Agustus
lalu, Bengkel Sastra UNJ mengadakan sebuah pementasan besar di Teater Jakarta,
Taman Ismail Marzuki tepatnya pada 19 Agustus 2017. Pementasan kali ini diadakan
untuk merayakan ulang tahun Bengkel Sastra yang ke-9 tahun. Pada kesempatan
kali ini, naskah yang dipilih adalah Orkes
Madun 2 atawa Umang-umang karya sastrawan ternama Indonesia, Arifin C. Noer
yang merupakan sekuel kedua dari naskah sebelumnya Orkes Madun 1 atawa Madekur Tarkeni. Dalam lakon ini, awalnya saya
mengincar tokoh Seniman/Jonathan yang merupakan seorang seniman music yang
identik dengan biolanya.
Pada proses kali ini, Bengkel Sastra
sempat mengalami kegalauan dengan digantinya sutradara sebelumnya. Pada proses
dengan sutradara semula, saya diberi kesempatan untuk bermain sebagai Engkos,
seorang masokis, lekong, yang selalu sange, naik birahi setiap Waska (tokoh
utama) menghukum dirinya. Beberapa minggu saya fokuskan mendalami karakter
Engkos yang sejatinya sudah tertanam dalam diri saya, lelaki kemayu yang lenjeh
hanya tinggal menumbuhkan rasa birahi dengan lawan main saya. Sutradara juga
memutuskan untuk menjadikan saya triple role.
Peran dirigen yang sebenarnya tidak ada dalam naskah saya mainkan untuk
memimpin para Umang-umang (anak buah Waska) menangis sehingga tangisan mereka
bernada. Sutradara juga sempat memutuskan saya memainkan tokoh Albert yang
belum saya kaji betul karakternya. Jadi, selama beberapa minggu latihan saya
hanya memfokuskan diri untuk Engkos dan Dirigen.
Namun setelah beberapa pengurus
memutuskan untuk mengganti sutradara dengan alasan tertentu, maka berubah juga
konsep pementasan, actor, dan lain sebagainya yang berimbas pula ke saya.
Dengan sutradara yang baru, tokoh Engkos dihilangkan. Triple role yang saya mainkan sudah tidak ada lagi. Beberapa hari reading naskah hasil sadurannya yang
menurut saya lebih ringan. Jadilah tanpa casting,
beberapa actor baru dipilih secara otoriter olehnya.
Kuncen,
salah satu tokoh yang ada dalam naskah ini. Seorang juru kunci kuburan asal
Betawi yang kesehariannya menjaga makam bersama dengan satu anaknya.
Pekerjaannya menjaga makam juga ia pergunakan untuk mengambil barang-barang
berharga yang biasanya ikut terkubur dengan jenazah didalamnya seperti kain
kafan yang pada adegannya ia pamerkan sebagai kafan yang memiliki kegunaan yang
sangat banyak. Peran yang saya dapatkan untuk pementasan ini berujung padanya.
Jadilah saya seorang juru kunci kuburan yang ‘katanya’ sutradara memiliki
karakter yang sama dengan saya. Begitupun dengan anak juru kunci yang juga
diperankan oleh salah satu senior di Bengsas dengan karakter yang sama persis
dengannya.
Karakter Kuncen disini adalah
seorang lelaki paruh baya asal Betawi (dari setiap dialog anak Kuncen yang
memanggilnya Babeh) yang tinggal
bersama anak perempuannya. Kuncen berperan sebagai seorang yang menjadi
perantara bagi Borok dan Ranggong (anak buah Waska) untuk mendapatkan sebuah
bahan dasar untuk jamu yang berguna menyambung umur Waska, jantung bayi. Sebelumnya,
Ranggong dan Borok menemui Albert dan istrinya, ahli ramuan yang hidup sejak
lama untuk bertanya mengenai jamu yang dapat menyembuhkan Waska dari sakitnya. Mereka mengatakan bahwa jamu dadar bayi dengan
bahan dasar jantung bayilah yang dapat menyembuhkan penyakit Waska. Setelah
itu, mereka berdua pergi mencari jantung bayi dan memutuskan untuk bertanya
kepada Kuncen.
Adegan Kuncen dalam lakon ini hanya
muncul satu kali ketika Ranggong dan Borok bernegoisasi untuk membeli jantung
bayi darinya. Adegan dimulai dengan kemunculan kuncen bersama anaknya yang
masuk panggung sambil berjoget seenaknya. Sampai ditengah panggung, Kuncen
menghentikan music dan mulai menyapa para penonton.
“Eh penongton!”
Awal kemunculan Kuncen yang mampu
menarik decak tawa penonton membuat saya semakin berenergi memainkannya. Setelah
menyapa penonton, ia memulai pantunnya untuk membuka adegan.
Malem
Minggu bobok di ranjang
Bobok
di ranjang, eh sama si Ijat
Lu
liat noh mayat pada telanjang
Gegara
kain kafannya gua embat!
Setelahnya,
ia kembali duduk bersama anaknya membicarakan mengenai kain kafan dengan
kualitas luar biasa yang malam ini ia dapatkan. Setelah menjelaskan mengenai
kain kafan itu, Kuncen menyampaikan pesan yang bermaksud menyindir.
“Orang-orang yang udah mati aja
masih peduli sama kita daripada yang masih hidup”, katanya.
Maksud dari pesannya ini adalah ia
merasa bahwa mayat-mayat yang terkubur disana lebih membantu kehidupannya
daripada orang-orang yang masih bernyawa. Pasalnya, Kuncen mendapatkan sumber
dagangannya dari mayat-mayat itu untuk dijual kembali kepada pembeli
benda-benda klenik.
Setelah adegan ini, Ranggong dan
Borok datang dengan kesan menodong. Kedatangan tidak diharapkan oleh Kuncen dan
Anaknya ini membuat dirinya kesal. Setelah bertanya-tanya maksud kedatangannya,
Kuncen akhirnya merasa bahagia karena kedatangan mereka berdua merupakan lading
bisnis besar yang datang malam-malam begini. 15 bayi sekali beli. Setelah tawar
menawar dan cocok dengan harganya, mereka akhirnya dipersilahkan mengambil
barang yang mereka incar. Awalnya Kuncen tidak tahu apa yang hendak diambil
dari mayat bayi itu. Biasanya orang-orang hanya ingin mengambil kain kafannya,
tali pocong, atau benda-benda lain yang ada di dalam liang lahat. Tetapi
setelah tahu bahwa Ranggong dan Borok mendedel jenazah untuk mengambil
jantungnya, Kuncen panic tak karuan. Ia ketakutan akan dituntut oleh keluarga
korban atau pihak yang berwajib. Akibat dari kepanikannya yang tak terbendung
dan membuat Borok kesal, Borok memerintahkan Ranggong untuk membunuh Kuncen dan
anaknya.
Pesan kembali muncul dari mulut
Kuncen setelah terbunuh dan pergi sebagai arwah. Ia mengatakan, “Biarin mati, seenggaknya kita
gak kelaperan lagi.” Artinya, setelah lelah menghadapi susahnya hidup di dunia,
ia bersyukur atas apa yang ia dapatkan. Karakter Kuncen muncul pada dialog ini
dimana ia selalu menerima setiap hal yang ia dapatkan. Masalah yang datang ia
pikir belakangan. Dialog pesan yang diriwayatkan Kuncen juga muncul pada dialog
selanjutnya, “Semasa hidup kita dimana? Kuburan! Lu mau kita mati di kuburan
juga?” Saya menafsirkan dialog ini sebagai pesan yang ia ungkapkan untuk selalu
meng-upgrade diri.
Satu pesan terakhir yang disampaikan
Kuncen adalah, “Babeh tau kita maling, tapi seenggaknya gak kaya mereka yang
tega ngobrak-abrik jantung bayi.” Penfasirannya adalah orang-orang yang selama
ini kita anggap berbuat negative (maling), ternyata juga memiliki ukuran atau
takarannya sendiri untuk diembat. Tidak semua maling rakus, tidak semua maling
maruk.
1.
GRAND
THEATER JAKARTA
Pengalaman pertama untuk pementasan di Teater Besar,
Taman Ismail Marzuki untuk saya yang merupakan bibit baru Bengkel Sastra.
Songong. Setelah melewati proses sekitar dua bulan untuk blocking, drilling, running, dan pergantian berbagai macam rupa
untuk menghasilkan pementasan sesuai kemauan sutradara, 19 Agustus 2017 itu
puncaknya. Pada proses kali ini, saya disibukkan dengan kegiatan ospek yang
sekarang ini berganti nama menjadi Masa Pengenalan Akademik (MPA). Berhubung
saya adalah ketua panitia yang sebenarnya posisi ini adalah salah satu posisi
yang saya targetkan sejak awal masuk kepengurusan BEM, maka totalitas untuk 90%
konsep MPA ini adalah ala saya.
Lumayan sulit membagi waktu antara Bengkel Sastra
dan BEM yang sejatinya adalah dua organisasi berbeda. Ditambah mayoritas staf
BEM angkatan saya adalah anggota Bengsas yang semuanya kedapatan peran untuk
pementasan ini. Walaupun saya adalah ketua pelaksana MPA, namun konsistensi saya
adalah tetap mengutamakan Bengkel Sastra sebagai prioritas.
Cara yang saya gunakan adalah membuat rapat
seminimum mungkin untuk MPA namum dengan hasil yang banyak karena saya tidak
mau proses pementasan ini terganggu. Ditambah beberapa minggu sebelumnya saya
mendapat tawaran freelance lagi di
kantor lama. Namun karena waktu yang dirasa tersita banyak, akhirnya tiga
minggu pekerjaan saya resign.
Kembali kepada Umang-umang. Pada proses kali ini,
jujur saya merasakan kerasnya proses berteater. Waktu, tenaga, pikiran, dan hati menjadi motor utama dalam setiap
kali latihan. Waktu, saya tidak permasalahkan karena sudah terbiasa setiap
pulang kuliah harus latihan. Tidak jadi masalah. Tenaga, pasti terkuras apalagi
dengan latihan yang semakin lama semakin intens. Pikirian, beres. Hati? Acap
kali saya mendapati beberapa selentingan atau kabar atau ceplos dari beberapa anggota yang sekiranya kurang mengenakkan di
hati saya ataupun teman-teman yang lain. Sayangnya saya adalah orang yang haha-hihi, maksudnya tidak mudah
tersinggung-sehingga mereka yang kebiasaan bermulut seenaknya malah kebiasaan
mengejek tanpa takut saya marah.
Jadi, Umang-Umang….
Tiba pada hari pementasan, semua kru yang bertugas
siap di posisinya masing-masing. Begitupun dengan saya yang sudah menyiapkan
tetekbengek alat rekam baik video maupun audio. Sama seperti pementasan
sebelumnya, tugas saya adalah membuat video
blog untuk akun YouTube.
Malam tiba, pementasan sebentar lagi akan dimulai. Setelah
menelusuri megahnya Teater Jakarta untuk pementasan teater kampus, harap dan cemas tak kunjung henti mengitari
kepala. Banyak pemain yang sengaja memberikan freepass untuk kedua orangtuanya tapi berbeda dengan saya yang
malah memberikannya kepada Sarah dan Angga dan Sarah2. Semua kru dan
pemain berkumpul untuk memanjatkan doa agar pementasan berjalan lancer hingga
terdengar bunyi gong ketiga tanda pementasan akan dimulai.
Kita adalah
pencuri
Akan kita curi
seluruh alam semesta…
Lagu tema mulai berkumandang di atas panggung.
Adegan pertama sudah dimulai. Suasana wing
dingin bukan main. Beruntung property saya adalah kain kafan lebar dan
sarung sehingga bisa menyelimuti dinginnya blower
besar di kisaran wing. Adegan
demi adegan dimainkan hingga sampailah pada adegan Kuncen.
Karena karakter saya yang jenaka dan kehadiran saya wajib mengundang gelak tawa penonton,
pemanasan yang saya lakukan adalah joget. Kebiasaan setiap latihan yang dilihat
orang mungkin kesannya saya bercanda, tapi sebenarnya ini adalah cara saya
berkontemplasi. Instrumen lagu Sirih Kuning dimainkan, tanda saya harus masuk
bersama Anak Kuncen.
Ahhh! Saya tidak
bisa bercerita….
Intinya setiap perkataan saya berhasil membuat seisi
Teater Jakarta penuh dengan tawa riuh dari penonton. Dan, ini berkat bantuan
besar dari Anak Kuncen tercinta yang sebenarnya merupakan boneka untuk setiap
tawa dari penonton.
“Kaya ngomong
sama tai!” Dialog ikonik yang selalu diingat
penonton. Ada cerita dibalik dialog ini. Dialog yang sebenarnya adalah
celetukan salah satu sahabat saya ketika SMK dulu, Takim yang sampai sekarang
masih sering disuarakan sahabat lainnya setiap bertemu.
Ya, itulah kemeriahan untuk Teater Jakarta. Kuncen
dan Anak Kuncen, membuat penonton selalu mengingat Umang-umang. Selalu menjadi
bahan perbincangan selama dua minggu penuh di kampus.
“Babeh mau
pangtun!”
“E ngape e ngape
beh?”
Satu hal yang saya tidak bisa lupakan untuk
pementasan di Teater Jakarta adalah kedatangan orang-orang yang saya harapkan
(dengan paksaan) untuk datang. Sarah dan Angga yang selalu setia untuk hadir
dengan setangkai mawar putih. Tidak lupa dengan ayam D’Besto: Sayap Pedas yang
dibawakannya sesuai dengan pesanan saya siang sebelumnya. Sarah2,
satu lagi Sarah yang sudah saya janjikan untuk memberikannya tiket gratis ketika
pemilihan Duta Bahasa DKI Jakarta lalu. Dua batang Cadburry tidak lupa ia
bawakan. Aya , Dania, Jeje, dan satu buket bunga yang mereka bawakan. Bayu dan
Angel sebagai pelengkap. Belum lagi ucapan selamat dari Bu Hera selaku Koor.
Prodi Sastra Indonesia. Dan sisanya yang tidak bisa saya sebutkan satu per
satu. Terimakasih. Saya adalah actor dengan give
terbanyak malam itu.
___
2. FESTIVAL
TEATER JAKARTA TIMUR
Setelah sukses dengan pementasan di Teater Jakarta, Bengkel
Sastra memberanikan diri untuk mengikuti festival. Namun penyakit pasca proses
pasti ada dan dialami oleh setiap komunitas teater dimana-mana. Hilangnya
anggota.
Bukan, bukan hilang. Setelah pementasan di Teater
Jakarta, sebagian anggota yang merupakan pengurus BEM sibuk melaksanakan
rangkaian-rangkaian untuk penerimaan mahasiswa baru. Akibatnya olah tubuh yang
dilakukan sore hari tidak berjalan efektif. Kami langsung mulai blocking
setelah Maghrib. Belum lagi repotnya mengurus mahasiswa baru yang ikut
bergabung bersama Bengkel Sastra. Repot!
Sempat sekali sutradara mengganti beberapa dialog di
naskah hingga bisa saja kita menyebutnya naskah baru. Beberapa adegan yang
dipotong dan dialog-dialog yang baru itu malah membuat suasana blocking semakin
rusak tidak karuan. Akhirnya kembalilah kita dengan dialog-dialog yang lama
namun dengan beberapa adegan yang dipangkas.
Resiko untuk saya adalah celetukan-celetukan Kuncen
yang semula lucu menjadi tidak segar lagi. Kenapa? Sebagian besar penonton FTJT
nanti adalah penonton ketika di Teater Jakarta. Inisiatif saya mencari
celetukan-celetukan baru yang sebenarnya mudah saya dapatkan. Darimana? Celetukan-celetukan
sederhana yang sering saya dengar dari beberapa teman saya bawa ke atas
panggung FTJT nanti. Tapi ini beresiko juga. Pasalnya lawan main saya, Ranggong
harus bersusah payah menahan tawa untuk beberapa hari blocking. Belum lagi kalau di atas panggung nanti. Kasihan…
Singkat cerita, sampailah kita ke atas panggung
FTJT. Kecanggungan yang semula dirasakan di Teater Jakarta sudah mereda disini.
Permainan lebih santai berjalan. Gugup sudah minimal dirasakan.
Masuklah ke adegan Kuncen dan anaknya. Dengan pantun
yang baru, saya bersuara:
Diding Boneng maen
ke kote
Sampe di kote,
eh dia sawan
Lu liat ini kaen
terpampang nyate
Hasil ngembat
mayat perawan
Diding Boneng, salah satu juri FTJT saat itu yang
sengaja saya gunakan namanya pada pantun untuk pembuka yang menarik. Sempat
saya dibuat bimbang dengan ini beberapa menit sebelum adegan saya dimainkan karena
dua senior saya kala itu berpendapat berbeda. Masalah penggunaan nama juri yang
dirasa tidak sopan dan justru malah membuat daya tarik. Tapi konsistensi saya tetap
pada penggunaan nama Diding Boneng! Voila!!!
Pembuka saya dirasa lebih segar dibanding sebelumnya.
Dialog demi dialog dimainkan. Hingga Borok dan
Ranggong datang menodong kain kafan. Satu lagi dialog ikonik baru yang saya
bawakan disini:
“Tapi lu dateng
kesini malem-malem begini, Bambang!”
Ya, Bambang! Celetukan yang sering saya dengar
setiap datang ke proses Teater 45 Perjuangan. Terimakasih kalian…
Berkat celetukan ini, kembali saya memberikan kesan
melekat untuk penonton FTJT. Sisanya masih sama dengan pementasan sebelumnya di
Teater Jakarta.
Tetapi, evaluasi untuk adegan Kuncen dan anaknya
kali ini adalah: rebutan dialog. Kami paham betul bahwa karakter kami disini
adalah nyeletuk seenaknya. Karena
terbawa suasana, saya dan anak Kuncen merasa dialog yang kami suarakan malah
terkesan rebutan. Jika dibandingkan dengan pementasan di Teater Jakarta, kami
lebih prefer di Teater Jakarta.
Sama seperti pementasan sebelumnya, kedatangan
orang-orang tersayang tak lepas sebagai pelengkap pementasan. Talitha, Jihan,
Felia, Wiwid dengan buket bunganya untuk saya dan Dini sebagai kru. Sarah2
yang datang lagi dengan Chuncky Bar nya. Dan penguru-pengurus BEM dengan
beberapa tangkai mawarnya. Sore itu, saya tetap actor dengan give terbanyak.
PASCA
TEATER JAKARTA
Rumah saya terbakar satu hari setelahnya. Semua
pemberian yang diberikan ketika pementasan malam itu habis dilahap api. Euforia
gembira pementasan di Teater Jakarta seketika hilang dengan kabar bahwa rumah
saya telah menjadi abu kala itu.
Saya tidak mau menceritakan kronologis ini. Yang
saya dapatkan adalah rasa syukur akan banyaknya orang yang peduli dengan saya
saat itu. Ratusan pesan baik dari Whatsapp, Line, hingga Direct Message
Instagram tak henti menyatakan bela sungkawa diiringi kalimat “akan ada pelangi
setelahnya”. Saya percaya.
PASCA
FTJT: Pelangi itu Datang
Benar saja pelangi itu datang. Malam Anugerah FTJT
dilaksanakan pada malam hari di tempat yang sama, Pusat Pelatihan Seni dan
Budaya Jakarta Timur. Tidak berharap dan tidak menunggu apapun untuk dibawa
pulang karena kritik yang banyak dari pengamat setelah pementasan di FTJT
kemarin membuat kami sadar bahwa penafsiran kami akan naskah Arifin ini salah.
“Nominasi aktris
pendukung terbaik adalah….”
Tepat di baris ketiga layar, nama Hutmiati|Anak
Kuncen|Bengkel Sastra terpampang. Rasa bahagia untuk kami yang datang pada
malam anugerah saat itu salah satu pemain masuk di daftar nominasi walaupun
belum berhasil ditempatkan sebagai pemenang.
Selanjutnya, nominasi actor pendukung terbaik…
Bima Dewanto|Juru Kunci|Bengkel Sastra. Tepat di
baris ketiga layar panggung pada saat itu. Kuncen dan anaknya berhasil menjadi
nominator pada malam itu. Kebahagiaan anak baru di FTJT ini membawa aura
postitif bagi beberapa anggota Bengkel Sastra yang datang. Ini sederhana, saya
hanya nominator bukan pemenang. Tapi berarti saya adalah satu dari sekian
banyak actor pendukung yang dipilih masuk untuk nominas. Ini pelanginya.
___
Jakarta, 4 November 2017