Selasa, 07 Februari 2017

Cerpen: Lencana


Agak susah mengenakan lencana kebanggan saya pagi ini. Lencana yang saya kenakan tiap harinya pada seragam yang dapat memperkenalkan siapa saya. Biasanya karena sudah terbiasa, antara lencana dan seragam dapat menyatu dengan cepat dan kuat. Tapi pagi ini, hingga beberapa kali saya mencoba memasukan ujung penitinya ke dalam seragam namun tidak bisa masuk. Tanpa tau manfaatnya akan berguna atau tidak, saya memasukan peniti itu ke dalam mulut saya guna membasahinya agar licin dan mudah masuk ke dalam kain seragam. Setelahnya saya keluarkan tanpa ingat kalau itu adalah benda tajam, cairan merah keluar dari bibir bawah akibat ujung tajam peniti yang menyeretnya. Tidak saya anggap serius, saya hanya menindih bibir bawah dengan bibir atas agar darahnya tidak semakin banyak keluar.
Kembali saya mencoba memasukan peniti ke dalam seragam yang sudah saya arahkan terletak dua jari diatas saku sebelah kiri. Mujarabnya air liur dan darah saya mampu memasukkan peniti itu ke dalamnya. Sudah lupa saya akan darah dan kesulitan memasukkannya karena tidak ingin saya fikir terlalu runyam. Bergegaslah saya dengan mengambil tas yang terletak di meja rias. Tidak lupa topi yang menjadi simbol terbaik profesi saya. Terdengar suara yang bisa membuat gendang telinga saya pecah jika selama dua tahun terakhir saya mendengarnya pagi dan malam. Belum lagi siang yang dipenuhi teriakan ampun dan kebohongan dari tersangka tertangkap dan di bawa ke kantor. Suara dengkuran seorang lelaki yang jam segini masih terlelap dalam mimpinya. Tanpa berpamitan, saya langsung keluar meninggalkan kamar dan berjalan menuju dapur guna mengambil bekal yang telah saya buat sedari pagi sekali.
Langsung saya berjalan kembali menuju ruang tengah dan menatap pintu keluar. Jam masih menunjukan pukul 7 pagi yang diperkirakan akan membawa saya ke kantor satu jam lebih awal. Belum sampai saya meraih gagang pintu, suara lelaki tadi memanggil nama saya.
“Risa!” teriaknya dengan suara yang parau.
Berbaliklah badan saya untuk menunggunya masuk ruang tamu dan menghampiri saya. Setelah bunyi langkahnya mendekat, saya sengaja meletakan tas yang sudah saya bawa ke atas meja.
“Kamu mau kemana?” tanyanya.
Saya hanya diam menatap tajam kepadanya.
“Kamu ninggalin uang gak? Saya lagi ngidam kwetiau kayanya.”
Mata saya masih menatapnya tajam. Kini tubuhnya semakin dekat dengan saya. Tangannya mengangkat mencoba untuk merangkul. Tapi dengan sigap saya buang, saya lempar tangan itu jauh-jauh dari pundak.
“Kenapa?” tanyanya.
Kemudian saya berbalik badan dan menggenggam gagang pintu untuk segera keluar. Diraihnya tangan saya yang sedari tadi sudah mengambil tas yang sala letakkan.
“Kamu kenapa?” tanyanya kembali.
“Kapan kamu bisa ada di posisi saya?” tegas saya dengan wajah yang tidak ada senangnya.
“Maksud kamu?”
Sekali lagi dan berkali-kali, saya mulai muak mendengar setiap suara yang dikeluarkannya. Saya palingkan wajah dari pandangannya.
“Kapan kamu mau berhenti tidur, lalu bangun untuk menggantikan saya mencari nafkah?”
Ia terdiam sejenak mendengar ucapan saya barusan. Wajahnya yang terlihat bodoh perlahan berubah menjadi kerut yang menunjukan kekesalan.
“Kapan kamu mau berhenti nuntut saya?” tanyanya mulai kesal. “Saya sudah bilang, tunggu! Tunggu!”
“Sampai kapan!” bentak saya dengan suara yang bergetar.
Hening.
Saya dan dia, tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Kami diam layaknya dua pasangan yang baru saja ingin mengucapkan akad. Hanya ada keheningan yang dikelilingi ingatan-ingatan sampah antara saya dan dirinya. Sejak dua tahun lalu ia dihentikan dari pekerjaannya sebagai akuntan hingga sekarang, belum ada sama sekali niatan untuk mencari pekerjaan baru. Dua tahun, saya menafkahi diri saya dan membuang uang demi lelaki yang mungkin bisa saya anggap sebagai parasit. Saya akan menghargai jika ia melakukan kegiatan yang positif di rumah. Tapi, apakah membongkar apa yang tidak rusak dapat membuat saya senang?
Saya belum bisa membayangkan akan berkehidupan seperti ini dengan suami sejak beberapa tahun kami menikah. Saya tidak pernah mengharapkan akan pekerjaannya yang mapan, akan gajinya yang besar. Saya hanya berharap, ia bisa mencari uang untuk dirinya sendiri saja, tidak perlu untuk saya. Dua tahun saya menghabiskan gaji saya untuk biaya dapur, sewa rumah, dan makan untuk kami berdua. Boro-boro beli perhiasan, make-up, atau baju yang sedang hits untuk wanita seusia saya.
“Saya bilang sama kamu untuk SABAR! Rejeki datang gak ada yang tahu!” bentaknya kepada saya yang membuat air mata semakin mengucur deras.
“Emang kamu fikir, cari kerja itu gampang? Kamu fikir saya gak pusing mikir tiap hari!?”
Saya diam, namun beberapa kali saya tarik nafas untuk mencoba mengatakan apa yang ingin saya katakana kepadanya. Perlahan saya buka mulut dan mengumpulkan keberanian untuk berucap.
“Saya mau jadi kamu. Nungguin suami pulang ke rumah bawa makanan, tiap bulan belanja, tidur seharian tanpa mikirin siapa yang kerja.” Ucap saya perlahan.
Hening kembali menutupi suasana canggung diantara kami. Tapi kembali saya berucap, mengingatkannya akan masa dua tahun silam dimana ia sedang dibawah tekanan memikirkan statusnya sebagai suami yang tidak bekerja. Saya mengingatkan berapa banyak uang saya terbuang untuk menuruti permintaannya yang sama sekali tidak mendorong untuk kembali bekerja. Segala yang saya punya diambil. Kalung, gelang, cincin pernikahan, bahkan ponsel yang saya gunakan sehari-hari belum lama ia minta. Alasannya hanya satu, yaitu mencari pekerjaan. Tapi mana hasilnya dari dua tahun silam dari semua yang saya berikan? Ia hanya diam namun dengan wajah yang masih geram.
Saya selalu berfikir untuk menyudahi semua ini. Saya selalu berfikir untuk memintanya menceraikan saya. Sumpah, lebih baik saya merawat anak kecil yang cacat dibandingkan dengan merawatnya. Kenapa? Bukankah anak yang cacat akan sering mendapatkan santunan? Dibandingkan dengannya? Tetangga saja sudah tidak mau mengenalnya.
Banyak tetangga dan kerabat yang seringkali menawarkan pekerjaan kepadanya. Kebanyakan seperti kuli bangunan, sopir, dan pekerjaan dengan upah yang rendah. Tapi ia malah menolaknya mentah-mentah dengan membanggakan jabatannya dulu sebagai akuntan. Belum lagi mulutnya yang besar membanggakan pekerjaan saya sebagai kepala kepolisian daerah setempat. Padahal saya tahu yang dipikirkan orang dapat berbunyi seperti ini, “kok malah istrinya yang dipekerjakan, situ ngapain?”
Kembali saya lihat ia mulai ingin mengatakan sesuatu. Dibuka mulutnya perlahan dan satu kalimat yang membuat hari saya berantakan pagi-pagi.
“Selamat bekerja, sayang.”
Buru-buru saya membalikkan badan dan membuka pintu, kembali menutupnya dengan keras sehingga pintu terbanting tepat didepan wajahnya. Berjalan cepat menuju motor yang saya kendarai tanpa mencoba untuk memanaskannya terlebih dahulu, saya berangkat.
Di motor, saya masih teringat kejadian yang mungkin akan membawa mood saya sepanjang hari. Sebenarnya setiap hari saya merasakan kemalasan suami saya itu, tapi baru hari ini saya bisa mengungkapkannya. Saya sering menyindirnya baik langsung atau tidak langsung. Dengan obrolan bersama kerabat yang menyinggung masalah rutinitas malasnya atau dengan tontonan dakwah yang saya setel setiap pagi, biasanya banyak sesi tanya jawab mengenai tanggung jawab seorang suami. Tapi entah apa ia yang mengabaikan atau memang sudah tidak ada rasa ingin memulai kembali karirnya.
Hingga sampai saya pada satu persimpangan jalan. Hampir saja saya menyerempet seorang anak SMA yang hendak berjalan. Saya bunyikan klakson keras namun ia hanya berpaling dan melanjutkan perjalanannya kembali.
Kini, saya sudah di kantor. Memarkirkan motor di halaman parkir yang sudah disediakan dan masuk lewat pintu belakang. Berjalan menuju ruangan saya dan mengambil segelas air putih di pantry. Belum sempat saya duduk, seseorang mengetuk-ketuk pintu ruangan. Kebiasaan saya yang tidak pernah melarang siapapun menemui, langsung saya persilahkan untuk masuk.
“Lapor, dan!” tegasnya sambil memposisikan tangannya dalam posisi hormat. Salah seorang polisi yang jabatannya masih dibawah saya datang dengan wajah cerah.
“Ya?” tanya saya tegas.
“Kami sudah berhasil menemukan nama-nama karyawan firma yang terjerat kasus narkoba, dan?”
“Firma yang mana maksud kamu?” tanya saya heran.
Ia langsung membawa saya menuju meja kerjanya. Diperlihatkan kepada saya sebuah dokumen yang berisikan tiga lembar kertas. Saya buka dokumen itu dan terkejut melihat nama perusahaannya.
Say abaca berulang kali, memastikan apakah ada satu atau dua huruf yang salah saya baca. Memastikan alamat perusahaan yang benar-benar saya baca berulang-ulang. Tidak salah lagi, ini adalah perusahannya. Perusahaan yang menafkahi rumah tangga saya selama beberapa tahun. Perusahaan yang dulu menampung suami saya sebagai akuntannya. Siapa yang tidak berfikir negative jika melihat ini. Tiba-tiba timbul pertanyaan dan pernyataan dari otak saya tentang penyebab suami saya yang dihentikan pekerjannya. Apakah namanya masuk dalam daftar ini?
Kemudian, mata saya menyusuri tabel yang berisikan nama-nama tersangka dan jabatannya. Saya telusuri nama-nama itu memastikan nama suami saya tidak tercantum.Benar-benar saya teliti lagi berulang-ulang lembar demi lembar. Hingga lembar ketiga, tidak satupun nama yang mirip dengan nama suami saya. Tidak ada namanya.
Perasaan lega namun masih bertanya-tanya bercampur dalam diri saya. Lalu saya kembalikan dokumen itu kepada polisi yang menunjukannya kepada saya. Sebelum saya kembali ke ruangan saya, ia sempat menahan untuk menunjukan satu berkas lagi.
“Emang perusahaannya banyak masalah dan, baru terbongkar kemarin.” Katanya.
Ia memberikan saya satu buah berkas yang hanya berisi satu lembar kertas.
“Saya minta tandatangan, dan. Kita mau melakukan penangkapan pembunuh atasan perusahaan ini.” Katanya kembal. Seketika saya kaget bukan kepalang.
“Pembunuhan? Kenapa baru sekarang?” tanya saya dengan memelankan nada. Perlahan saya buka isi berkas tadi dan saya baca. Masih dengan nama perusahaan yang sama namun satu nama yang tidak ada didalam berkas sebelumnya.
Ketika saya baca, perasaan kaget dan bahagia bercampur menjadi satu. Nama suami saya terpampang jelas beserta jabatan dan alamatnya. Hari ini, penangkapannya akan dilakukan. Hari ini, ia akan dipenjarakan. Hari ini, saya akan tinggal sendirian tanpa beban.
Saya berfikir mungkin ia akan dihukum mati. Akan kalah melawan kuasa hukum dari orang yang telah dibunuhnya.
Kini, hanya satu tugas saya. Menahan malu.
Kini, hanya ada saya.
Dan kini, hanya saya.


Jakarta, 26 Januari 2017

Allianz Tower, 29th floor
Share:

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.