Sudah foto keempat yang saya edit hari ini, dan harus masuk lagi ke dua aplikasi berikutnya. Setelah sukses menyamarkan beberapa noda di sekitaran pipi dan hidung, dua aplikasi berikutnya akan membantu wajah saya terlihat merah muda dan mata yang sedikit membesar. Padahal baterai ponsel tinggal tersisa 17% dan jadwal saya mengunggah keempat foto ini tinggal lima menit.
Tidak sedikit pujian yang datang
dari setiap foto yang saya unggah ke beberapa media sosial. Mulai dari pujian
standar seperti, cantik hingga sebuah akun penjualan yang menawarkan saya
sebagai model akunnya. Tapi tidak satupun akun yang saya ladeni tawarannya.
Saya hanya membutuhkan kalimat pujian yang terpampang di kolom komentar setiap
media sosial yang saya punya. Semakin banyak pujian, maka akan semakin tinggi
semangat saya untuk terus mengunggah foto yang saya edit dengan sekitar tiga
aplikasi terlebih dahulu.
Hingga tiba suatu hari ketika salah
satu akun media sosial yang saya miliki menerima satu pesan personal dari
seseorang. Kata demi kata yang say abaca perlu diresapi secara dalam
seakan-akan memiliki makna yang sangat tajam untuk tidak hanya sekedar pujian. Kata
demi kata yang say abaca membuat saya lupa bahwa setiap foto yang saya unggah
harus melewati proses beberapa aplikasi. Membuat saya merasa cantik yang
benar-benar cantik.
“Untuk apa menanti malaikat yang kasat
Jika melihat anda, mata akan lelap dalam mimpi
yang bukan lagi tujuh langit di kayangan”
Ratusan bahkan ribuan orang yang
menulis pesannya tidak lagi saya gubris hanya dengan datangnya satu pesan ini. Wanita,
akan membayangkan betapa agung seseorang yang menulis tulus sebuah pesan yang
dikirim secara pribadi dengan susunan kata yang cantik seperti ini.
Kembali saya membaca dua kalimat
dari pesannya tersebut. Masih membayangkan seperti apa rupa lelaki yang
mengirimkan pesan cantik seperti ini. Wanita mana yang bayangannya tidak liar?
Putih, tinggi, badan yang tegap, sekelas pengusaha muda di kota. Kali ketiga
saya membaca pesan ini, hingga lupa bahwa saya harus segera membalasnya. Harus
segera membalasnya. Membalasnya.
Timbul kembali perasaan yang berbeda
dari sebelumnya. Tidak seperti biasanya saya membalas setiap komentar dengan
ucapan terimakasih yang sekedar, kali ini saya dilanda kebingungan yang
dahsyat. Tidak biasa saya menerima seperti yang satu ini, dan tidak pernah
sekalipun saya membalas dengan bahasa yang puitis. Barangkali hanya dengan
mengucapkan ‘terimakasih’ dengan huruf yang lengkap akan membuatnya merasa
lebih dihargai daripada menunggu balasan yang lama. Selanjutnya saya ketikan
kata ‘terimakasih’ dengan sedikit emoticon
senyum sebagai kesan keramahan yang saya berikan. Bunyi gendering di dalam
dada malah semakin mengguncang. Saya kira dengan membalasnya demikian akan
membuat hati lega atau apapun yang dapat membuat mata saya kembali menikmati
setiap katanya. Tapi sekali lagi, degupan jantung saya tidak terhentikan walau
dengan satu sruput taro yang saya pesan barusan.
Saya tatap satu sisi di depan kedua
mata saya. Sebuah kaca bening yang memantulkan bayangan diri saya secara samar.
Merefleksikan kedua mata dan masker yang saya kenakan dalam keseharian saya. Seakan-akan
teringat dengan mirror on the wall dalam
animasi Snow White, kaca itu
berbicara kepada saya. Mengungkapkan kebenarannya. Mengungkapkan jauh lebih
jujur daripada lensa kamera ponsel yang biasa saya gunakan untuk mendapatkan
stempel cantik dalam diri saya. Kaca itu seperti membongkar semua perasaannya
yang melihat saya duduk didepannya sedari tigapuluh menit yang lalu. Menumpahkan
keluhannya ketika melihat saya membuka masker untuk sekedar meneguk taro.
Saya mengerti yang dikatakannya
adalah tentang kebohongan saya yang selama ini saya banggakan. Terbang hingga
tinggi setelah mendapatkan sebuah pesan cantik yang saya harapkan berasal dari
pangeran, padahal saya sendiri terlihat menyeramkan dihadapan sebuah kaca kafe.
Dengan jerawat matang yang memerah di kisaran pipi dan hidung, belum lagi flek
dan bekasnya yang panas membuat daerah dibawah mata hingga dagu saya terasa
seperti arena terlarang untuk ditatap.
Saya selalu senang bermain dengan
kamera ponsel yang membantu saya terlihat lebih cantik dibandingkan bermain
dengan cermin yang malah memaparkan segalanya yang tidak ingin saya lihat. Cermin
yang malah membuka masker yang saya kenakan sehingga apa yang tidak ingin saya
tatap menjadi terlihat bahkan seperti segerombolan yang siap menerkam wajah
saya. Semua kotoran itu seakan-akan membuat saya putus asa untuk menjalani hari
sebagai diri saya sendiri.
Sontak saya memalingkan wajah saya
dari hadapan kaca kafe yang kelamaan seperti membentak-bentak tepat didepan
wajah saya. Masih tidak percaya dengan keadaan wajah saya yang seperti ini,
saya mengulangi kebiasaan yang saya lakukan. Berbohong bersama kamera ponsel. Tentu
dengan bantuan beberapa aplikasi yang juga ikut dusta bersama-sama. Meresapi,
memikirkan, merenungkan, dan berusaha membangun kepercayaan bahwa saya cantik
di depan kamera. Wajah saya yang sebenarnya adalah jepretan dari kamera ponsel,
bukan kaca kafe atau cermin.
Perlahan, saya mulai tenang. Keadaan
jantung yang semula berdetak cepat kembali stabil. Setelah puas bercermin pada
kamera ponsel, saya buka kembali aplikasi media sosial itu dan menekan tombol
kirim untuk mengirim pesan ‘terimakasih’ kepada pangeran yang saya impikan
tadi. Saya kembali terpaku dengan kaca kafe tadi yang hingga sekarang masih
menampakan kemurkaannya. Tidak peduli. Saya kembali pada layar ponsel saya,
menunggu pesan manis lainnya dari pangeran. Satu, dua, empat, hingga tujuh
menit berlalu. Tidak ada satupun pesan yang dikirimnya. Hingga tiba saya pada
gelas taro kedua yang saya pesan, ponsel berbunyi menandakan satu pesan masuk. Satu
pesan yang tidak terlalu puitis seperti semula, namun mampu membuat hati leleh
membacanya kata demi kata.
“Secangkir cappucinno sore hari ditemani sepiring
waffle caramel.
Belum lagi pergantian matahari
dengan lampu kota.”
Berdegup
kembali jantung setelah mengerti apa yang dimaksudnya. Niatan bertemu dengan
saya sekedar berbincang berdua di sebuah coffeeshop.
Ingin yang sangat untuk bertemu namun satu masalah mengenai siapa saya yang
bertolak belakang dari setiap foto yang saya bagikan di media sosial. Saya
paham setiap lelaki yang melihat dan mengajak saya bertemu tidak lain adalah
karena alasan wajah cantik hasil editan yang saya buat. Ratusan kali saya
menolak ajakan dari setiap laki-laki yang mengajak saya bertemu.
Seperti
biasa, saya segera menolak ajakannya. Namun perasaan lain timbul tidak sama
seperti saya menolak laki-laki lain yang mengajak. Firasat berkata untuk
mencoba satu kali walau hanya sekedar tatap mata. Hati berkata untuk terus
ikuti walau pahit nanti hasilnya. Dan fikiran menggugah untuk tetap menemui
walau nanti si pangeran berbalik badan ketika melihat wajah saya. Kembali lagi
saya mengetik sebuah balasan untuk pesannya. Mengiyakan hingga menanyakan
tempat dan waktu. Berharap si pangeran dapat menatap mata saya sebelum ia
berpaling pergi ketika melihat wajah saya.
___
Pukul
lima sore di sebuah coffeshop yang
tidak jauh dari pusat kota walau harus masuk ke dalam jalan yang hampir menuju
perumahan. Saya masuk ke dalamnya namun tidak berusaha membuat mata berkeliling
mencarinya. Bergegas menuju toilet guna merapikan apa yang menurut saya
berantakan. Rambut, mascara, dan masker yang masih terpasang dengan talinya
yang mengikat pada kedua telinga saya. Parfum badan yang saya semprot dua kali
lebih dari biasanya. Ditambah parfum rambut yang malah saya semprot
berulang-ulang sambil menyisirnya serapi mungkin. Padahal rambut saya hanya
sepanjang bahu, namun tetap saya satu helai yang keluar dari jalur akan membuat
saya risih.
Lima
belas menit saya berada di depan wastafel, memastikan saya harus tampil cantik
sore ini. Menahan diri untuk bertengkar dengan cermin yang menampakan realitas yang
paling saya benci. Tapi sekali lagi saya memastikan bahwa diri saya siap
bertemu dengan pangeran yang saya prediksikan akan menolak mentah-mentah
putrinya yang tidak sedap di pandang ini.
Setelahnya,
saya keluar dari toilet meninggalkan wastafel dengan cermin yang sore ini tidak
menjadi musuh saya. Belum sampai langkah pertama saya meninggalkan tolite,
ponsel bordering menampakan nama yang siang tadi baru saja saya simpan
kontaknya.
Incoming call from Pangeran, yang terpampang pada layar ponsel. Kemudian jantung
kembali berdebar mencoba menjawab panggilan masuk tadi. Sebelum saya coba geser
menu jawab pada ponsel, mata saya berkeliling di sekitaran kafe untuk mencari
yang mana si pangeran ini. Mungkin ia menelfon karena sudah sampai. Saya masuk
lagi ke toilet untuk menjawab panggilannya. Menggeser menu jawab secara
perlahan dan mendekatkan ponsel di telinga kanan saya.
“Halo”
katanya.
Suara
yang membuat jantung saya semakin berguncang. Halo juga saya jawab dengan nada
halus dan perlahan. Seperti sebuah pause yang
cukup lama menunggu balasan suaranya.
“Saya
di meja nomor Sembilan” jawabnya lagi.
Kembali
kaki saya melangkah keluar, dibantu dengan kedua mata saya yang berkeliling
mencari meja dengan nomor yang diletakan, Sembilan.
Seperti
sebuah silent acting, saya
menemukannya. Duduk tepat di meja nomor Sembilan. Masih menggenggam ponsel yang
diletakan di telinganya. Saya berjalan perlahan mendekatinya dari belakang.
Tidak perduli sautan apa yang ia ucapkan di ponsel yang masih menghubungkan
saya dengannya. Langkah demi langkah kaki saya menapaki lantai kafe yang
sebagiannya tertutupi kayu jati berkesan klasik. Masih dengan keadaan jantung
yang berdegup lebih kencang, dan semakin kencang.
Kini,
saya berdiri tegap tepat satu meter di belakangnya. Si pangeran masih belum
menyadari keberadaan saya yang masih terpaku menatapnya senti demi senti. Tidak
merasakah jantung yang berdegup kencang. Tidak perduli suaranya yang masih
terdengar baik secara langsung maupun dari dalam ponsel.
Menyadari
suara yang terdengar samar-samar, pangeran menengok ke belakang. Melihat saya
yang masih berdiri terpaku menatapnya yang sedang duduk. Di kursi roda. Senyumnya
melebar seperti orang tanpa beban menyambut saya yang masih diam tidak
bergerak. Setelah mematikan ponsel dan meletakannya di saku kemejanya, kedua
tanganna meraih roda pada kursi yang didudukinya berniat untuk memutar badan
agar bisa menghadap ke tubuh saya untuk menyambut kedatangan saya lebih santun.
Wajahnya perlahan berubah kebingungan melihat saya yang masih mematung namun
tidak menghilangkan senyuman manisnya itu. Mungkin ia sadar akan kondisinya
yang sedang duduk di kursi roda, ia mengucapkan satu kalimat yang membuat tubuh
saya stabil kembali.
“Maaf”
katanya.
Kini
malah saya yang bingung mendengar kata maaf darinya. Untuk apa coba? Tapi
setelah kata maaf itu berakhir, kedua tangan dan matanya menunjukan saya
kakinya yang diletakkan pada kursi roda. Membuat saya mengerti bahwa ia tahu
akan saya yang terkejut melihat pangeran bukan dengan kuda, tapi dengan kursi
roda. Membuat saya sadar, bahwa jika saya memahaminya mungkin ia juga akan
memahami putri dengan wajah yang buruk ini. Membuat saya jatuh cinta pada
kelemahan baik miliknya maupun milik saya. Sadar, sangat sadar bahwa kepalsuan
tidak membuahkan apa-apa selain kesulitan. Kini bukan lensa kamera yang saya
cintai. Tapi dirinya, yang dapat merefleksikan bahwa saya adalah saya.
Bahkan
ketika saya melepas masker yang saya kenakan, senyumnya sama sekali tidak
pudar. Tidak bereaksi apa-apa selain mempersilahkan saya duduk menikmati cappucinno yang sudah ia pesan untuk
saya.
“Buat
apa naik kuda kalau roda bisa lebih cepat. Ini elektrik. Hahaha…” Satu kalimat
pembuka perbincangan darinya yang membuat saya kaget. Ia juga merefleksikan
dirinya sebagai pangeran? Tapi, saya rasa ini asyik. Tidak ada yang tahu kan
kalau kalimat pembuka ini membawa kami pada perbincangan yang selesai pukul dua
malam.
Allianz Tower 29th
Floor
1 Februari 2017
0 komentar:
Posting Komentar