![]() |
Kembali saya mencoba memasukan peniti ke dalam
seragam yang sudah saya arahkan terletak dua jari diatas saku sebelah kiri. Mujarabnya
air liur dan darah saya mampu memasukkan peniti itu ke dalamnya. Sudah lupa
saya akan darah dan kesulitan memasukkannya karena tidak ingin saya fikir
terlalu runyam. Bergegaslah saya dengan mengambil tas yang terletak di meja
rias. Tidak lupa topi yang menjadi simbol terbaik profesi saya. Terdengar suara
yang bisa membuat gendang telinga saya pecah jika selama dua tahun terakhir
saya mendengarnya pagi dan malam. Belum lagi siang yang dipenuhi teriakan ampun
dan kebohongan dari tersangka tertangkap dan di bawa ke kantor. Suara dengkuran
seorang lelaki yang jam segini masih terlelap dalam mimpinya. Tanpa berpamitan,
saya langsung keluar meninggalkan kamar dan berjalan menuju dapur guna
mengambil bekal yang telah saya buat sedari pagi sekali.
Langsung saya berjalan kembali menuju ruang tengah
dan menatap pintu keluar. Jam masih menunjukan pukul 7 pagi yang diperkirakan
akan membawa saya ke kantor satu jam lebih awal. Belum sampai saya meraih
gagang pintu, suara lelaki tadi memanggil nama saya.
“Risa!” teriaknya dengan suara yang parau.
Berbaliklah badan saya untuk menunggunya masuk ruang
tamu dan menghampiri saya. Setelah bunyi langkahnya mendekat, saya sengaja
meletakan tas yang sudah saya bawa ke atas meja.
“Kamu mau kemana?” tanyanya.
Saya hanya diam menatap tajam kepadanya.
“Kamu ninggalin uang gak? Saya lagi ngidam kwetiau
kayanya.”
Mata saya masih menatapnya tajam. Kini tubuhnya
semakin dekat dengan saya. Tangannya mengangkat mencoba untuk merangkul. Tapi
dengan sigap saya buang, saya lempar tangan itu jauh-jauh dari pundak.
“Kenapa?” tanyanya.
Kemudian saya berbalik badan dan menggenggam gagang
pintu untuk segera keluar. Diraihnya tangan saya yang sedari tadi sudah
mengambil tas yang sala letakkan.
“Kamu kenapa?” tanyanya kembali.
“Kapan kamu bisa ada di posisi saya?” tegas saya
dengan wajah yang tidak ada senangnya.
“Maksud kamu?”
Sekali lagi dan berkali-kali, saya mulai muak
mendengar setiap suara yang dikeluarkannya. Saya palingkan wajah dari
pandangannya.
“Kapan kamu mau berhenti tidur, lalu bangun untuk
menggantikan saya mencari nafkah?”
Ia terdiam sejenak mendengar ucapan saya barusan.
Wajahnya yang terlihat bodoh perlahan berubah menjadi kerut yang menunjukan
kekesalan.
“Kapan kamu mau berhenti nuntut saya?” tanyanya mulai
kesal. “Saya sudah bilang, tunggu! Tunggu!”
“Sampai kapan!” bentak saya dengan suara yang
bergetar.
Hening.
Saya dan dia, tidak mengucapkan sepatah kata apapun.
Kami diam layaknya dua pasangan yang baru saja ingin mengucapkan akad. Hanya
ada keheningan yang dikelilingi ingatan-ingatan sampah antara saya dan dirinya.
Sejak dua tahun lalu ia dihentikan dari pekerjaannya sebagai akuntan hingga
sekarang, belum ada sama sekali niatan untuk mencari pekerjaan baru. Dua tahun,
saya menafkahi diri saya dan membuang uang demi lelaki yang mungkin bisa saya
anggap sebagai parasit. Saya akan menghargai jika ia melakukan kegiatan yang
positif di rumah. Tapi, apakah membongkar apa yang tidak rusak dapat membuat
saya senang?
Saya belum bisa membayangkan akan berkehidupan
seperti ini dengan suami sejak beberapa tahun kami menikah. Saya tidak pernah
mengharapkan akan pekerjaannya yang mapan, akan gajinya yang besar. Saya hanya
berharap, ia bisa mencari uang untuk dirinya sendiri saja, tidak perlu untuk
saya. Dua tahun saya menghabiskan gaji saya untuk biaya dapur, sewa rumah, dan
makan untuk kami berdua. Boro-boro beli perhiasan, make-up, atau baju yang sedang hits
untuk wanita seusia saya.
“Saya bilang sama kamu untuk SABAR! Rejeki datang
gak ada yang tahu!” bentaknya kepada saya yang membuat air mata semakin
mengucur deras.
“Emang kamu fikir, cari kerja itu gampang? Kamu
fikir saya gak pusing mikir tiap hari!?”
Saya diam, namun beberapa kali saya tarik nafas
untuk mencoba mengatakan apa yang ingin saya katakana kepadanya. Perlahan saya
buka mulut dan mengumpulkan keberanian untuk berucap.
“Saya mau jadi kamu. Nungguin suami pulang ke rumah
bawa makanan, tiap bulan belanja, tidur seharian tanpa mikirin siapa yang
kerja.” Ucap saya perlahan.
Hening kembali menutupi suasana canggung diantara
kami. Tapi kembali saya berucap, mengingatkannya akan masa dua tahun silam
dimana ia sedang dibawah tekanan memikirkan statusnya sebagai suami yang tidak
bekerja. Saya mengingatkan berapa banyak uang saya terbuang untuk menuruti
permintaannya yang sama sekali tidak mendorong untuk kembali bekerja. Segala
yang saya punya diambil. Kalung, gelang, cincin pernikahan, bahkan ponsel yang
saya gunakan sehari-hari belum lama ia minta. Alasannya hanya satu, yaitu
mencari pekerjaan. Tapi mana hasilnya dari dua tahun silam dari semua yang saya
berikan? Ia hanya diam namun dengan wajah yang masih geram.
Saya selalu berfikir untuk menyudahi semua ini. Saya
selalu berfikir untuk memintanya menceraikan saya. Sumpah, lebih baik saya
merawat anak kecil yang cacat dibandingkan dengan merawatnya. Kenapa? Bukankah
anak yang cacat akan sering mendapatkan santunan? Dibandingkan dengannya?
Tetangga saja sudah tidak mau mengenalnya.
Banyak tetangga dan kerabat yang seringkali
menawarkan pekerjaan kepadanya. Kebanyakan seperti kuli bangunan, sopir, dan
pekerjaan dengan upah yang rendah. Tapi ia malah menolaknya mentah-mentah
dengan membanggakan jabatannya dulu sebagai akuntan. Belum lagi mulutnya yang
besar membanggakan pekerjaan saya sebagai kepala kepolisian daerah setempat.
Padahal saya tahu yang dipikirkan orang dapat berbunyi seperti ini, “kok malah
istrinya yang dipekerjakan, situ ngapain?”
Kembali saya lihat ia mulai ingin mengatakan
sesuatu. Dibuka mulutnya perlahan dan satu kalimat yang membuat hari saya
berantakan pagi-pagi.
“Selamat bekerja, sayang.”
Buru-buru saya membalikkan badan dan membuka pintu,
kembali menutupnya dengan keras sehingga pintu terbanting tepat didepan
wajahnya. Berjalan cepat menuju motor yang saya kendarai tanpa mencoba untuk
memanaskannya terlebih dahulu, saya berangkat.
Di motor, saya masih teringat kejadian yang mungkin
akan membawa mood saya sepanjang
hari. Sebenarnya setiap hari saya merasakan kemalasan suami saya itu, tapi baru
hari ini saya bisa mengungkapkannya. Saya sering menyindirnya baik langsung
atau tidak langsung. Dengan obrolan bersama kerabat yang menyinggung masalah
rutinitas malasnya atau dengan tontonan dakwah yang saya setel setiap pagi,
biasanya banyak sesi tanya jawab mengenai tanggung jawab seorang suami. Tapi
entah apa ia yang mengabaikan atau memang sudah tidak ada rasa ingin memulai
kembali karirnya.
Hingga sampai saya pada satu persimpangan jalan.
Hampir saja saya menyerempet seorang anak SMA yang hendak berjalan. Saya
bunyikan klakson keras namun ia hanya berpaling dan melanjutkan perjalanannya
kembali.
Kini, saya sudah di kantor. Memarkirkan motor di
halaman parkir yang sudah disediakan dan masuk lewat pintu belakang. Berjalan
menuju ruangan saya dan mengambil segelas air putih di pantry. Belum sempat
saya duduk, seseorang mengetuk-ketuk pintu ruangan. Kebiasaan saya yang tidak
pernah melarang siapapun menemui, langsung saya persilahkan untuk masuk.
“Lapor, dan!” tegasnya sambil memposisikan tangannya
dalam posisi hormat. Salah seorang polisi yang jabatannya masih dibawah saya
datang dengan wajah cerah.
“Ya?” tanya saya tegas.
“Kami sudah berhasil menemukan nama-nama karyawan firma
yang terjerat kasus narkoba, dan?”
“Firma yang mana maksud kamu?” tanya saya heran.
Ia langsung membawa saya menuju meja kerjanya. Diperlihatkan
kepada saya sebuah dokumen yang berisikan tiga lembar kertas. Saya buka dokumen
itu dan terkejut melihat nama perusahaannya.
Say abaca berulang kali, memastikan apakah ada satu
atau dua huruf yang salah saya baca. Memastikan alamat perusahaan yang
benar-benar saya baca berulang-ulang. Tidak salah lagi, ini adalah
perusahannya. Perusahaan yang menafkahi rumah tangga saya selama beberapa
tahun. Perusahaan yang dulu menampung suami saya sebagai akuntannya. Siapa yang
tidak berfikir negative jika melihat ini. Tiba-tiba timbul pertanyaan dan
pernyataan dari otak saya tentang penyebab suami saya yang dihentikan
pekerjannya. Apakah namanya masuk dalam daftar ini?
Kemudian, mata saya menyusuri tabel yang berisikan
nama-nama tersangka dan jabatannya. Saya telusuri nama-nama itu memastikan nama
suami saya tidak tercantum.Benar-benar saya teliti lagi berulang-ulang lembar
demi lembar. Hingga lembar ketiga, tidak satupun nama yang mirip dengan nama
suami saya. Tidak ada namanya.
Perasaan lega namun masih bertanya-tanya bercampur
dalam diri saya. Lalu saya kembalikan dokumen itu kepada polisi yang
menunjukannya kepada saya. Sebelum saya kembali ke ruangan saya, ia sempat
menahan untuk menunjukan satu berkas lagi.
“Emang perusahaannya banyak masalah dan, baru
terbongkar kemarin.” Katanya.
Ia memberikan saya satu buah berkas yang hanya
berisi satu lembar kertas.
“Saya minta tandatangan, dan. Kita mau melakukan
penangkapan pembunuh atasan perusahaan ini.” Katanya kembal. Seketika saya
kaget bukan kepalang.
“Pembunuhan? Kenapa baru sekarang?” tanya saya
dengan memelankan nada. Perlahan saya buka isi berkas tadi dan saya baca. Masih
dengan nama perusahaan yang sama namun satu nama yang tidak ada didalam berkas
sebelumnya.
Ketika saya baca, perasaan kaget dan bahagia
bercampur menjadi satu. Nama suami saya terpampang jelas beserta jabatan dan
alamatnya. Hari ini, penangkapannya akan dilakukan. Hari ini, ia akan
dipenjarakan. Hari ini, saya akan tinggal sendirian tanpa beban.
Saya berfikir mungkin ia akan dihukum mati. Akan
kalah melawan kuasa hukum dari orang yang telah dibunuhnya.
Kini, hanya satu tugas saya. Menahan malu.
Kini, hanya ada saya.
Dan kini, hanya saya.
Jakarta, 26 Januari 2017
Allianz Tower, 29th floor
0 komentar:
Posting Komentar