Sabtu, 05 Oktober 2019

Cerpen: Penulis Babon


 Kembali lagi bertemu dengan Penulis Babon yang hari ini sebenarnya bingung ingin cerita apa. Saya sedang duduk sendirian di sebuah kedai kopi yang konon katanya memang markas para penulis ulung. Duduk di meja kayu dengan latte di samping laptop—jangan lupa headset yang terpasang di kuping yang sampai kalimat ini dimulai, belum ada lagu yang dipasang. Yang penting saya sedang menulis karena saya adalah Penulis Babon.
            Hari ini cuaca sangat panas. Banyak teman-teman saya di Twitter mengeluhkan tentang suhu yang bisa membuat kulit mereka (katanya) terbakar walaupun sudah menggunakan tabir surya. Kebanyakan perempuan. Tapi beberapa teman lelaki yang membalas cuitannya juga tidak jarang. Menerangkan tentang betapa besaran SPF yang tertera, merek yang digunakan, hingga beli dimana, promo berapa, dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah: kenapa saya menyimak percakapan tersebut padahal tidak berkaitan dengan kegiatan saya hari ini. Saya kan sedang menulis, karena saya adalah Penulis Babon.
            Tiga tahun lalu saya menerbitkan sebuah kumpulan cerpen yang setiap harinya saya ketik di komputer kantor. Berhubung saya anak magang yang waktu luangnya amat banyak, jadi saya gunakan waktunya untuk membuka aplikasi penulisan dan mulai mengarang semua cerita sesuka hati saya. Selama sebulan masa permagangan itu, sekitar delapan belas cerpen sudah saya selesaikan berdasarkan apa yang saya alami sepanjang perjalanan dari rumah menuju kantor. Tentang jembatan, tentang ibu yang berdandan menor, tentang banci yang tergeletak di pinggir jalan, dan lain sebagainya. Semakin membuktikan bukan kalau saya adalah penulis, karena saya adalah Penulis Babon.
            Setelah buku itu terbit, saya jajakan kepada teman-teman terdekat di kampus dan kantor dengan harga sewajarnya sebuah buku mahakarya penulis ulung. Tebalnya standar, sampulnya menarik, dan jangan lupa laminating doff yang membuat bukunya terkesan elegan kata penerbitnya. Padahal saya lebih suka yang mengkilap agar sama seperti sampul majalah. Tapi tak apa, keberhasilan seorang penulis kan juga harus seimbang dengan nasihat penerbitnya.
            Lumayan laris keras di kalangan teman-teman kampus khususnya kelompok-kelompok penikmat sastra. Beberapa kali buku saya diulas di sebuah forum dan mendapatkan beberapa pujian. Ada kritikan tapi hanya beberapa. Katanya tulisan saya ini masih berjalan lurus sebagaimana sinetron di televisi. Ada juga yang mengatakan kalau tulisan saya ini ramah anak alias cocok dibaca oleh anak-anak. Ada-ada saja teman-teman sastra ini. Membuat saya semakin bahagia karena setidaknya mereka membaca adikarya saya ini, sebab saya adalah Penulis Babon.
            Nah, jadi begini pembaca sekalian. Sampai di kalimat ini, belum ada satu cerita fiksi yang saya ceritakan kepada kalian. Saya masih duduk di kursi kedai kopi dengan latte yang tinggal setengah gelas. Sudah saya snapgram gelasnya, lengkap dengan lokasi. Padahal tadi di rumah, saya terpikir untuk membuat cerita tentang naga dan presiden.
            Jadi begini, ada naga berwarna ungu yang bertemu dengan presiden kala kunjungan ke salah satu hutan di pulau Kalimantan. Awalnya, naga itu takut dengan presiden. Pun presiden, sama takutnya dengan naga. Tapi setelah sampai sini, saya bingung kenapa naga harus bertemu dengan presiden? Padahal jutaan rakyat di luar sana yang hendak bertemu. Aneh, pikiran saya pelan-pelan politis sekarang. Padahal saya hanya ingin dikenal sebagai penulis: Penulis Babon.
            Tapi kemarin saya membaca sebuah novel yang katanya mampu mengubah sistem Pendidikan di Jepang: Totto Chan. Bagus sekali ceritanya, tentang anak nakal yang belajar di sekolah dengan pengajaran yang asyik. Tapi saya tidak suka akhir ceritanya, saya tidak rela sekolah itu terbakar. Kasihan Totto Chan. Kasihan kepala sekolah. Tapi saya suka bukunya. Ya, kurang lebih buku-buku seperti ini yang saya sukai.
            Kembali saya sedot latte yang masih terisi setengah gelas di samping laptop. Tenang saja pembaca, sebentar lagi saya akan menulis. Saya hanya butuh waktu saja. Penulis ulung saja kadang memiliki kebuntuan dalam menuliskan ceritanya. Saya juga mau menjadi seperti penulis ulung itu. Harus merasakan masa-masa buntu dalam menuliskan cerita. Sebentar saja, tidak lama. Mumpung kopinya belum habis dan lagunya masih berputar.
            Tapi, pukul delapan malam nanti saya harus datang ke pernikahan sahabat saya. Jadi waktu saya untuk menulis tinggal beberapa jam lagi. Apa saya harus teruskan saja cerita tentang presiden dan naga? Tapi itu tidak masuk akal, Sebentar pembaca, lagu yang diputar di ponsel saya sama dengan lagu yang diputar oleh barista. Saya matikan dulu yang ada di ponsel saya kemudian saya dengarkan yang diputar oleh barista. Iya, lagunya sedang menggambarkan suasana hati saya. Tentang bagaimana saya ditinggal nikah oleh sahabat saya yang jam delapan malam nanti harus saya hadiri undangannya.
            Sudah lama saya menaruh hati dengannya, tapi saya tidak berani ungkapkan. Habis, dia ini wanita yang utuh. Lulus kuliah dalam waktu tiga setengah tahun dengan indeks prestasi yang membanggakan. Setiap bulan ada saja piala yang dia pamerkan di Instagram. Bukan hanya piala, sering juga ia berfoto dengan selempang selayaknya putri kontes kecantikan. Utuh. Sementara saya hanya seorang penulis. Walaupun saya ini Penulis Babon yang dikenal banyak orang karena buku kumpulan cerpen yang saya terbitkan, tapi ini tidak sebanding dengan pencapaiannya.
            Ia merupakan sahabat saya sejak SMA. Berawal dari teman kerja kelompok, ia selalu bercerita tentang cita-citanya untuk menjadi Menteri Kelautan. Pun saya juga bercerita ingin menjadi seorang sastrawan. Tapi responnya tidak sebangga saya saat ia menceritakan cita-citanya. Ia bilang seperti ini kurang lebih, “sebaiknya menjadi sastrawan kamu jadikan hobi, selain itu kamu harus punya profesi tetap seperti saya.” Pada saat itu saya goyah dengan cita-cita saya menjadi sastrawan dan mengatakan padanya kalau saya ingin menjadi rektor di sebuah kampus seni. Kemudian ia tersenyum bangga mendengarnya namun masih tidak sebangga saya ke dia.
            Hanya semakin lama saya semakin menikmati kegiatan menulis sehingga teman-teman menjuluki saya sebagai penulis hebat dan memberikan gelar Penulis Babon kepada saya. Membuat saya semakin yakin kalau sastrawan adalah masa depan saya. Dari sini, saya semakin ragu untuk mengatakan isi hati saya kepadanya karena ia menganggap bahwa sastrawan adalah hobi, bukan pekerjaan. Sementara hari ini, ia telah melantunkan akad dengan suaminya yang merupakan anak dari pemilik penerbit buku besar di Indonesia dan saya hanya seorang Penulis Babon.
            Kira-kira begitu pembaca yang budiman.  Sebentar, saya harus membalas Whatsapp dari teman saya, Wejang. Ia adalah seorang mahasiswa ekonomi tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi. Katanya, dua minggu ke depan ia akan menjalani sidang. Bukan sidang skripsi, tapi sidang tilang untuk mengambil kembali STNK yang ditahan polisi dua hari lalu karena ia menerobos lampu merah di perempatan menuju Blok M.
            Ternyata ia hanya menanyakan keberadaan saya. Ia bosan di rumah katanya. Saya ajak saja untuk menemani saya menulis di sini. Tapi ia alergi kopi. Katanya setiap masuk ke ruangan yang penuh dengan biji kopi, punggungnya akan gatal-gatal di malam hari. Tidak tega juga saya memaksa. Akhirnya ia mengajak saya ke sebuah taman kota dan mencoba skuter elektrik dari salah satu startup transportasi yang sedang naik daun di kota. Berhubung otak saya sedang buntu ingin menulis apa, saya iyakan saja ajakannya.
            Baiklah pembaca setia, saya pamit undur diri. Walaupun tidak ada cerita yang saya tuangkan sebagai calon mahakarya, tapi kalian harus tetap ingat bahwa saya adalah penulis, Penulis Babon. Buku saya tidak ada di toko, jadi kalau mau beli silakan hubungi saya. Nanti saya pinjamkan, karena sudah tidak cetak lagi.
            Tabik!

Kedai Kopi Mura,
5 Oktober 2019

Share:
Diberdayakan oleh Blogger.