Selasa, 07 Februari 2017

Cerpen: Tidak Perlu Berkuda




Sudah foto keempat yang saya edit hari ini, dan harus masuk lagi ke dua aplikasi berikutnya. Setelah sukses menyamarkan beberapa noda di sekitaran pipi dan hidung, dua aplikasi berikutnya akan membantu wajah saya terlihat merah muda dan mata yang sedikit membesar. Padahal baterai ponsel tinggal tersisa 17% dan jadwal saya mengunggah keempat foto ini tinggal lima menit.
            Tidak sedikit pujian yang datang dari setiap foto yang saya unggah ke beberapa media sosial. Mulai dari pujian standar seperti, cantik hingga sebuah akun penjualan yang menawarkan saya sebagai model akunnya. Tapi tidak satupun akun yang saya ladeni tawarannya. Saya hanya membutuhkan kalimat pujian yang terpampang di kolom komentar setiap media sosial yang saya punya. Semakin banyak pujian, maka akan semakin tinggi semangat saya untuk terus mengunggah foto yang saya edit dengan sekitar tiga aplikasi terlebih dahulu.
            Hingga tiba suatu hari ketika salah satu akun media sosial yang saya miliki menerima satu pesan personal dari seseorang. Kata demi kata yang say abaca perlu diresapi secara dalam seakan-akan memiliki makna yang sangat tajam untuk tidak hanya sekedar pujian. Kata demi kata yang say abaca membuat saya lupa bahwa setiap foto yang saya unggah harus melewati proses beberapa aplikasi. Membuat saya merasa cantik yang benar-benar cantik.
“Untuk apa menanti malaikat yang kasat
Jika melihat anda, mata akan lelap dalam mimpi
yang bukan lagi tujuh langit di kayangan”

            Ratusan bahkan ribuan orang yang menulis pesannya tidak lagi saya gubris hanya dengan datangnya satu pesan ini. Wanita, akan membayangkan betapa agung seseorang yang menulis tulus sebuah pesan yang dikirim secara pribadi dengan susunan kata yang cantik seperti ini.
            Kembali saya membaca dua kalimat dari pesannya tersebut. Masih membayangkan seperti apa rupa lelaki yang mengirimkan pesan cantik seperti ini. Wanita mana yang bayangannya tidak liar? Putih, tinggi, badan yang tegap, sekelas pengusaha muda di kota. Kali ketiga saya membaca pesan ini, hingga lupa bahwa saya harus segera membalasnya. Harus segera membalasnya. Membalasnya.
            Timbul kembali perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Tidak seperti biasanya saya membalas setiap komentar dengan ucapan terimakasih yang sekedar, kali ini saya dilanda kebingungan yang dahsyat. Tidak biasa saya menerima seperti yang satu ini, dan tidak pernah sekalipun saya membalas dengan bahasa yang puitis. Barangkali hanya dengan mengucapkan ‘terimakasih’ dengan huruf yang lengkap akan membuatnya merasa lebih dihargai daripada menunggu balasan yang lama. Selanjutnya saya ketikan kata ‘terimakasih’ dengan sedikit emoticon senyum sebagai kesan keramahan yang saya berikan. Bunyi gendering di dalam dada malah semakin mengguncang. Saya kira dengan membalasnya demikian akan membuat hati lega atau apapun yang dapat membuat mata saya kembali menikmati setiap katanya. Tapi sekali lagi, degupan jantung saya tidak terhentikan walau dengan satu sruput taro yang saya pesan barusan.
            Saya tatap satu sisi di depan kedua mata saya. Sebuah kaca bening yang memantulkan bayangan diri saya secara samar. Merefleksikan kedua mata dan masker yang saya kenakan dalam keseharian saya. Seakan-akan teringat dengan mirror on the wall dalam animasi Snow White, kaca itu berbicara kepada saya. Mengungkapkan kebenarannya. Mengungkapkan jauh lebih jujur daripada lensa kamera ponsel yang biasa saya gunakan untuk mendapatkan stempel cantik dalam diri saya. Kaca itu seperti membongkar semua perasaannya yang melihat saya duduk didepannya sedari tigapuluh menit yang lalu. Menumpahkan keluhannya ketika melihat saya membuka masker untuk sekedar meneguk taro.
            Saya mengerti yang dikatakannya adalah tentang kebohongan saya yang selama ini saya banggakan. Terbang hingga tinggi setelah mendapatkan sebuah pesan cantik yang saya harapkan berasal dari pangeran, padahal saya sendiri terlihat menyeramkan dihadapan sebuah kaca kafe. Dengan jerawat matang yang memerah di kisaran pipi dan hidung, belum lagi flek dan bekasnya yang panas membuat daerah dibawah mata hingga dagu saya terasa seperti arena terlarang untuk ditatap.
            Saya selalu senang bermain dengan kamera ponsel yang membantu saya terlihat lebih cantik dibandingkan bermain dengan cermin yang malah memaparkan segalanya yang tidak ingin saya lihat. Cermin yang malah membuka masker yang saya kenakan sehingga apa yang tidak ingin saya tatap menjadi terlihat bahkan seperti segerombolan yang siap menerkam wajah saya. Semua kotoran itu seakan-akan membuat saya putus asa untuk menjalani hari sebagai diri saya sendiri.
            Sontak saya memalingkan wajah saya dari hadapan kaca kafe yang kelamaan seperti membentak-bentak tepat didepan wajah saya. Masih tidak percaya dengan keadaan wajah saya yang seperti ini, saya mengulangi kebiasaan yang saya lakukan. Berbohong bersama kamera ponsel. Tentu dengan bantuan beberapa aplikasi yang juga ikut dusta bersama-sama. Meresapi, memikirkan, merenungkan, dan berusaha membangun kepercayaan bahwa saya cantik di depan kamera. Wajah saya yang sebenarnya adalah jepretan dari kamera ponsel, bukan kaca kafe atau cermin.
            Perlahan, saya mulai tenang. Keadaan jantung yang semula berdetak cepat kembali stabil. Setelah puas bercermin pada kamera ponsel, saya buka kembali aplikasi media sosial itu dan menekan tombol kirim untuk mengirim pesan ‘terimakasih’ kepada pangeran yang saya impikan tadi. Saya kembali terpaku dengan kaca kafe tadi yang hingga sekarang masih menampakan kemurkaannya. Tidak peduli. Saya kembali pada layar ponsel saya, menunggu pesan manis lainnya dari pangeran. Satu, dua, empat, hingga tujuh menit berlalu. Tidak ada satupun pesan yang dikirimnya. Hingga tiba saya pada gelas taro kedua yang saya pesan, ponsel berbunyi menandakan satu pesan masuk. Satu pesan yang tidak terlalu puitis seperti semula, namun mampu membuat hati leleh membacanya kata demi kata.
“Secangkir cappucinno sore hari ditemani sepiring waffle caramel.
Belum lagi pergantian matahari dengan lampu kota.”
                                                                             
            Berdegup kembali jantung setelah mengerti apa yang dimaksudnya. Niatan bertemu dengan saya sekedar berbincang berdua di sebuah coffeeshop. Ingin yang sangat untuk bertemu namun satu masalah mengenai siapa saya yang bertolak belakang dari setiap foto yang saya bagikan di media sosial. Saya paham setiap lelaki yang melihat dan mengajak saya bertemu tidak lain adalah karena alasan wajah cantik hasil editan yang saya buat. Ratusan kali saya menolak ajakan dari setiap laki-laki yang mengajak saya bertemu.
            Seperti biasa, saya segera menolak ajakannya. Namun perasaan lain timbul tidak sama seperti saya menolak laki-laki lain yang mengajak. Firasat berkata untuk mencoba satu kali walau hanya sekedar tatap mata. Hati berkata untuk terus ikuti walau pahit nanti hasilnya. Dan fikiran menggugah untuk tetap menemui walau nanti si pangeran berbalik badan ketika melihat wajah saya. Kembali lagi saya mengetik sebuah balasan untuk pesannya. Mengiyakan hingga menanyakan tempat dan waktu. Berharap si pangeran dapat menatap mata saya sebelum ia berpaling pergi ketika melihat wajah saya.
           
___

            Pukul lima sore di sebuah coffeshop yang tidak jauh dari pusat kota walau harus masuk ke dalam jalan yang hampir menuju perumahan. Saya masuk ke dalamnya namun tidak berusaha membuat mata berkeliling mencarinya. Bergegas menuju toilet guna merapikan apa yang menurut saya berantakan. Rambut, mascara, dan masker yang masih terpasang dengan talinya yang mengikat pada kedua telinga saya. Parfum badan yang saya semprot dua kali lebih dari biasanya. Ditambah parfum rambut yang malah saya semprot berulang-ulang sambil menyisirnya serapi mungkin. Padahal rambut saya hanya sepanjang bahu, namun tetap saya satu helai yang keluar dari jalur akan membuat saya risih.
            Lima belas menit saya berada di depan wastafel, memastikan saya harus tampil cantik sore ini. Menahan diri untuk bertengkar dengan cermin yang menampakan realitas yang paling saya benci. Tapi sekali lagi saya memastikan bahwa diri saya siap bertemu dengan pangeran yang saya prediksikan akan menolak mentah-mentah putrinya yang tidak sedap di pandang ini.
            Setelahnya, saya keluar dari toilet meninggalkan wastafel dengan cermin yang sore ini tidak menjadi musuh saya. Belum sampai langkah pertama saya meninggalkan tolite, ponsel bordering menampakan nama yang siang tadi baru saja saya simpan kontaknya.
            Incoming call from Pangeran, yang terpampang pada layar ponsel. Kemudian jantung kembali berdebar mencoba menjawab panggilan masuk tadi. Sebelum saya coba geser menu jawab pada ponsel, mata saya berkeliling di sekitaran kafe untuk mencari yang mana si pangeran ini. Mungkin ia menelfon karena sudah sampai. Saya masuk lagi ke toilet untuk menjawab panggilannya. Menggeser menu jawab secara perlahan dan mendekatkan ponsel di telinga kanan saya.
            “Halo” katanya.
            Suara yang membuat jantung saya semakin berguncang. Halo juga saya jawab dengan nada halus dan perlahan. Seperti sebuah pause yang cukup lama menunggu balasan suaranya.
            “Saya di meja nomor Sembilan” jawabnya lagi.
            Kembali kaki saya melangkah keluar, dibantu dengan kedua mata saya yang berkeliling mencari meja dengan nomor yang diletakan, Sembilan.
            Seperti sebuah silent acting, saya menemukannya. Duduk tepat di meja nomor Sembilan. Masih menggenggam ponsel yang diletakan di telinganya. Saya berjalan perlahan mendekatinya dari belakang. Tidak perduli sautan apa yang ia ucapkan di ponsel yang masih menghubungkan saya dengannya. Langkah demi langkah kaki saya menapaki lantai kafe yang sebagiannya tertutupi kayu jati berkesan klasik. Masih dengan keadaan jantung yang berdegup lebih kencang, dan semakin kencang.
            Kini, saya berdiri tegap tepat satu meter di belakangnya. Si pangeran masih belum menyadari keberadaan saya yang masih terpaku menatapnya senti demi senti. Tidak merasakah jantung yang berdegup kencang. Tidak perduli suaranya yang masih terdengar baik secara langsung maupun dari dalam ponsel.
            Menyadari suara yang terdengar samar-samar, pangeran menengok ke belakang. Melihat saya yang masih berdiri terpaku menatapnya yang sedang duduk. Di kursi roda. Senyumnya melebar seperti orang tanpa beban menyambut saya yang masih diam tidak bergerak. Setelah mematikan ponsel dan meletakannya di saku kemejanya, kedua tanganna meraih roda pada kursi yang didudukinya berniat untuk memutar badan agar bisa menghadap ke tubuh saya untuk menyambut kedatangan saya lebih santun. Wajahnya perlahan berubah kebingungan melihat saya yang masih mematung namun tidak menghilangkan senyuman manisnya itu. Mungkin ia sadar akan kondisinya yang sedang duduk di kursi roda, ia mengucapkan satu kalimat yang membuat tubuh saya stabil kembali.
            “Maaf” katanya.
            Kini malah saya yang bingung mendengar kata maaf darinya. Untuk apa coba? Tapi setelah kata maaf itu berakhir, kedua tangan dan matanya menunjukan saya kakinya yang diletakkan pada kursi roda. Membuat saya mengerti bahwa ia tahu akan saya yang terkejut melihat pangeran bukan dengan kuda, tapi dengan kursi roda. Membuat saya sadar, bahwa jika saya memahaminya mungkin ia juga akan memahami putri dengan wajah yang buruk ini. Membuat saya jatuh cinta pada kelemahan baik miliknya maupun milik saya. Sadar, sangat sadar bahwa kepalsuan tidak membuahkan apa-apa selain kesulitan. Kini bukan lensa kamera yang saya cintai. Tapi dirinya, yang dapat merefleksikan bahwa saya adalah saya.
            Bahkan ketika saya melepas masker yang saya kenakan, senyumnya sama sekali tidak pudar. Tidak bereaksi apa-apa selain mempersilahkan saya duduk menikmati cappucinno yang sudah ia pesan untuk saya.
            “Buat apa naik kuda kalau roda bisa lebih cepat. Ini elektrik. Hahaha…” Satu kalimat pembuka perbincangan darinya yang membuat saya kaget. Ia juga merefleksikan dirinya sebagai pangeran? Tapi, saya rasa ini asyik. Tidak ada yang tahu kan kalau kalimat pembuka ini membawa kami pada perbincangan yang selesai pukul dua malam.







Allianz Tower 29th Floor
1 Februari 2017
Share:

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.