Coba saja dengarkan kesaksian saya yang katanya bisu ini. Saya adalah jembatan penyeberangan yang dibangun untuk menghubungkan jalan raya yang terpisah oleh sungai. Awal saya dibangun, puluhan pohon telah menjadi korban agar orang-orang dengan mudah melihat saya. Tapi itu dulu, sekitar dua puluh tahun yang lalu. Satu, dua, tiga minggu setelah peresmian memang orang-orang sekitar sini rajin merawat saya. Bahkan setiap enam bulan sekali, tubuh saya di cat agar terlihat mengkilap kembali. Saya juga sudah berganti aspal kurang lebih delapan kali. Saya bahagia ketika diresmikan dimana saya bisa melihat sungai dengan air yang jernih. Hujan yang membentuk pola acak di atas sungai membuat saya merasa damai. Belum lagi hujan itu juga ikut membasahi tubuh saya yang seharian terkena sengatan matahari. Panas, karena tubuh saya didominasi dengan logam.
Saya senang melihat anak-anak yang berlomba-lomba
berjalan di pinggiran tubuh saya. Sepeda yang lalu-lalang melewati tubuh saya
dengan pengendaranya yang bisa saya rasakan niat baik untuk mencari nafkah. Bahkan
saya juga sering terharu melihat beberapa siswa yang bertemu gurunya sedang
berjalan di sepanjang tubuh saya. Jabatan tangan yang ikhlas layaknya anak dan
orang tua, membuat saya hangat dan bangga bisa dibangun di sini. Jangan lupa
juga, percakapan beberapa pejabat desa seperti Pak RT, Pak RW, dan
ajudan-ajudannya yang sedang membicarakan pembaruan terhadap tubuh saya.
Seperti yang saya bilang tadi, dicat, diaspal ulang, bahkan sempat saya
memiliki atap berbahan fiber yang fungsinya
membuat teduh orang-orang yang menyeberang.
Tapi kan itu dulu, sebelum satu benalu yang membuat
tubuh saya disiram dosa setiap harinya. Bayangkan saja, saya pernah kedapatan
seorang anak kecil yang bermain dengan teman-temannya. Salah satu diantara
mereka membawa sebuah balon yang ditiup terus-terusan tanpa pernah mengikatnya.
Setelah itu, datang satu siswa SMA yang melihat anak-anak itu bermain dengan
balon yang masih ditiupnya bergantian sekarang. Siswa itu memperhatikan dengan
teliti apa yang sebenarnya ditiup.
“Eh jorok! Itu kan bekas burung!” kata siswa itu
sambil menunjuk tengah-tengah selangkangannya.
Anak-anak itu tidak tahu apa yang dimaksud oleh si
siswa SMA. Tapi mendengar kata jorok, balonnya langsung di buang saja di tubuh
saya. Setelah balon itu menyentuh tubuh saya, ternyata saya paham apa yang
dimaksud siswa SMA tadi.
Nah yang saya bilang benalu tadi, pohon yang dua
puluh tahun lalu ditebang untuk membangun saya kini sudah tumbuh lebat kembali.
Jangankan menebang, melirik saja sudah tidak ada yang mau. Akibatnya, tubuh
saya jadi terhalang dedaunan yang lebat. Orang-orang akan takut melewatinya. Tapi,
tidak jarang juga orang yang memanfaatkan fisik saya yang sulit terlihat. Misalnya
saja waktu itu ketika seorang wanita dengan jaket kulit tebal namun kakinya
tidak ada sehelai kain pun sedang menunggu seseorang di pinggiran tubuh saya. Tidak
lama, suara mobil yang dimatikan terdengar dari sini. Lalu penumpangnya turun,
seorang lelaki dengan hanya mengenakan kaos polo dan celana pendek datang
menghampiri perempuan yang sedang berdiri di sini. Saya mendengar perdebatan
kecil di antara mereka. Kata perempuannya, “Habis keluar di dalam! Saya gak mau
tau!”
Sedangkan yang lelaki hanya mengucapkan kata sabar
yang tak terhitung saya dengar. Kemudian lelaki itu pergi dengan melemparkan
sebuah amplop coklat yang mungkin berisikan sejumlah kertas di dalamnya. Ketika
ia melangkahkan kakinya kembali menuju mobil, ia terhenti sejenak memutar
tubuhnya untuk meneriakkan sesuatu kepada perempuan itu.
“Jangan hubungi saya!” katanya.
Setelah itu, saya tidak pernah melihatnya lagi. Tapi
perempuan itu, masih sering berdiri di tubuh saya setiap malam yang tidak
tentu. Saya melihat lelaki yang berbeda di setiap malam menemuinya. Kadang
tangan para lelaki yang menemuinya suka nakal. Yang bisa membuat saya mual
adalah ketika jari jemarinya menari di atas kedua dada perempuan itu. Belum
lagi suara desahannya yang membuat telinga saya sakit. Tapi yang paling saya
benci adalah ketika mereka berdua meletakkan tubuhnya masing-masing di atas
tubuh saya. Ah! Saya muak! Sudah! Sudah!
Saya ceritakan saja yang lain, kali ini mungkin
lebih berbahaya. Kalau tidak karena pohon yang menutupi saya, mungkin kejadian
ini tidak sampai terjadi. Kejadiannya ketika malam menjelang pagi. Saya tidak
tahu persis itu pukul berapa. Terdengar suara ribut antara pria dan wanita, dan
suara tangis bayi. Seorang wanita berlari hendak menyeberangi tubuh saya. Tapi
baru saja sampai pertengahan, ia terjatuh sehingga lelaki yang mengejarnya bisa
menarik rambutnya yang terurai. Tangisan bayi yang dipertahankannya menangis
semakin keras akibat tekanan perempuan yang terjatuh tadi. Kini suara tangisan
bayi itu diikuti oleh tangisan perempuan yang saya kira ibu dari sang bayi. Meneriakan
ampun yang tidak kunjung henti. Kemudian saya rasakan langkah lelaki yang
mengejarnya dihentak semakin keras. Mencoba merebut bayi itu dari tangan
ibunya, tapi perempuan itu kuat. Saya kasihan melihat si jabang bayi yang
menjadi bahan rebutan. Dikira mereka adalah sepasang suami istri yang bercerai
dan merebut hak asuh si jabang bayi. Tapi dugaan saya salah.
Setelah lelaki itu berhasil merebut bayi dari tangan
ibunya, ia menggendong sambil mendendangkan lagu pengantar tidur. Memerintahkan
si bayi untuk segera tidur dalam lelap. Kelihatan manis memang seorang ayah
yang mencoba menidurkan anaknya. Tapi memang dasar bayi, tangisannya tidak
berhenti. Malah semakin menjadi-jadi. Nada lembut si lelaki pun mendadak
berubah menjadi bentakan keras terhadapnya. Sontak saya kaget melihat kejadian
ini. Saya tidak habis fikir, lelaki itu malah melemparkan bayinya hingga
terbawa arus sungai. Bayi itu mengalir secara cepat hingga saya tidak bisa
melihat bahkan mendengar tangisnya lagi. Setelahnya, kini giliran sang istri
yang menjadi antrean selanjutnya. Ia memutuskan sebuah tali yang terikat pada
salah satu tiang atap di tubuh saya. Lalu melilitkan tali itu di leher sang
istri.
Tangisan istri yang semula melengking tidak karuan
kini berganti dengan suara sesak nafas. Matanya terlihat memerah dengan urat
yang terlihat tajam dari leher hingga pelipisnya. Saya kira ini akan menjadi
tontonan yang lama. Tapi ternyata beberapa menit kemudian, seluruh tubuh sang
istri mendadak terlihat seperti orang yang tidak memiliki tulang. Tubuhnya
langsung jatuh seperti tidak ada lagi energi yang ia simpan. Mati.
Kemudian seperti biasa, saya tidak pernah melihat lelaki
itu kembali lagi melewati tubuh saya. Tapi semenjak kejadian itu, saya seperti
tidak sendirian. Saya merasakan ada jiwa lain yang seharian penuh singgah di
tubuh saya. Mungkin arwah sang istri tadi. Jika saya bisa berbicara dengan
sungai, mungkin saya akan menanyakan kabar si jabang bayi yang dibuang itu. Dan
setelah kejadian itu pula, tubuh saya jauh lebih jarang dilewati oleh warga
sekitar daripada sebelumnya. Mungkin kabarnya sudah sampai kepada warga bahwa
telah terjadi pembunuhan di sini. Tapi justru malah orang-orang yang jarang
sekali saya lihat sering melewati tubuh saya untuk berhenti sejenak. Bahkah
tidak jarang juga yang tidak menyeberang.
Saya merindukan sosok Pak RT yang dulu sering membicarakan
soal biaya perawatan tubuh saya. Saya mendambakan tubuh yang bersih kembali. Rasa
tidak nyaman dengan tulisan dan gambar-gambar aneh yang dicoret-coret di
sekitaran tiang. Kini, kebanyakan penduduk sudah menggunakan mobil kemana-mana.
Membuat saya jarang dilewati karena ukuran tubuh saya yang tidak muat untuk
jalanan mobil. Mungkin Pak RT juga sudah menggunakan mobil.
Saya rasa, ini adalah saatnya saya undur diri
menjadi salah satu fasilitas untuk warga. Saya sudah muak. Sudah jijik. Terlalu
banyak dosa yang ditinggal di tubuh saya sehingga besi-besi ini sudah tidak
mampu lagi menahannya. Akhirnya saya memutuskan untuk bunuh diri saja. Tidak
lama setelah saya mendapati Pak RT yang sedang melaju dengan mobilnya melewati
jalan raya. Ketika itu ia berhenti dan turun dari mobilnya, bersama seorang
anak laki-laki berseragam SMP.
Awalnya saya pikir, itu adalah putranya. Pak RT
berjalan dengan menggandeng anak tersebut mendekati tubuh saya yang sedang
sibuk-sibuknya menahan dosa yang sudah melebihi kapasitas. Ketika keduanya
telah sampai di sebuah tempat yang teduh dengan akar pohon yang menjalar-jalar
masuk ke tubuh saya, anak laki-laki itu diperintahkan untuk jongkok. Sementara
Pak RT asik bersandar pada salah satu tiang atap di tubuh saya.
Lama-lama saya curiga dengan yang mereka berdua
lakukan. Dan saya sadar bahwa anak itu bukanlah anaknya Pak RT. Selingkuhannya.
Saya mencari dosa yang serupa seperti yang dilakukan oleh kedua orang itu. Dan
saya menemukannya banyak sekali bertumpukan di tubuh saya. Kalau saya biarkan
Pak RT dan bocah laki-laki selingkuhannya itu berbuat yang sama, tubuh saya
akan semakin berat menahannya.
Daripada saya lelah mempertahankan dosa-dosa
yang sudah menumpuk di tubuh saya, saya biarkan saja seluruh tubuh saya terbelah
menjadi dua sehingga masing-masing belahan menyentuh dasar sungai. Saya cemburu
dengan tingkah Pak RT. Bukannya mencoba untuk meremajakan saya kembali, malah
asik dengan selingkuhannya yang tak wajar itu. Saya ajak saja keduanya bunuh
diri dengan memutuskan pangkal tubuh saya sehingga mereka berdua terjatuh ke
dasar sungai. Lalu, tubuh saya jatuh secara utuh menimpa keduanya.
Allianz Tower 29th
Floor
6 Februari 2017
0 komentar:
Posting Komentar