaginya menjadi tiga level. (1) Pengenalan pendatang dari berbagai macam suku; (2) Pemicu klasik yang menyebabkan masalah besar; dan (3) Penyelesaian masalah hingga masing-masing pendatang memiliki rasa kekeluargaan di atas tanah yang sama: Jakarta.
            Kisah Jupran dengan keluarganya juga masih eksis pada Zookarta. Cerita yang sama pada Jakarta Karikatur yaitu Jupran yang memohon kepada Babehnya untuk meneruskan kuliah disamping sang Babeh adalah orang yang kolot dan mengesampingkan pendidikan demi budaya yang turun temurun.
            Bedanya, Jupran pada Zookarta adalah satu media yang bisa digunakan sebagai suara mahasiswa sastra yang selama ini sering disepelekan oleh orang awam. Jupran akan mengatakan bahwa sastra merupakan ilmu dengan adiguna yang dibutuhkan oleh orang banyak.
            Sore itu masih bersama Tian. Penamaan lakon Zookarta bagi saya hanyalah sebagai penarik pemasaran. Zookarta diekspektasikan sebagai judul yang mampu mengudang ketertarikan orang untuk menyaksikannya. Walaupun ada sedikit pikiran bahwa Zookarta tak luput dari penduduk Jakarta yang berasal dari berbagai macam daerah sebagaimana kebun binatang yang dihuni berbagai macam jenis satwa.
            Tapi, tak dapat dipungkiri bahwa Yustiansyah Lesmana merupakan penulis lakon yang cerdas. Ketika saya menyebutkan Zoookarta, maka ia mengatakan banyak hal tentang judul tersebut.

Yustiansyah Lesmana: “Judulnya apik, mampu membuat orang tertarik. Sama dengan jalan cerita yang akan dibawakan tentang apa saja jenis satwa (penduduk), bagaimana kandangnya, bagaimana habitatnya, bagaimana kebiasaannya, siapa saja yang mengunjungi, siapa saja yang dikunjungi, dan masih banyak lagi analogi antara Jakarta dengan kebun binatang.”

            Sejak itu, saya berpikir banyak tentang materi yang diberikan Tian kepada saya tentang penamaan Zookarta sebagai lakon baru dari Jakarta Karikatur. Sebelum akhirnya saya diskusikan bersama dosen pengampu dan teman-teman Teaterin, memutar otak untuk menentukan konten dari setiap materi yang diberikan Tian adalah suatu kewajiban. Hingga akhirnya ini sangat mudah ditentukan setelah saya membaca dan mengubah ulang naskah Jakarta Karikatur yang telah saya adaptasi menjadi Zookarta.

Jawaban Saya: “Penamaan Zookarta memang semata-mata untuk menganalogikan Jakarta dengan kebun binatang. Konten dari kebun binatang yang memiliki banyak jenis satwa sebagaimana Jakarta yang memiliki banyak jenis penduduk yang datang dari daerah yang berbeda-beda. Klasifikasi binatang buas dan jinak pun terdapat pada setiap karakter di Zookarta yang diperankan oleh tokoh-tokoh antagonis dan protagonis. Jakarta juga memiliki sudut-sudut kota yang dianalogikan sebagai habitat bagi beberapa kelompok penduduk tertentu: Wilayah perkotaan Jakarta Pusat dan Selatan, wilayah perkampungan kumuh di sudut antah berantah Jakarta, pusat perbelanjaan, pusat kesenian, wilayah maritim, dan masih banyak lagi. Kebiasaan juga tidak luput dari karakter di dalam lakon Zookarta, beberapa jenis pekerjaan yang berbeda bergantung dari ciri khas yang dibawa dari budaya daerahnya masing-masing.
Namun, dari konvensionalitas para pendatang dari suku yang berbeda, Zookarta menawarkan sebuah pemberontakan yang mana dianalogikan sebagai kandang dalam kebun binatang. Dalam definisinya, kandang digunakan sebagai kurungan yang membatasi habitat satwa sesuai jenisnya. Dalam Zookarta, hal ini dapat dilihat dari bagaimana maisng-masing tokoh menilai karakter dari tokoh lain yang datang dari wilayah berbeda. Ciri khas orang Batak yang berbicara keras, budaya berdagang ala suku Minang, kebiasaan berbicara halus khas Jawa, dan masih banyak lagi seakan-akan menjadi kurungan bagi tiap suku dan sulit dipisahkan atau dihilangkan dari stereotype masyarakat atasnya.
Dalam Zookarta, perlahan kurungan itu dijungkirbalikan. Walaupun maish terdapat beberapa ciri khas dari suku-suku tersebut, tapi masing-masing tokoh akan menampilkan hal yang tidak biasanya dinilai orang akan suku yang diperankan nantinya. Karakter orang Batak yang keras akan cair dengan kecentilan salah satu aktor, halusnya suku Jawa yang akan diputar oleh tokohnya menjadi cablak dan gagah, dan sebagainya.

            Begitulah kira-kira.

PROSES DIMULAI
            Tak dapat dipungkiri sebagai sutradara yang anggotanya adalah teman kelas—orang-orang yang mayoritas awam teater, saya sudah memiliki nama-nama pasti untuk memerankan tokoh yang ada di Zookarta. Tapi, proses casting harus tetap berjalan walaupun awalnya hanya sebagai formalitas saja. Tapi, dosa besar saya ketika berpikiran sebagaimana kalimat sebelumnya dijelaskan. Nama-nama pasti tersebut seakan-akan tidak ada apa-apanya. Anggota Teaterin menunjukan bagaimana karakter mereka seseungguhnya. Banyak orang yang awalnya saya anggap remeh dalam segi acting, tapi dalam proses casting mereka mampu membuat saya berdecak kagum.
Lembar nama-nama pasti yang telah saya susun sebelumnya kini hanya sampah yang telah saya masukan ke dalam tong. Terdapat lembar baru yang berisikan nama-nama pemeran yang didapat murni dari hasil casting. Pertimbangan selalu ada. Dalam hal ini, tidak hanya kemampuan dan bakat yang saya utamakan. Melainkan kemauan adalah hal utama dari segalanya. Talenta sama dengan nol jika kemauannya tidak ada. Dari sini, saya belajar bahwa melatih orang-orang yang masih kosong ilmu dengan kemauan yang tinggi akan lebih mudah dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki bakat besar namun kemauan yang nol dan keangkuhan yang merajalela.
Proses terus berjalan mulai dari reading, blocking, running, hingga pementasan berlangsung. Di sela-selanya, saya memiliki prinsip dan menekankan kepada teman-teman dari Teaterin bahwa proses kita adalah teater untuk bersenang-senang. Maka, pemilihan naskah komedi adalah satu langkah yang tepat bagi kami untuk merealisasikannya.
Teater untuk bersenang-senang adalah proses menuju pementasan yang dibangun untuk menghilangkan beban serta memudahkan tim untuk mencapai pementasan sesungguhnya. Kesadaran akan latar belakang pementasan yang berasal dari mata kuliah yang mana mayoritas tidak terlalu ada niat untuk menjadi besar membuat teater untuk bersenang-senang sebagai alternatif untuk memudahkan saya sebagai sutradara dalam mengajak mereka menikmati prosesnya.
Gelak tawa dari setiap adegan membuat mood teman-teman Teaterin bangkit dan menikmati hari-hari latihan. Menjadi aktor dengan tingkat emosi yang apik bukanlah sebuah proses instan. Adegan demi adegan di Zookarta yang ringan masalah membuat aktor mudah untuk mendalami karakternya masing-masing.
Sebagai sutradara, saya juga membebaskan para aktor untuk eksplorasi karakter masing-masing dan menentukan ciri khasnya sesuai keinginan mereka namun aktor harus tetap sadar akan jalan cerita dan alur dalam naskah.
Seriring berjalannya waktu, saya semakin menyadari dan kenal bagaimana karakter masing-masing aktor dan kemauan mereka. Teaterin adalah kelompok yang menginginkan kebebasan tanpa kekangan. Teaterin adalah kelompok yang selalu ingin perkembangan. Maka selama proses running, saya membebaskan setiap aktor untuk mengembangkan dialog mereka masing-masing dengan improvisasi yang sama sekali bukan sampah sebagaimana improvisasi pada umumnya yang digunakan hanya untuk menambal dialog yang kurang tepat sasaran.
Dalam naskah tertulis Zookarta yang saya ketik, kandungan komedinya hanya sebesar 20%-30%, namun ketika dialog demi dialog sudah disuarakan oleh para aktor, perkembangan komedinya meningkat hingga 80%. Peningkatan angka yang cukup besar untuk ukuran pementasan kelas. Namun menurut saya, ini masih terlalu besar. Masih ada beberapa bagian di Zookarta yang membutuhkan sentuhan sendu, sedih, haru, duka, marah, dan emosi lain selain guyon. Dalam prosesnya, tetap saya biarkan 80% komedi itu berjalan. Bahkan saya meramalkan peningkatan akan terjadi hingga angka 98%.
Dan akhirnya ramalan saya terbukti. 98% komedi semakin merajalela dalam setiap running. Bagian-bagian yang seharusnya memiliki emosi berbeda malah menjadi komedi yang kental. Namun, hal ini saya biarkan karena menurut saya, lebih mudah mengurangkan sesuatu yang berlebih daripada harus meningkatkan sesuatu yang kurang. Dalam hari-hari terakhir running, pengurangan tingkat komedia perlahan saya lakukan. Angka 98% semakin turun menjadi 60% yang artinya sudah optimal untuk naskah Zookarta. Adegan romantis, duka, tegang, dapat dengan mudah saya garap. Perlahan, persentase emosi dalam setiap adegan di Zookarta semakin optimal. Romantisme Jupran dan Meylin semakin menyentuh. Kepolosan Juleha akan kepergian Jupran semakin mengiris hati. Ketegangan antar pengontrak semakin membuat jantung kencang. Semua telah pas sesuai porsinya.

MENUJU PEMENTASAN: HARI TEGURAN

            Satu hari sebelumnya, Teaterin melakukan persiapan sekaligus gladiresik di Gedung Kesenian Miss Tjitjih. Segalanya telah siap untuk pementasan keesokan harinya.
            Seperti sebelumnya, Teaterin selalu memberikan kejutan untuk saya. Keluhan-keluhan akan beberapa aspek yang menyangkut pementasan selalu membuat saya resah. Mulai dari musik yang pada awalnya memiliki progres lambat hingga saya kelimpungan mencari pengganti hingga nekat menggunakan musik digital dari YouTube. Mengorbankan Zoya selaku Pimpinan Produksi sebagai vokalis dalam music pementasan merupakan keputusan yang amat berat. Pasalnya, ketika pementasan nanti pasti pergerakan Zoya selaku pimpro akan banyak dilakukan. Sementara music harus sudah standby jauh sebelum penonton masuk ke gedung.
            Hari menjelang pementasan, musik semakin menunjukan kemampuannya. Dibantu dengan dosen pengampu kami yang kelihatannya sangat khawatir juga akan keadaan music pementasan Zookarta. Hari ini, saya merasakan atmosfer music pementasan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Rifqi, Bale, Zoya, Jeje, dan Rama mampu meramu music pementasan dalam waktu singkat dan terdengar apik serta kawin dengan adegan demi adegan.
            Keresahan lain juga terjadi dalam ruang control lampu. Jauh sebelum hari ini tiba, keresahan kembali menyapa. Aya, sahabat saya yang nantinya akan mengoperasikan lighting pementasan cukup membuat saya khawatir. Kontrol lampu dengan banyak sekali tombol dan istilah-istilah yang semakin membuat saya tidak percaya bahwa Aya tidak mampu mengendalikan ini hingga akhirnya saya memutuskan untuk mencari bantuan untuknya. Meminta salah satu teman dari Teater 45 untuk mendampingi Aya nantinya, Zidane.
            Hari ini, Aya dan saya sama-sama paniknya. Penjelasan panjang lebar dari petugas lampu di Miss Tjitjih sama sekali tidak membuat kami paham. Hingga akhirnya kami kulik sendiri pencahayaan dengan menyesuaikan adegan demi adegan yang dicatat dalam lembaran rumus yang sudah disiapkan oleh Aya.
            Sempat saya tinggal ia sendirian dan memintanya mengoperasikan lampu dari atas sementara saya di panggung untuk mengarahkan. Perasaan kesal tumbuh makin besar akibat lamanya Aya menaikan level cahaya yang saya minta sampai akhirnya saya memutuskan: Dia tidak akan mampu tanpa saya di sampingnya.
            Malam harinya, perasaan berdosa saya kembali timbul. Meremehkan seorang Aya ternyata bukanlah tindakan yang tepat. Gladiresik malam ini dikontrol oleh Aya sebagai operator lighting. Ia mampu menghafal dengan cepat setiap bagian dan semuanya sesuai rencana. Seluruh lampu panggung mampu ia operasikan dengan baik. Saya hanya membantu mengoperasikan level lampu fokus. Aya memang lambat dalam mengerti sesuatu. Tapi untuk Zookarta, ia adalah seorang jenius.
Masih banyak hal-hal lain yang tadinya saya remehkan kemudian saya agung-agungkan.
Tiga Oktober adalah hari dimana saya menyadari dosa saya sebagai sutradara. Teaterin adalah teguran bagi saya yang sombong. Teaterin adalah bukti kepiawaian orang-orang yang saya remehkan. Hari ini, mereka adalah keajaiban itu sendiri.
Saya salah. Terima kasih telah mengingatkan.

ACTION!
            Dalam pementasannya, saya berani mengatakan bahwa Zookarta sebaik-baiknya pementasan yang saya saksikan setelah Opera Kecoa dan Dreamgirls. Zookarta mampu membuat penonton hidup dalam satu jam empat puluh lima menit dengan gelak tawa yang menggema di gedung Miss Tjitjih. Tapi, saya mengatakan seperti ini bukan karena saya sutradaranya. Peran saya dalam pertunjukan tidak lebih dari 10%. Semua ada pada tangan aktornya masing-masing.
            Sebagai sutradara, jarang sekali saya menentukan secara mutlak karakter yang mereka mainkan hingga peletakan blocking secara detail untuk setiap adegannya. Ibaratnya, saya minta sayur sop dan aktor sudah tahu bagaimana membuatnya dan bagaimana rasa yang saya suka. Seperti itu cara kerjanya.
            Pementasan hari itu mampu membuat saya bangga akan Teaterin kesekian kalinya. Aktor mampu membawakan perannya dengan apik dan menggiring penonton dengan cerita yang mereka sajikan secara rapih. Aktor-aktor Zookarta memiliki kontrol panggung yang baik.
            Berdasarkan respon penonton yang hadir, Dara yang berperan sebagai Inah mampu menjadi scene stealer dalam pementasan hari itu. Kemunculannya dalam pementasan tidak terlalu banyak. Namun dalam sekali kemunculan, penonton langsung menaruh hati kepadanya. Kepiawaian Dara dalam memerankan karakter Jawa yang halus namun gagah ini mampu mengundang tawa penonton yang lebih ramai. Logatnya kental, gerak badannya fleksibel, tingkahnya menggemaskan.
            
Namun dengan demikian, Dara dibantu oleh Pacil yang berperan sebagai Jesika dan Icha yang berperan sebagai Rihana. Ketiganya dipertemukan dalam satu adegan yang saya akui selama proses latihan, mereka adalah aktor yang paling sedikit saya garap. Kenapa? Karena pembawaan mereka dalam memerankan tokohnya masing-masing sudah sesuai porsi sejak awal. Pacil dengan cepat mampu menanamkan logat Batak yang kental dalam dirinya. Pembelajaran bahasa dan istilah Batak juga cepat ia terapkan dalam proses. Icha yang merupakan aktor pengganti yang sebelumnya diperankan oleh Hafidz dengan karakter pria gemulai (langsung saya ubah menjadi ibu-ibu tukang gossip yang riweh) juga cukup mudah beradaptasi dengan Rihana. Walaupun Rihana dan Icha sama-sama berasal dari Sunda, namun Icha yang polos mampu menyesuaikan diri dengan Rihana yang sejatinya adalah ibu-ibu dengan mulut tajam.
            Ketiga pengontrak ini merupakan aktor-aktor yang menurut penonton mampu memanjakan mata dan scene stealer utama dalam Zookarta. Hingga timbul istilah trio pengontrak yang diberikan oleh penonton pada malam itu.
            Selanjutnya, saya akan membahas tentang Meylin yang pada hari itu mampu membawakan adegan romantis versi saya ke atas panggung. Tidak disangka seorang Adinda yang saya kenal adalah orang yang lebih dominan dalam bidang penalaran dibandingkan fiksi mampu menjadi Meylin dengan cantik. Satu lagi ketidakbergunaan saya sebagai sutradara adalah tidak mengajarkan logat Cina kepadanya, tapi dalam keseharian latihan Adinda mampu mengembangkan logatnya secara otodidak.
            Pernah saya khawatir bahwa logat Cina yang dibawakan akan sebagaimana orang-orang awam meniru secara konvensional logta Cina pada umumnya. Tapi tenggorokan Adinda ternyata memiliki kekhasan Cina sesungguhnya dan enak didengar.



          Teruntuk Adinda:“Saya kagum dengan cara kamu berusaha dan resah akan peran yang dimainkan. Kekhawatiranmu akan kegagalan yang nantinya kamu takutkan semakin membuat saya yakin bahwa kamu akan menampilkan lebih dari ekspektasi yang saya bayangkan. Meylin, merupakan representasi budak cinta yang akhirnya berhasil setelah menunggu sekian lama bergandengan dengan banyak perbedaan.”
           
Selanjutnya, saya akan menjelaskan bagaimana Juleha dapat berubah secara pesat di atas panggung. Tokoh Juleha sempat menjadi perdebatan antara saya dan teman-teman Teaterin. Pasalnya, mereka menganggap bahwa Juleha hanyalah anak kecil biasa. Tetapi saya berani meyakinkan bahwa Juleha adalah gifted child dengan kekurangannya dalam segi mental. Ziova selaku aktor yang membawakan peran Juleha cukup memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
Hari-hari latihan memang Ziova harus selalu diberikan pembaharuan agar karakter yang dimainkannya tidak luntur dan perlahan menjenuhkan. Pada hari itu, Ziova mampu mengobrak-abrik perasaan penonton. Kemunculan perdananya membuat penonton tertawa terbahak-bahak dengan tingkah konyolnya. Kemunculan berikutnya, ia mampu membuat hati penonton teriris dengan ketidakpahamannya akan kepergian sang kakak. Rasa penasaran Juleha yang ditunjukan dan rasa rindu yang ditampilkan sangat amat membuat penonton tersentuh. Sempat saya tidak berani melihat adegan ini dari ruang operator lighting karena kesedihannya mampu membuat saya merinding.
 Aktor berikutnya yang mampu menjadi scene stealer adalah Mat Sani yang diperankan oleh Syirad. Orang yang sangat sulit digarap setiap latihannya baik dalam segi hafalan dialog, peletakan blocking, hingga emosi. Secara fisik, Syirad adalah sebagaimana mestinya Mat Sani dalam pikiran saya. Pernah suatu hari ia meminta izin untuk memangkas rambutnya, namun saya larang karena saya yakin di hari pementasan, rambut khas yang ia miliki akan menjadi khas pula bagi Mat Sani.
Malam itu di panggung, Mat Sani mengeluarkan karakter orisinalnya. Sebagaimana selengean orang dan garangnya Mat Sani mampu Syirad rasukan ke dalam tubuhnya. Satu hal dari Syirad yang saya suka adalah menghargai hasil yang tidak pernah ia ekspektasikan sebelumnya. Ucapan terima kasih kepada saya dengan mata yang berkaca membuat saya melihat Syirad sebagai pribadi yang senang mendapatkan keberhasilan di dunia yang baru—yang tidak pernah ia jamah sebelumnya.
Masing-masing aktor Zookarta mampu menyeimbangi satu sama lain. Tidak pernah saya melihat mana yang paling dominan dan mana yang tertutup. Semua sudah pas sesuai porsinya masing-masing. Dara yang awalnya saya sebut sebagai scene stealer juga tidak bertindak sebagai tokoh yang maruk panggung.
            Begitupun dengan Babeh (Mat Entong) sebagai pembawa cerita dari awal hingga akhir. Sekali lagi saya katakan bahwa aktor-aktor Zookarta meningkat 80% ketika di panggung. Sejak awal latihan hingga akhir, Bagus selaku aktor yang memerankan Babeh memiliki satu kekurangan yaitu ketegasannya sebagai orang Betawi. Intelegensi Bagus sebagai mahasiswa masih menonjol dalam dirinya yang seharusnya malah berlawanan dengan karakter Babeh.
Alasan saya menitipkan peran Babeh kepada Bagus lantaran saya percaya bahwa ia adalah orang yang fokus dan gigih dalam mencapai sesuatu. Jujur, Bagus adalah orang yang sama sekali tidak memiliki aura Betawi dan saya yakin akan sulit membangun karakter Babeh dalam dirinya. Tapi, coba kita ingat-ingat penjelasan saya di awal tentang bagaimana cara saya mengajarkan teman-teman Teaterin. Bagus adalah orang yang memiliki kemauan, sebelum kemampuan. Maka, cukup mudah bagi saya mengarahkannya menjadi sosok Babeh yang disegani oleh seluruh penduduk Zookarta.
Istrinya, Mimin adalah salah satu aktor yang murni 100% saya lepas akan pembentukan karakternya. Berbeda dengan Bagus yang harus bekerja keras untuk menghidupkan jiwa Betawi dalam dirinya, Raizza sebagai Mimin dirasa sudah memiliki Mimin yang sesungguhnya dalam dirinya. Bahkan bagi saya, Mimin adalah Raizza itu sendiri.
Raizza adalah pendengar terbaik. Tidak perlu saya mengajarkan bagaimana membaca dialognya. Tidak perlu saya mengajarkan bagaimana seharusnya ibu Jupran. Tidak banyak yang saya ajarkan ke Raizza karena ia sudah memiliki Mimin seutuhnya. Satu hal yang saya berikan untuk Raizza adalah: blocking.
Ada cerita lucu dari Haikal yang berperan sebagai Alex. Secara kemampuan yang dilihat sejak latihan awal, Haikal adalah aktor yang sangat awam—bergerak sesuai kemauan naskah. Ia hanya berdialog sesuai dengan apa yang ada di naskah kemudian emosinya hilang dan kembali menjadi dirinya semula. Itu terus berlanjut hingga akhirnya suatu hari, ia sakit saat latihan dan saya perintahkan untuk pulang lalu istirahat. Keesokan harinya, peningkatan pesat terjadi pada tokoh Alex. Garangnya orang Timur semakin menonjol hari demi hari. Improvisasi dan penyesuaian juga sering dilakukan demi menunjang dialog lain yang diucapkan aktor setelahnya.
Tidak salah saya menempatkan Haikal sebagai Alex yang secara fisik dan aura memang pantas dilihat sebagai orang yang lihai memegang uang.
Satu lagi aktor yang menurut saya patut diditiru loyalitasnya adalah Bayu sebagai Samsul Bahri (Uda). Kemauannya tinggi untuk belajar membuat Bayu yang awalnya berdiri dari nol besar, kini mampu mencuri perhatian penonton hanya dengan satu kali langkah masuk menuju panggung pementasan. Permasalahan awalnya benar-benar sebagaimana orang awam teater melakukan acting.
Vokalnya yang bass membuatnya sulit mengucapkan artikulasi dengan jelas. Badannya kaku untuk bergerak. Namun, sudah tugas saya selaku sutradara untuk meluruskannya. Drilling terbanyak memang ada pada adegan Uda pada kemunculan awal. Saya rasa, adegan ini sangat amat berat bagi Bayu karena ia yang menjadi pemicu awal kedatangan para pengontrak.
Dalam beberapa hari meramu adegannya, ternyata saya mendapatkan pengetahuan bahwa cara mengajarkan drama pada Bayu adalah ‘you need to do some choreography as the sample for him’. Dan benar, saya harus benar-benar bergerak untuk menyuarakan dialognya, dan Bayu menirukannya.
Poin lebih yang ia miliki adalah selera humor yang khas. Uda yang diperankan olehnya menjadi sosok yang pecicilan, pengecut, dan receh. Gaya minang yang dibawakannya memang tidak terlalu kental. Ketidaksempurnaan gerak tubuh Bayu dalam berteater malah saya jadikan ciri khas untuk tokoh Uda.

Yang paling penting darinya ialah, kemauan dan loyalitas. Eksitensi Bayu dalam setiap latihan teater membuatnya memiliki perubahan yang sebelumnya nol menjadi seniman panggung seutuhnya.
Tokoh selanjutnya yang saya ciptakan dalam Zookarta adalah Genk Cantik. Tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena over-emansipasi semakin besar belakangan ini. Munculnya keberanian perempuan khususnya ibu-ibu dalam bertindak sengaja saya tampilkan dalam pementasan. Genk Cantik adalah representasi dari fenomena ‘mudahnya membongkar aib orang hanya dalam sentuhan jari’.
Aksi warganet yang dapat dengan mudah menjustifikasi siapapun diwakilkan oleh Genk Cantik. Keberadaannya dalam pementasan memang tidak dominan. Tapi, jika kita kaji lebih dalam lagi, Genk Cantik merupakan satu bagian penting yang dapat mewakili warga Jakarta. Perkampungan mana yang sore hari sepi ibu-ibu bergosip? Sangat jarang untuk Jakarta.
Analogi mulut warganet dalam Genk Cantik saya perkuat dengan membuat tiga tokohnya sebagai perwakilan dalam setiap kalangan. Nadia sebagai Jubaedah yang sedang hamil membuat kita sadar bahwa aksi mengomentari orang seenaknya dapat dilakukan oleh siapapun baik dalam keadaan sehat, sakit, mengandung, lelah, dan kondisi tubuh lainnya. Siti sebagai Maymunah yang digambarkan dengan perawakan Syar’i—bergo panjang dan gamis yang tertutup menandakan bahwa bergosip adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh semua orang. Biasanya, karakter ibu-ibu gossip dalam setiap drama atau film digambarkan dengan dandanan yang menor dan ramai ala Wiwid yang memerankan Neneng (Ibu gossip sebagaimana umumnya). Tapi, Maymunah mampu menggebrak stereotype tersebut dan mengatakan kepada penonton bahwa orang yang terlihat religious pun akan melakukan aktivitas gossip sesuka mereka.

KONSPIRASI TOKOH JUPRAN
            Selama membaca Jakarta Karikatur, sejujurnya saya menemukan diri saya dalam tokoh Jupran. Jupran adalah tokoh yang memperkenalkan ilmu baru pada keluarganya yang kolot dan tidak pernah henti berdakwah tentang pentingnya pendidikan dan ilmu yang diremehkan orang (dalam Zookarta, sastra yang utama). Dalam naskah Jakarta Karikatur, Jupran memutuskan untuk kuliah jurusan sejarah. Tapi dalam Zookarta, sastra adalah produk yang harus dikembangkan.
            Berangkat dari pengalaman pribadi (satu malam sebelum naskah Zookarta dibacakan), sempat salah satu sanak saudara saya ceramah panjang tentang percumanya saya belajar di jurusan sastra. Padahal pada saat itu, kedudukan saya sebagai mahasiswa sastra cukup bergengsi dibandingkan dengannya yang hanya kuliah di kampus pelarian karyawan dengan jurusan yang umum—yang semua orang tidak takjub ketika jurusannya disebutkan.
            Dendam saya lampiaskan pada jalan cerita yang dibawakan Jupran. Sastra harus hidup dalam kehidupan kita. Sastra adalah ilmu besar yang dahulu dianggap agung oleh masyarakat. Dalam Zookarta, Jupran harus mampu membawa kembali sastra menjadi besar.
            Dibuatlah skema bahwa Jupran sebenarnya adalah mahasiswa sastra yang memiliki kontribusi besar bagi kampusnya. Pada awalnya, saya membuat Jupran layaknya Mahasiswa Berprestasi yang memiliki banyak penghargaan di kampusnya. Orang tuanya tidak tahu apapun tentang pencapaian yang didapat Jupran. Yang ditahu hanyalah anaknya kuliah setiap hari.
Mat Entong sebagai ayah Jupran menginginkan anaknya melanjutkan perguruan bela dirinya dibandingkan harus kuliah sastra. Ini sejalan dengan cerita saya sebagai sutradara yang mana ayah saya sempat menjebloskan saya ke kelompok Pencak Silat yang padahal saat itu saya memiliki keinginan besar untuk bergabung bersama teater. Dalam hal ini, Jupran mampu membuktikan kepada ayahnya bahwa keputusannya kuliah sastra mampu membuat dirinya besar di kampus.
            Adapun kesamaan lainnya antara tokoh Jupran dan saya adalah metamorfosis dari anak rumahan menjadi mahasiswa kampus. Mulai dari gaya bicara, cara berpakaian, tindak dan perilaku, serta pembawaan bersosialisasinya.
            Namun dengan begitu, saya masih harus kontrol ego. Jupran kali ini diperankan oleh Dul yang sama sekali berbeda dengan saya. Walaupun saya yakin Dul mampu membawakannya sesuai Jupran versi saya, tapi saya tetap butuh orisinalitas Dul dalam memerankan Jupran.
            Jupran di raga Dul adalah Jupran yang cuek, angkuh, tinggi ego, namun tetap berprestasi. Jupran adalah representasi mahasiswa sastra yang diremehkan orang banyak karena pencapaiannya hanya ia dan teman-teman satu jurusannya yang tahu. Dalam raga dan jiwanya, Jupran dibawakan dengan perpaduan antara Jupran versi saya dan karakter asli dari Dul.
            Berbeda dengan pemeran Jupran di Jakarta Karikatur yang lebih agresif, Jupran dalam Zookarta sengaja saya buat lebih dingin dan kalem. Tipikal anak sastra yang lebih suka menulis dibandingkan berbicara.
            Selama proses, Dul sebagai Jupran termasuk aktor yang cepat tanggap dan luwes dalam memerankan karakternya. Di samping ada Raizza sebagai aktor yang mudah dibentuk, Dul adalah setelahnya. Permasalahan utama yang ada pada dirinya adalah kurang percaya diri pada satu dialog tertentu karena kebanyakan merasa mengganjal dari pribadi aslinya dengan pribadinya sebagai Jupran. Padahal sebagai sutradara, saya punya keyakinan kuat bahwa Dul mampu membawakan semua dialog Jupran dalam panggung pementasan.
            Malam itu, Jupran berhasil membawakan tiga kali transformasi ke atas panggung. Mulai dari anak rumahan yang baru lulus sekolah dengan karakter polosnya; lanjut menjadi anak kuliahan yang urakan; hingga akhirnya pulang dari Belanda dengan tampilan sexy dan terkesan intelek.
            Dalam kesehariannya, Dul termasuk orang yang cuek. Maka dapat saya katakan bahwa penggarapan adegan Jupran dengan Meylin tidak memakan banyak tenaga karena Dul mampu menyesuaikan dirinya dengan Adinda yang masih kaku dengan adegan romantisnya bersama Jupran.

Saya: “Walaupun Jupran dan saya sama seperti Raizza dan Mimin, tapi orisinalitas Dul saya yakini mampu membuat Jupran memiliki rasa baru.”

MALAM ITU DI MISS TJITJIH
            Zookarta adalah pementasan yang membuat saya mual mendengar dialog yang disuarakan ala teater.
Selama penggarapan Zookarta selama satu semester lebih, para aktor mampu berdialog sebagaimana penduduk Jakarta berkomunikasi. Realitas cara berdialognya membuat saya lupa bahwa teater memiliki ciri khasi dialog yang dipanjang-panjangkan atau dilebih-lebihkan.
Hari itu saat pementasan berlangsung, saya tertawa kecil melihat bagaimana para aktor tegang di belakang panggung. Biasanya saya yang berada pada posisi mereka dan mereka yang tenang di kuris penonton, kini berbalik posisi. Saya senang dan bahagia melihat mereka mampu merasakan bagaimana tegangnya belakang panggung ketika ruang pertunjukan sudah gelap.
            Sesi satu berjalan lancar dengan kehadiran dosen dan birokrat lainnya. Walaupun mereka masih merasa belum maksimal, mari kita tuntaskan pada sesi terakhir. Benar saja, pada sesi kedua ini yang ternyata undangan kebanyakan datang dari semua teman-teman Teaterin. Masing-masing aktor memilki penontonnya malam itu. Atmosfer pertunjukan lebih terasa saat sesi terakhir ini. Kedatangan penonton dari komunitas teater, alumni, dan kerabat lain membuat para aktor dan kru berusaha semaksimal mungkin menunjukan yang terbaik.
            Dan inilah pertunjukan mereka.
            Kepada kalian, aktor kesayangan saya: “Semoga kalian diberi balasan yang berlimpah dari Tuhan karena pada malam itu, kalian mampu membuat orang tertawa. Kalian mampu membuat penonton melepas semua masalahnya. Kalian mampu membantu kita semua melupakan beban. Apa yang telah saya arahkan hanyalah sebesar ujung jarum, sementara kalian membuat panggung semalam hidup sebagaimana Jakarta pada kesehariannya.
            Terima kasih telah meluangkan waktunya untuk merasakan bagaimana ketegangan seorang aktor kala pentas mendekat. Terima kasih telah meluangkan waktunya untuk mengerti sebagaimana sulit sebuah proses pementasan. Terima kasih telah menjadikan Zookarta seakan-akan pentas besar tanpa dilator belakangi sebagai pementasan mata kuliah.
            Jujur saya cemburu tidak berada di atas panggung untuk memerankan salah satu tokoh dalam Zookarta bersama kalian. Dan sekali lagi, terima kasih.”

            Kepada kalian, kru terbaik yang pernah ada: “Kita berhasil malam itu.Pertama akan saya ucapkan untuk Dinda Zoya yang pada awalnya memang saya punya feeling bahwa kamu yang akan menjadi pimpro nantinya. Dan ‘you slay it’, joy! Kalimat demi kalimat yang mengatakan bahwa kamu tidak tahu apa-apa soal produksi teater seakan-akan hanyut berganti dengan bagaimana cara kamu selalu ada untuk Teaterin dan air mata yang banyak kamu keluarkan.

            Kedua, terima kasih untuk: Bunda, Jeje, Talitha, Dania, Aya, Bayu, Adinda, Wiwid, dan Jihan. Sebagian dari kalian memang menyebalkan karena malas. Tapi entah kenapa, selalu ada rasa bahwa kalian adalah tempat saya pulang dan mengeluarkan keluh kesah selama proses berjalan. Sebagian dari kalian memang menjengkelkan karena sering bolos latihan, tapi selalu ada rasa bahwa kalian adalah keluarga sesungguhnya.
            Ketiga, terima kasih untuk Andriani, Dini, dan segenap tim property (khususnya Rama dan Rahmat) yang dengan segenap hati selama dua bulan lebih dalam liburan semester sibuk mengerjakan seluruh pekerjaan berat demi berdirinya property dalam pementasan.
            Banyak sekali ucapan terima kasih untuk seluruh kru yang bertugas. Kalian penuh keajaiban. Malas memang selalu menjadi kawan utama. Tapi pelunasan akan apa yang kalian kerjakan sehingga pementasan berjalan dengan lancar dapat menutupi kekurangan kalian. Loyalitas dari awal semester hingga pementasan berjalan seharusnya mampu membuat orang lain yang meninggi-ninggikan loyalitasnya sadar. Mohon maaf jika selama perjalanan pementasan, banyak yang kalian korbankan sehingga saya tidak tahu dan atau tidak mau tahu.
            Walaupun mungkin kalian kenyang dengan pujian, tetapi saya harus mengucapkan bahwa kalian adalah yang terbaik dalam semester ini. Kalian adalah keluarga baru bagi Teaterin yang dengan senang hati membawa pementasan menjadi sukses.
            Terima kasih.”


Kepada Pak Irsyad: “Banyak sebenarnya terima kasih yang harus saya ucapkan. Kesediaan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membantu proses terjadinya Zookarta telah dilakukan oleh orang tua yang dirasa sebagai sahabat oleh teman-teman Teaterin.”
Kepada penonton: “Terima kasih telah berbagi tawa bersama dan meluangkan waktunya untuk menonton pementasan ‘kelas’ ini. Terima kasih atas respon yang diberikan sehingga aktor dan kru tertimpa sebuah efek.”

EFEK ZOOKARTA: AZAB MAHASISWA AWAM YANG JATUH CINTA DENGAN SENI PERAN

            Malam itu setelah pementasan, saya mendapatkan banyak ucapan terima kasih khususnya dari para aktor. Malam itu setelah dialog terakhir, semua teriak dan bahagia: saya ada di tengah-tengah mereka. Semua saling berpelukan. Mata berkaca-kaca, bibir tak hentinya melengkung atas menampakan gigi-gigi dengan wajah penuh keharuan.
            Malam itu setelah pementasan, saya mendapatkan pelukan hangat dari para aktor dengan ribuan ‘terima kasih’. Saat itu, hilang perasaan over proud saya sebagai sutradara. Entah apa yang menjadi penyebabnya, saya lebih bangga melihat bagaimana mereka puas dengan apa yang mereka pentaskan. Kebahagiaan saya melonjak semakin ke atas setiap mereka tertawa dan berpelukan bersama teman-temannya.
            Iya benar, tertawa.
            “Terima kasih ya, bim” ucap banyak aktor di panggung saat itu. Tapi rasanya saya tidak terima karena harusnya saya yang mengucapkan terima kasih kepada mereka.
            Seperti biasa setelah pementasan selesai, para penonton naik ke atas panggung untuk mengucapkan selamat kepada seluruh aktor dan kru yang bertugas. Puluhan buket bunga, coklat, kudapan, dan cinderamata lain menyelimuti momen saat itu.
            Malam itu setelah pementasan, saya merasakan adanya sebuah efek yang menimpa teman-teman Teaterin secara bersamaan. Masing-masing aktor mendapatkan dialognya yang selalu diingat oleh penonton. Malam itu, efek ketagihan teater dirasakan oleh mereka.
            Hingga malam ini saya mengunggah artikel ke blog, euphoria Zookarta masih terasa di setiap grup. Efek Zookarta cukup besar. Mari kita telusuri pada hari Senin setelah semua perkuliahan berjalan sebagaimana mestinya.
Teruntuk diri saya: “Menjadi sutradara bukan berarti kamu tuhan yang mampu mengatur cerita dan menentukan jalan hidup tokoh. Kebanggan besar harus disimpan dalam-dalam dan mulailah mencari evaluasi dari mata penonton. Terapkan dan jalani kembali.”


Jakarta, 7 Oktober 2018
From love with Zookarta.

Share:
Diberdayakan oleh Blogger.