Masih duduk di mejanya, pina colada yang ia pesan dua jam lalu. Matanya terus memandangi tebing yang menyelimuti lautan Perissa. Tatapannya kosong, padahal banyak orang berlalu-lalang mengitari matanya, banyak angin menghembus rambutnya, banyak air yang menunggunya menenggelamkan diri untuk melupakan apa yang ia rasakan enam hari belakangan. Perissa akan menjadi pantai terakhir yang akan ia kunjungi sepanjang hidupnya. Sudah tidak mau lagi ia menginjakkan kakinya di pasir-pasir lembut ataupun batuan pesisir yang biasanya didambakan banyak manusia.
Dari tatapannya yang kosong, pikirannya ramai merayakan memori manis yang ia alami seminggu ini di Santorini. Walaupun hari terakhir ia duduk seorang diri di bawah tenda bambu di pinggiran pantai Perissa, enam hari sebelumnya, ruang hatinya penuh dengan kisah dari satu orang yang bersamanya sepanjang pulau. Santorini menjadi tanah yang dipijaknya berdua dengan seorang lelaki yang sudah dikenalnya enam bulan lalu, Callum—sosok yang hadir di tengah rasa kehilangan mendalam akan mantan kekasihnya. Untuk menghormati perasaannya, kisahnya bersama si mantan akan dibungkam sepanjang cerita ini. Mari kita bahas tentang malam-malam indah bersama Callum.
Perjalanannya dengan Callum sudah mereka rencanakan sejak dua bulan lalu, saat ia akhirnya mendapat promosi atas kedudukannya di kantor. Ia mengajaknya merayakan momentum itu dengan mengunjungi suatu tempat yang paling ia benci. Awalnya ia bingung, untuk apa pergi ke suatu tempat yang tidak akan ia sukai. Namun begitulah cara Callum membuatnya jatuh hati, pikirannya selalu berbeda dan sering membuatnya bertanya-tanya.
“Kenapa kamu membenci Santorini?” tanya Callum yang matanya tidak lepas dari memandanginya sejak bangun tidur.
“Aku benci romansa. Pulau yang selalu menjadi tujuan orang bercinta, bulan madu, merayakan selebrasi percintaannya.”
Callum hanya tersenyum. Mengerti apa yang ia maksud dengan romansa-romansa picisan yang diglorifikasi manusia. Namun Callum melihatnya dengan cara yang berbeda. Ia melihatnya dengan cinta. Selebrasi apapun yang dirayakan kebanyakan insan di suatu tempat merupakan penghormatan atas perasaan cinta yang selama ini mereka bangun bersama. Saat itu pendapatnya tidak ia utarakan Ia tetap tersenyum memandangi matanya yang tidak terlepas sejak tadi hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berangkat ke Santorini.
Kisahnya berawal di Fira, ibukota Santorini yang padat dengan bangunan-bangunan cantik khas pulau tersebut. Betul anggapannya akan banyak pasangan yang bercumbu, berpelukan, dan saling melontarkan kata-kata cinta di sana. Walaupun ia pergi dengan Callum yang lengannya selalu siap merangkulnya setiap saat, namun kebenciannya akan Santorini masih belum berubah.
“Mereka manis,” kata Callum memandangi satu pasangan yang sedang bercanda bersandar di antara toko-toko souvenir di Fira.
“Iya, karena mereka utuh,” balasnya.
Callum langsung memandanginya dengan tatapan maaf. Merasa sedikit kecewa dengan apa yang diucapnya saat itu. Ia pun juga merasa bersalah mengucapkan hal tersebut. Pikirannya dipenuhi dengan penyesalan setelah melihat wajah Callum yang berusaha tenang.
“Maksud saya..”
“Tidak apa. Saya tidak akan melihat pasangan-pasangan lain di sini. Kamu fokus saya sekarang,” jelas Callum kepadanya.
Kalimat itu yang selalu terngiang. Kalimat yang selalu membuatnya merasa tidak percaya bahwa Callum merupakan manusia nyata yang hadir di hidupnya. Ia sadar bahwa ia bukanlah orang yang sempurna. Ia sadar bahwa ia bukanlah orang yang berhak mendapatkan Callum. Namun Callum selalu membuatnya merasa hidup dengan tiap kalimat yang keluar dari mulutnya.
“Dari semua yang sudah dikunjungi, pantai mana yang paling kamu suka?” tanyanya saat menunggu matahari terbenam di Oia.
Seperti biasa, Callum akan menatap matanya dalam dengan senyum bulan sabit merahnya lalu berucap, “saya suka kamu seribu kali, berarti pantai-pantai itu ada di urutan setelahnya.”
Hati siapa yang tidak berdegup mendengar hal tersebut. Walaupun sudah tak terhitung berapa ratus kali Callum mengucapkan kalimat-kalimat manis seperti itu, namun perasaannya tetap sama ketika ia pertama kali menyuarakannya. Selain tersipu, ia masih belum mendapatkan jawaban yang diinginkan. Ia tanyakan sekali lagi tentang pantai hingga akhirnya Callum menyebutkan satu nama.
“Semua pantai di Santorini,” katanya.
Ia mencerna jawaban Callum. Padahal selama beberapa hari itu, hanya dua pantai yang mereka kunjungi. Wajahnya terpasang ekspresi tanya yang langsung membuat Callum sadar untuk memberikan alasannya.
“Karena saya mengunjungi pantai-pantai lain tanpa kamu.”
Lagi. Satu kalimat sampah dari Callum yang rasanya manis sekali. Seperti biasa, ia tersipu untuk kesekian kalinya hingga memutuskan untuk tidak mendiskusikan persoalan pantai dengan Callum.
Sore itu di Oia, mereka menunggu matahari terbenam. Sebagaimana pusat wisata pada umumnya, Oia ramai pengunjung. Setiap ujungnya selalu penuh dengan antrean orang-orang yang hendak berfoto. Benar saja pikirnya, akan banyak pasangan yang merayakan cinta di sana, mengabadikan momen percintaannya di komplek hotel yang cantik itu.
“Benar saja, banyak pasangan di sini. Sok romantis” katanya.
Dengan tatapan lembutnya, Callum meraih satu persatu jari-jarinya. Digenggam tangannya tanpa mengalihkan pandangannya dari mata yang selalu ia tatap itu.
“Menurutmu, kita pasangan atau bukan?”
Pertanyaan itu yang membuat otaknya berhenti bekerja. Tiba-tiba ribuan hal berputar di pikirannya, mencari jawaban tepat yang tidak merusak perasaan Callum, tidak membuat efek berlanjut, dan tidak menimbulkan ekspektasi.
“Tidak usah dijawab,” lanjut Callum.
Mataharinya perlahan terbenam. Memancarkan cahaya jingga yang menyebar di sekeliling langit Santorini. Mata Callum yang terpaku kuat di matanya kini beralih memandang paparan langit dari puncak tertinggi Oia. Begitupun dengan ia yang sebelumnya dibuat mati kutu dengan pertanyaan Callum, kini bergabung dengan Callum yang sedang asyik menikmati lembutnya warna langit kota itu. Kebenciannya dengan Santorini memang masih tersimpan, apalagi dengan dilihatnya banyak pasangan yang mengumbar-umbar cinta di sana. Namun hatinya tidak bisa dibohongi. Keindahan panorama matahari terbenam di Oia memang sesempurna itu. Tumpukan bangunan putih-biru yang saling merekat membuat puncak Oia terlihat tenang.
Saat ini mereka berdua memandangi matahari terbenam—dengan ribuan pasangan lain yang sedang merayakan cinta di sana. Semuanya hening—hanya mata yang menjadi indera satu-satunya yang bekerja. Perasaan bencinya akan Santorini tertutup semakin gelap dengan dilihatnya momen matahari terbenam itu. Hatinya tidak lagi memikirkan pasangan-pasangan basi cinta yang ia hindari di pulau ini. Di pikirannya hanya ada ia, Santorini, dan matahari. Matanya berbinar memantulkan awan keunguan yang sedang disaksikannya saat itu.
Tenggelamlah matahari Santorini. Pandangannya kini berpaling ke orang yang berdiri di sampingnya sejak matahari bersiap untuk tidur.
“Cantik, ya?” tanyanya.
Callum hanya tersenyum, memandanginya seperti biasa.
“Cantik, kan? Mataharinya?” tanyanya kembali.
Tanpa menghapus senyumnya, Callum mengangkat kedua bahunya menandakan sesuatu yang juga hendak ia sampaikan.
“Saya tidak tahu soal mataharinya. Sedari tadi hanya kamu yang saya lihat.”
Masih tersanjung. Tetapi kali ini, ia sedikit kecewa dengan Callum yang melewati terbenamnya matahari Santorini yang belum tentu ia lihat lagi lain waktu.
“Callum, saya tidak paham dengan kamu yang terus seperti ini. Tapi momen ini belum tentu akan terulang, kan?” tanyanya yang sedikit emosi.
Senyumnya belum lepas. Dengan tenang, Callum melontarkan jawaban yang justru semakin membuatnya emosi.
“Memang kamu tidak mau pergi memandangi matahari lagi dengan saya?”
Momen matahari terbenamnya tersimpan sejenak. Keributan sedikit terpantik di benaknya. Ribuan tanya yang selama ini ia simpan tentang pujian dan kalimat-kalimat manis Callum hendak ia keluarkan saat itu juga. Di tengah kegelapan langit Santorini, begini katanya.
“Callum, saya tidak percaya kamu nyata. Bisa kita saling jujur di sini?”
“Kenapa?” tanya Callum yang merasa terintimidasi.
“Saya bukan nabi, kenapa kamu terus membuat saya sebagai manusia paling sempurna di semesta?”
“Memang kamu begitu di mata saya.”
“Tidak, Cal. Saya minta kejujuran. Apa maksud kamu begini?” nadanya semakin tinggi, namun tetap menahan amarah mengingat masih banyak pasangan yang bermesraan di sana.
“Saya tidak ada maksud apa-apa. Saya memang mengagumi kamu.”
“Lalu saya ini apa di hidup kamu?”
___
Masih duduk di mejanya, pina colada yang ia pesan dua jam lalu. Matanya terus memandangi tebing yang menyelimuti lautan Perissa. Tatapannya kosong, padahal banyak orang berlalu-lalang mengitari matanya, banyak angin menghembus rambutnya, banyak air yang menunggunya menenggelamkan diri untuk melupakan apa yang ia rasakan enam hari belakangan. Perissa akan menjadi pantai terakhir yang akan ia kunjungi sepanjang hidupnya. Sudah tidak mau lagi ia menginjakkan kakinya di pasir-pasir lembut ataupun batuan pesisir yang biasanya didambakan banyak manusia—kecuali ia.
Sejak malam itu, ia belum lagi siap menemui Callum. Ruang hatinya kosong dengan waktu yang panjang namun tiada seorangpun di pikirannya saat ini. Kalimat-kalimat manis yang disenandungkan Callum sepanjang kisah romansanya hingga pulau cinta di Yunani ini berubah menjadi pedang yang menusuk setiap bagian dagingnya. Perasaannya hancur setelah menikmati matahari terbenam yang anggun dengan tiap kata yang keluar dari mulut Callum saat itu. Awalnya ia membenci Santorini dengan cerita cintanya, kini ia membenci pulau itu dengan patah hatinya.
“Lalu saya ini apa di hidup kamu?”
Pertanyaan itu menjadi jalan awal Callum mengajaknya ke sebuah titik sepi di undakan Oia. Di sana mereka berdua duduk dengan gelapnya langit Santorini, namun masih bisa melihat satu sama lain berkat cahaya remang refleksi lampu-lampu bangunan di sekitarnya. Callum menyingkirkan senyumnya saat itu. Suasana yang semula dinikmati sepanjang perjalanan selebrasi cinta di Santorini berubah menjadi momen yang menegangkan. Banyak dugaan berputar di pikirannya akan apa yang diucapkan Callum nantinya setelah mereka sudah duduk dengan tenang di kursi tersebut.
“Kenapa kamu melewatkan mataharinya?” tanyanya kembali pada Callum.
“Aku bisa melihatnya lain waktu.”
“Kapan?”
Wajah Callum berpaling, memutar matanya ke arah langit yang tenang.
“Maafkan saya,” tutur Callum.
Ribuan tanya langsung menyeruak di pikirannya. Mulutnya langsung membalas dengan pertanyaan yang berharap alasan.
“Istri saya tinggal di sini.”
Santorini,
23 Juni 2022