Sabtu, 16 Juni 2018

Cerpen: Mencuri Ramadan


            
Sudah lewat empat hari setelah habisnya bulan Syaban, namun Ramadan masih belum menampakkan dirinya. Seharusnya suasananya sudah terasa pada pertengahan bulan sebelumnya. Iklan sirup berseri yang biasanya menjadi pembuka suasana Ramadan juga gagal tayang di seluruh stasiun televisi. Dekorasi mal masih polos tanpa adanya bulan-bintang yang menjadi khas. Malah masih ada beberapa hiasan Imlek yang lupa dibersihkan oleh petugasnya. Sisanya hanya poster-poster promosi ponsel dan kontak lensa sebagaimana biasanya.
            Pemerintah khususnya kementerian yang menangani agama juga kalangkabut mencari dimana Ramadan berada. Semua tenaga telah dikerahkan. Mulai dari densus, TNI, polisi, Tim Pencari Fakta, dan tim lain guna menemukan dimana keberadaan Ramadan. Ahli astronomi yang biasanya mencari keberadaan hilal juga tidak melihat tanda-tanda datangnya benda tersebut. Presiden sedang melaksanakan kunjungan ke Arab guna menanyakan kabar Ramadan disana. Pernah satu hari saat ditemui, Presiden mengatakan bahwa: “Pemerintah sedang berusaha mencari keberadaan bulan yang hilang tersebut. Tunggu saja hasilnya, doakan yang terbaik. Tapi mohon maaf, subsidi beras yang seharusnya ada sementara kami pending terlebih dahulu.” Namun perhatian warga yang semula kosnumtif akan segala yang disubsidi hilang ditelan besarnya kecemasan akan bulan yang hilang tersebut.
            Empat hari sudah berlalu setelah habisnya bulan Syaban. Warga masih bingung harus berbuat apa. Kalender juga tidak menunjukan adanya bulan Ramadan setelah Syaban. Mereka kehilangan satu bulan dalam tahun Hijriyah. Anak-anak yang sudah berharap akan adanya libur di pertengahan bulan, pupus dengan sekolah yang akan penuh dilaksanakan pada bulan yang tidak diketahui namanya itu. Antara Syaban dan Syawal, namun bukan Ramadan. Sebagian warga yang sudah mebulatkan hatinya untuk meningkatkan imannya pada bulan itu juga perlahan hilang semangatnya. Sementara warga yang tidak menantikan datangnya Ramadan juga merasakan suasana hilangnya bulan tersebut. Buka puasa bersama kini hanya sekadar imajinasi yang jadwalnya terbakar kekecewaan.
Para artis yang semula berekspektasi akan kebanjiran tawaran kerja pada bulan suci tersebut malah merenung berdiam diri di kamarnya masing-masing. Perasaan kecewa yang amat dalam pastinya dirasakan oleh artis-artis yang mendapatkan hidayah untuk hijrah di tahun ini. Bayangan akan dirinya yang nanti menjadi narasumber di salah satu acara talkshow dengan membahas bagaiamana hidayah datang kepadanya kini hanya tinggal angin lalu. Materi-materi dakwah yang telah disiapkan oleh ustad dan ulama  saat tarawih maupun kajian keagamaan nanti juga kini harus terlipat rapih terselip di antara kitab-kitab di rumahnya.
Hari kelima setelah kekosongan menerpa semua lapisan masyarakat, Presiden mengumumkan bahwa Ramadan telah dicuri. Setelah kunjungannya dari Arab, ia pun juga mendapati bahwa Ramadan hilang di seluruh penjuru negeri. Ramadan telah dicuri. Pasukan bertambah. Kini FBI pun ikut mencari pelaku pencurian bulan Ramadan. PBB selaku organisasi yang menaungi telah mendeklarasikan bahwa tahun ini, Ramadan harus tetap ada walaupun mundur. Pencuri itu harus dicari dalam waktu yang singkat. Siapapun pencurinya akan dihukum seberat-beratnya.
Hadiah yang sangat besar juga akan diberikan kepada siapapun yang mampu menangkap maupun merebut kembali Ramadan dari pencurinya. Selain hadiah uang, orang itu juga akan dijadikan sebagai pahlawan dan mendapatkan nobel tahun ini. Monumen juga akan dibangun di depan kantor kejaksaan Mesir bagi siapapun yang berhasil menemukannya. Dalam hal ini, masyarakat dunia yang sungguh-sungguh konsumtif sangat melupakan hadiah tersebut. Mereka tidak memedulikan hadiah apa yang akan diberikan dan berapapun jumlahnya. Yang mereka harap adalah kembalinya bulan suci itu agar mereka dapat melaksanakan semua rencana yang telah mereka buat sebelumnya.
Seluruh makam di dunia basah. Jutaan mayat di kuburan menangis akibat tidak ada satupun keluarganya yang ziarah sebelum Ramadan datang. Tanahnya bau tanpa adanya air mawar tersiram diatasnya. Coklat pekat tanpa adanya taburan kembang yang menghiasi. Nisannya pucat berlapis debu. Rerumputan liar menjadi teman saat itu.
 Jutaan ibu juga menangis tidak bisa melihat anak-anaknya yang baru tumbuh belajar berpuasa. Tidak bisa melihat anak-anaknya yang baru tumbuh mengkhatamkan Al-Qur’an. Jutaan yatim-piatu bersedih akibat tidak adanya sumbangan bakti sosial yang biasanya diadakan oleh para mahasiswa. Panti asuhan menjadi kering.
Empat belas hari berlalu, pencuri bulan belum juga tertangkap. FBI yang notabene bukan umat Muslim semakin lama makin jenuh. Namun mengingat saudara-saudara mereka membutuhkan bulan tersebut, mereka tekad untuk tetap mencari bulan penuh cinta. Mereka mengingat sanak saudaranya yang telah merencanakan kelahiran jabang bayi pada bulan tersebut. Jika bulan itu belum juga ditemukan, lantas bagaimana mereka yang telah berencana?
Sudah hampir satu bulan berjalan. Seharusnya ini merupakan hari-hari penantian malam Lailatul Qadar. Seluruh negara di penjuru dunia semakin hitam tanpa adanya Ramadan. Peperangan berhenti. Pesta berhenti. Kudeta tersendat. Korupsi hilang. Ramadan pun belum ditemukan.
Namun, hari berikutnya dunia dikejutkan dengan satu kejadian aneh di salah satu sel penjara di sebuah negara. Terlihat sinar terang dari dalam sel tersebut yang memancar menuju langit sehingga semua warga dunia mampu melihatnya—tidak terkecuali yang letakanya berseberangan. Sipir-sipir yang berjaga di penjara tersebut hendak menghampiri penghuni sel. Namun karena terangnya sinar tersebut, mereka kesulitan menemukan tempatnya.
Sesaat setelah sinar tersebut bersahabat, mereka masuk—sipir, Presiden negara setempat, dan ahli agama. Ditemukannya satu orang anak berumur sekitar enam tahun dengan seragam penjara sedang duduk di atas sajadah. Sontak mereka terdiam sejenak, melihat sesuatu yang tidak asing sedang duduk nyaman di samping anak tersebut.
“Kamu mencuri Ramadan!” kata Presiden.
Namun anak itu hanya menggeleng. Ia melihat orang-orang yang lancang memasuki sel-nya dengan tenang.
“Darimana kamu mendapatkannya?” Tanya salah satu dari mereka.
“Ia datang kepada saya. Duduk bersama saya di samping sajadah.” Jawab anak tersebut sambil mengelus penuh cinta pada Ramadan.
Tanpa lama-lama, orang-orang tersebut hendak merebut Ramadan darinya. Namun anak itu berteriak, “jangan! Ia suci!”
Mereka terdiam.
“Enyahlah kalian orang-orang yang menunggu Ramadan hanya untuk sebuah ajang!”
Kemudian anak itu hilang bersama sel-nya.
___

Jakarta,
1 Syawal 1439 H


Share:
Diberdayakan oleh Blogger.