Senin, 12 November 2018

Cerpen: Sebelas Rupiah


Hari ini tiket bioskop hanya seharga sebelas rupiah. Nominal yang sangat murah ketimbang hari biasa yang bisa mencapai 50—75 ribu—kebetulan hari ini juga hari Minggu. Semua orang berebut mendapatkan kuota nonton dengan harga gila tersebut. Murah memang status yang selalu diburu.
            Tapi siang ini, saya memikirkan sesuatu yang amat jauh lebih murah daripada sebelas rupiah. Seminggu lalu, Kotak—teman sekelas saya cerita tentang keluh kesahnya terhadap satu komunitas yang ia jalani. Saat itu, Kotak dan teman-temannya sedang berada dalam satu lingkarang besar. Pada momen itu, mereka didaulat sebagai peserta diskusi santai yang nantinya akan membahas kinerjanya selama beberapa bulan kemarin.
            Sebelum itu, saya juga merupakan salah satu pemburu tiket bioskop sebelas rupiah itu. Pergi ke minimarket guna isi saldo untuk transaksi di aplikasi startup sebagai media pembayaran tiket tersebut. Selang lima menit, kuota penontonnya sudah habis. Saya kira awalnya juga sia-sia, tapi hari Rabu nanti masih ada promo buy 1 get 1. Jadi bisa dibilang, saldo yang saya isi bisa untuk hari esok.
            Tapi, pesan masuk dari Kotak di ponsel saya. Isinya hanya sebuah pesan terusan tentang bahaya mabuk dengan air rebusan pembalut. Saya sudah baca artikelnya semalam. Seminggu lalu saat Kotak berkumpul dengan komunitasnya, ia berkata kepada saya bahwa hal paling murah di muka bumi ini adalah permintaan maaf.
            Yang saya ceritakan disini mungkin hanya sebagian karena saya tidak berada di lingkaran itu sebagaimana Kotak. Katanya, pada diskusi itu, teman-temannya banyak yang meminta maaf atas kesalahan dan kelalaiannya selama masa menjabat. Awalnya Kotak terharu dan tersentuh karena orang-orang di lingkaran itu dengan rendah hati mau mengungkapkan permintaan maaf atas kesalahannya. Tapi, yang saya tangkap justru semakin lama permintaan maaf semakin murah. Kotak dalam pertengahan cerita menunjukan kekesalannya karena ia merasa aktif dalam komunitasnya. Memang sebagai sahabat, saya melihatnya sebagai pribadi yang ulet dan rajin dalam menangani kegiatan di komunitasnya.
            Dalam lingkaran itu, ia melihat kawanannya menceritakan alasan kelalaian mereka dalam bekerja di komunitasnya. Bahkan ada yang sampai menangis tersedu-sedu sehingga Kotak tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkannya. Namun, seperti ada formasi di dalamnya. Setelah mereka menceritakan alasan, kata terakhir dalam setiap penyampaiannya adalah meminta maaf. Dalam hal ini, Kotak benar-benar menunjukan kemarahannya pada saya.
            “Mudah sekali mereka minta maaf, kalau benar adanya salah kenapa tidak langsung diperbaiki saat itu juga?”
            Ia juga mengeluarkan kalimat yang seakan-akan mendidik saya untuk tidak menggunakan forum semacam itu untuk ajang minta maaf karena akan menjadi kebiasaan yang buruk bagi setiap anggotanya. Saya pun berpikir demikian, kalau sebuah forum dibuat untuk ajang minta maaf, maka berbuat salah bisa dilakukan kapan saja dan sebebas mereka karena mereka beranggapan akan ada saatnya untuk meminta maaf secara massal.
            Terlihat bukan, sebelas rupiah masih terbilang cukup mahal dibandingkan meminta maaf atas apa yang telah diperbuat selama hampir kurang lebih setengah tahun. Kotak tidak memberitahu kepada saya kelalaian mereka, namun tampaknya ada sebuah penyesalan akan loyalitasnya di komunitas tersebut jika melihat teman-temannya hanya sekadar mengucapkan maaaf, kemudian semuanya menebarkan cintanya kembali dan menghapus kesalahan mereka selama setengah tahun tersebut.
            Sambil melihat isi cuitan di Twitter, akun sahabat saya yang bernama Bulat muncul dengan cuitannya yang menuntut perbaikan layanan di akun kereta listrik. Sudah dengan panjang lebar ia menuliskan protesnya ditambah emoticon yang turut mendukung emosinya, namun admin akun tersebut hanya membalasnya dengan permintaan maaf dan misi untuk memperbaiki layanannya tanpa ada informasi detil.
            Melihat kejadian ini, seakan-akan permintaan maaf malah hanya dijadikan untuk salam pembuka. Kasihan Bulat yang kemarin sore dilecehkan di dalam kereta. Lubang pantatnya disodok atau mungkin tersenggol gagang payung seorang laki-laki paruh baya. Namun yang ia dapat adalah permintaan maaf yang hanya berbunyi “eh maaf maaf”.
            Mempelajari kedua hal ini, saya jadi berpikir kembali dalam bertindak. Dulu ketika masih di masa ‘mengaji pukul empat’, saya diajarkan untuk berperilaku yang baik. Benar juga kata Pak Ustadz, kalau bertindak baik pasti akan menghasilkan kebaikan juga.
            Tapi, saya lebih tertarik pada masalah yang diceritakan si Kotak. Memang pada masa seperti ini, sebagai seorang mahasiswa saya merasakan betul orang-orang yang sibuk dalam menangani banyak organisasi namun tidak bisa menangani kinerjanya.
            Tahap evaluasi yang seharusnya dijadikan catatan perbaikan untuk kegiatan kedepan malah dijadikan ajang minta maaf. Kotak juga mengatakan kepada saya kalau maaf yang dikemukakan mereka juga memiliki level: maaf dengan alasan, maaf dengan tangisan, dan maaf mengakui kesalahan. Tapi dari ketiga level ini, solusinya sama: dimaafkan.
            Kalau begitu, saya turut prihatin dengan Kotak yang sudah merelakan waktunya dua puluh empat jam untuk dedikasi di komunitasnya. Sayang sekali, Kotak ini orangnya jenaka—tidak pernah dianggap serius oleh teman-temannya. Jadi kalau Kotak ingin ikut-ikutan bersedih seperti teman-temannya, itu malah hanya dijadikan bahan candaan.
            Tapi beruntungnya, Kotak bisa mendapatkan kesempatan untuk nonton di bioskop seharga sebelas rupiah hari ini.

Jakarta, 12 November 2018
01.44 WIB
           

Share:
Diberdayakan oleh Blogger.