Minggu, 12 Mei 2019

Cerpen: Ibu Belum Sempat Mencoba Bakpia Kukus


Dahinya berdarah kemasukan pecahan piring yang dilempar kakak kandungnya sendiri. Malam itu, pertengkaran hebat berlangsung hanya karena perkara ikan yang tidak tersisa di atas piring di dalam lemari makanan.
            “Perut yang punya bukan lu doang!”
            Di belakang pintu, Ibu hanya meraung-raung memohon sudah atas keributan yang terjadi. Kedua anaknya tidak peduli raungan tersebut. Yang ada teriakan semakin menjadi.
            “Ibu gak masalah kalo gak makan, masih bisa besok,” rayu ibunya dengan maksud untuk menenangkan kedua anaknya.
            Sudah dasarnya kedua bocah tersebut sama-sama keras kepala. Teriakan tiada henti saling menyalahkan. Apalagi sudah dalam fase kekerasan yang dilakukan si Kakak dengan memecahkan piring ke tembok, namun pecahan kecil mampir menusuk dahi si Adik.
            “Gak bisa bu! Ibu seharian kerja keras Cuma buat empanin ini orang. Tapi dia sendiri gak bisa hargain usaha ibu,” bela  si Adik yang tangannya masih menutupi lubang tempat pecahan piring bertengger basah dengan darah.
___
            Dini hari sebelum awan berwarna ungu terang, Ibu sudah pergi ke pasar membantu para penjual merapikan dagangannya. Karung-karung sayuran harus diangkut Ibu dari truk ke lapak dengan tubuh yang sudah tidak tegap lagi. Beberapa penjual kasihan dan meminta Ibu untuk berhenti bekerja karena mereka menganggap bahwa ini sebenarnya pekerjaan yang harus dilakukan oleh lelaki berbadan kekar. Tapi ibu selalu bilang kepada mereka kalau ia sanggup. Lagipula Ibu mau dibayar setengah harga dibanding kuli-kuli tersebut.
            Selepas selesai pekerjaannya mengangkut sayur-sayuran ke beberapa lapak di pasar, Ibu melanjutkan pekerjaannya dengan berjalan kaki menuju rumah seorang penjual properti di komplek sekitar. Di sini, Ibu hanya membantu mencuci pakaian, menyetrikanya, dan tak jarang harus melindungi diri dari nafsu majikannya setiap hari Rabu dan Jumat.
            “Masih mens gak?” pernah majikannya bertanya seperti itu.
            Ibu tahu dan paham akan maunya si majikan. Tapi ia selalu memiliki usaha keras untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Keinginan untuk berhenti selalu tersirat di pikirannya, tapi kebutuhannya untuk keluarga lebih ia utamakan. Ibu selalu percaya bahwa ia dapat melindungi dirinya dari majikan mesum tersebut, dan dapat menjaga rahasia mesum majikannya dari sang istri.
___
            Malam itu setelah pertengkaran hebat perkara ikan yang tidak tersisa, Adik berbicara kepada Ibu bahwa suatu hari ia akan membawanya pindah dan menjauh dari Kakak yang menurutnya menjadi parasite di rumah ini. Di usia produktifnya, Kakak justru tidak memiliki usaha untuk bekerja membantu Ibu. Sementara Adik yang masih memiliki waktu satu tahun lagi untuk lulus dari sekolahnya sudah matang memikirkan masa depan.
            “Terus nanti Kakak kamu siapa yang urus?” tanya Ibu.
            “Ya biar dia urus diri sendiri. Bu, dia udah gede. Harusnya dia lebih dewasa dari saya.”
            Ibunya termenung. Sebrengsek apapun Kakak, ia masih anak kandungnya.
            “Kakak kamu cuma belum bisa ambil keputusan. Tunggu aja, pasti ada perubahan.”
            “Ya tapi, bu…”
___
            Empat tahun berlalu setelah Adik lulus dari sekolahnya. Kini ia berada di salah satu dorm di Yogyakarta. Bekerja sebagai konsultan acara hiburan agensi ternama di Indonesia. Kepulangannya ke rumah tidak menentu. Bahkan sekarang ia tidak pernah berpikir untuk pulang. Perkataan Ibu yang bilang kalau Kakak akan berubah ternyata tidak terwujud. Hubungan Adik dengannya semakin parah.
            Pernah suatu hari ia mendapati surat tanah rumahnya hilang. Tak disangka Kakak menggadainya dengan imbalan uang tak lebih dari lima juta. Hal kelewatan ini membuat Adik semakin geram, sementara Ibu hanya bisa menangis pilu dengan kelakuan anaknya. Empat tahun berlalu ini tidak membawa perubahan terhadap pekerjaan yang Ibu lakukan.
            “Kapan pulang?” tanya Ibu melalui telepon.
            “Sampai Kakak gak di rumah, saya pulang.”
            Ibu hanya diam mendengar perkataan Adik. Nafas panjang Ibu terdengar melalui teleponnya. Membuat adik merasa menyesal dengan perkataannya barusan.
            “Ibu ikut saya aja ya, Tinggal di Jogja,” rayunya.
            Diam kembali menyelimuti Ibu. Ia memikirkan rumah yang dibangun bersama mendiang suami. Tak terbayang jika rumah itu akan ditempati Kakak yang tidak kemungkinan besar akan dijual dalam waktu dekat atau lama.
            “Ibu cuma mau kamu pulang. Uang yang kamu kasih ke Ibu belum habis, gak usah dikirim lagi.”
            “Gapapa bu, itu kan udah jatah ibu dari saya.”
            “Ibu gak mau! Ibu cuma mau kamu yang disini, bukan uangnya.”
            Adik terdiam. Berpikir sejenak. Pekerjaannya tidak bisa ditinggal. Nominal imbalannya sangat besar. Tidak mungkin ia meninggalkannya hanya untuk pulang dan bertengkar dengan Kakaknya. Buang-buang waktu. Tapi di sisi lain ada Ibu yang merindukannya.
            “Besok saya kirim uang buat Ibu beli tiket kesini. Ibu beres-beres barang ya,” rayu Adik.
            “Pulang nak!”
            Suara isak tangis ibu yang membujuk Adik untuk pulang terdengar pedih melalui saluran telepon. Adik berpikir kembali untuk meninggalkan pekerjaan mahalnya. Kemudian ia tutup teleponnya dengan menjanjikan keputusannya untuk pulang kepada Ibu nanti malam.
            Di rumah, Ibu memandang layar televisi yang menyala dengan tatapan kosong. Memikirkan Adik yang sudah dirindunya dari lama. Kiriman uang, pakaian, dan perabotan rumah yang dikirim Adik dirasa tidak cukup tanpa kehadirannya di rumah. Walaupun tiap hari Kakak selalu merepotkannya dengan meminta uang untuk rokok dan keperluan lain yang tidak penting seperi tas pinggang seharga enam ratus ribu, namun hal itu tidak dirasa susah oleh Ibu karena masih tertutup oleh rasa rindunya kepada Adik.
            Terakhir kali Adik pulang tahun lalu memang timbul kembali pertengkaran hebat antara Kakak dan Adik. Sepulangnya dari pekerjaannya di Bandung,  ia mendapati lemari es yang dibelinya sebagai kado ulang tahun Ibu tidak ada di dapur. Ternyata barang tersebut ditukar oleh Kakak dengan kaos bola seharga kurang dari lemari es tersebut. Seluruh perabotan di lemari piring keluar untuk baku hantam satu sama lain. Parahnya, kali ini kaki ibu memar karena hantaman cobet yang dilempar Kakak.
            Setelah itu, Adik melempar seluruh uang tunai yang ada di tasnya tepat di depan wajah Kakak dan menyuruhnya untuk pergi dari rumah. Betul saja, malam itu Kakak pergi. Namun keesokan paginya ia ditemukan tidur pulas di depan pintu rumah dengan botol minuman keras yang digenggamnya.
___
            Delapan bulan setelah pekerjaan Adik selesai, ia memutuskan untuk cuti dan pulang ke rumahnya walaupun dengan berat hati. Ibu minta dibawakan bakpia kukus. Maka Adik belikan dari Yogyakarta khusus untuk Ibu. Satu kebetulan Ibu minta dibelikan sesuatu. Biasanya ia selalu menolak jika Adik menanyakan oleh-oleh untuknya.
            “Kakak di rumah, bu?” tanyanya lewat telepon sesampainya di bandara.
            “Baru aja keluar, katanya mau ke rumah temannya.”
            Niat adik yang perlahan ia bangun untuk mengatakan sesuatu ke Ibu membuat jeda antara percakapan mereka di telepon.
            “Bu, saya sudah sewa apartemen. Gak jauh dari rumah. Setelah saya sampai rumah, kita pindah ya, bu. Ibu beres-beres barang yang mau dibawa aja. Gak usah semua.”
            Setelah dialog tersebut, Ibu langsung menutup teleponnya. Adik memanggil-manggil namun tak ada jawaban. Segeralah ia berjalan keluar menuju taksinya pulang ke rumah.
            “Apartemen ya pak, ini alamatnya.”
___
            “Kamu dimana? Kok belum sampai rumah? tanya Ibu khawatir.
            “Bu, saya di apartemen masih beres-beres barang.”
            “Harusnya kamu pulang ke rumah dulu.”
            “Iya saya tahu, tapi barang saya banyak. Saya gak mau rebut di rumah sama Kakak kalo bawaannya ribet begini.”
            “Kalau gitu Ibu pamit ya.”
            Sekejap dadanya mendadak sesak. Mencerna perkataan Ibu yang memhuat sejuta tanya. Ia mencoba memanggil-manggil Ibu dari teleponnya tapi mulutnya tak kunjung bergerak. Ia tutup teleponnya dan berlari menuju bungkusan bakpia kukus yang ia beli untuk Ibunya. Namun tersadar kalua bungkusan tersebut ternyata masih tertinggal di kursi belakang taksi yang ditumpanginya tadi.
            Air mata bercucuran membasahi wajahnya. Ia berusaha berpikir untuk mengganti bakpia kukus tersebut dengan kue lain. Tapi kata-kata Ibu terus terngiang meminta bakpia kukus kepadanya yang sangat jarang dilakukan. Dengan penuh pertimbangan dan rasa gengsi, ia telepon Kakak dan bertanya keberadaannya sekarang.
            “Di kantor RT lagi urus surat kematian.”
___

Jakarta, 12 Mei 2019



Share:
Diberdayakan oleh Blogger.