Setelah
polesan terakhir yang dinamakan blush on membuat
pipi keriput saya memerah, kini saya siap menyaksikan satu hari yang mungkin
bisa saya sebut sebagai tayangan ulang sebuah pernikahan tua. Ya, hari ini
adalah hari pernikaha cucu perempuan saya satu-satunya. Ia menikahi seorang
pengusaha kedai kopi sukses di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Pernikahan
ini dilangsungkan di sebuah taman kecil yang hanya muat sekitar tujuh puluh
orang.
Semenjak bangun tidur, saya merasa
setiap menit kejadiannya pernah saya rasakan. Pasti. Hari itu, tepat pada
pertengah Desember masa penjajahan silam, saya juga berada di posisi seperti
ini dengan pemuda yang saya cintai. Seorang pengusaha rumah makan Cina yang
semenjak pandangan pertama telah saya cinta. Tepat ketika saya membuka kedua
mata saya dari tidur yang gelisah semalam, hal yang pertama saya lihat adalah
sebuah lampu pijar di samping kanan kepala saya. Begitupun dengan di hotel yang
saya singgahi ini. Lampu pijar warna hangat yang mengingatkan saya akan hari
yang sama.
Setelah semua nyawa saya terkumpul
dan bisa berusaha bangun dari kasur empuk namun tulang remuk saya yang semakin
keropos ini, saya menjalani ritual pagi dengan memejamkan mata sebentar dalam
posisi duduk dan bersyukur atas nikmat tuhan karena di umur yang semakin renta
ini, saya masih diberikan kesempatan untuk membuka mata di setiap hari saya
bangun tidur. Kenangan itu muncul kembali setelah saya melihat sebuah buket
bunga yang diletakan di samping meja televisi. Sama seperti hari pernikahan
saya dulu, sama dengan buket bunga yang diletakan di meja, namun di samping
radio tua.
Oma,
terimakasih. Gaunnya kuno, tapi cantik.
-Rea
Begitu yang tertulis dalam sebuah
memo di dalam buket. Sebuah gaun tua milik saya yang sengaja saya minta kepada
cucu saya untuk memakainya saat hari pernikahaannya. Berbahan satin dengan
pundak yang mengembang, tua. Tapi itulah cucu saya. Ia sangat menyayangi saya.
Apapun yang ia minta, saya berusaha untuk menurutinya. Begitupun dengan ia. Kali
ini saya memintanya mengenakan gaun tua itu untuk mengingatkan kembali akan
kenangan indah ketika masa pernikahan wanita tua ini dulu.
Kini
saya duduk di sebuah kursi putih di ruang rias. Niatnya saya yang mengenakan
gaun itu, tapi itu kan gaun pernikahan. Lagipula sudah tidak muat di bagian
pinggang. Akhirnya Rea membuatkan saya sebuah kebaya modern berwarna biru muda
beserta kain batiknya. Setelah riasan saya selesai, kini saya menunggu Rea
keluar dari ruang gantinya dengan gaun cantik yang saya berikan. Mata saya
menjurus ke sebuah kotak perhiasan kecil di atas meja. Kenangan itu muncul
lagi. Ketika saya membuka sebuah kotak yang berisikan kalung mutiara pemberian
dari ibu mertua saat hari pernikahan dulu. Saya ambil kotak itu dan saya buka
perlahan. Ya, sama. Isinya sebuah kalung emas putih dengan mutiara di tengahnya.
Ini milik Rea. Tapi apakah ia akan mengenakannya?
Setelah
pintu ruang ganti terbuka, keluarlah Sana, menantu perempuan saya yang
merupakan ibunda Rea.
“Agak
kecil di bagian pinggang, tapi masih bisa diatasi,” katanya.
Rea
keluar dari ruangan itu. Saya melihatnya. Dari bawah. Dari lantai. Sebuah kain
berwarna putih pucat menjulur melebihi kaki. Menyeret di lantai putih yang berantakan
karena pakaian yang dibuang kemana-mana. Kemudian saya naik ke pinggul. Sebuah layer gaun berwarna keemasan terbentang
disana. Saya lihat jemarinya mengenakan cincin permata biru muda senada dengan
gaun yang saya kenakan saat ini. Kemudian di bagian dadanya tersemat sebuah
kalung mutiara yang pada hari itu saya lihat di kotak tepat di meja rias saya. Rambutnya
yang disanggul kepang membuatnya tidak seperti mengenakan gaun kuno milik
neneknya.
Rea,
saya tidak melihatnya. Ia adalah saya 54 tahun yang lalu. Ia adalah seorang
pribumi yang dinikahi etnis Tionghoa pengusaha rumah makan saat itu. Ini adalah
hari pernikahan saya. Hari dimana saya menjadi nyonya dari pemilik rumah makan
sukses di sini. Rea hari ini adalah saya. Rea hari ini adalah neneknya 54 tahun
lalu.
Saya
beranjak dari kursi dan menghampirinya. Saya letakkan kedua telapak tangan
keriput saya di pipinya yang merah merona. Dilihatnya saya dengan tatapan haru
yang berkaca-kaca pada kedua matanya.
“Kamu
cantik,” kata saya.
Ia
balas dengan tertawa kecil bersama dengan airmata yang mengalir membasahi pipi.
Langsung saya usap agar tidak merusak riasannya yang cantik ini. Mata itu
adalah mata ibu mertua saya ketika saya
mengenakan gaun yang sama. Saya melihatnya disana. Tatapan haru kedua pasang
mata yang saling tatap.
“Semuanya
sudah menunggu di luar, ayo!” ucap Sana.
Kami
semua mengiring Rea keluar menuju pelataran. Seingat saya, di hari pernikahan
saya dulu gaun ini sempat tersangkut pada pintu. Maka dari itu saya membukakan
pintu untuk Rea. Tapi begini, namanya juga lansia pasti dilarang untuk berbuat
apa-apa. Lalu saya bilang, “jangan sampai gaun ini tersangkut!”
Benar
saja, belum sempat dua langkah keluar, Rea berhenti melangkah. Ia menginkan
bagian belakang gaunnya yang melilit kakinya. Saya hanya mendengus melihatnya.
“Hati-hati,
gaun ini sudah lama. Bahannya sudah tidak bagus,” ucap seorang penata rias yang
membantu Rea keluar.
“Tidak!
Gaun ini tidak akan rusak,” ucap saya membalasnya.
Semua
yang berada disana hanya saling tatap kebingungan. Kemudian saya mengajak
mereka untuk terus berjalan.
Kini
kami tiba di pelataran. Sebuah taman kecil dengan beberapa kursi yang dibalut
kain putih sudah berjejer rapih menghadap sebuah panggung kecil yang membentuk
pelaminan. Saya dituntung untuk duduk di kursi depan agar bisa melihat Rea dan
calon suaminya mengikrarkan janji suci mereka.
Kenangan
itu kembali memuncak. Saya melihat ke belakang dan disana sudah ada Rea bersama
ibunya. Kembali lagi saya melihat sebuah pernikahan suci 54 tahun silam dengan
gaun yang sama. Saya melihat seorang gadis yang muda kembali 54 tahun lalu
berjalan menyusuri karpet di taman dengan taburan bunga-bunga halus di
bawahnya. Saya melihat seorang gadis yang muda kembali 54 tahun lalu berjalan
dengan gaun cantik nuansa Belanda yang menyeret di bagian belakangnya. Perlahan
saya beranjak dari tempat duduk saya dan mulai meneteskan air mata perlahan.
Kemudian
saya berpaling ke depan. Saya melihat disana, di atas pelaminan seorang
laki-laki muda berparas Cina sedang menunggu saya berjalan menyusulnya. Laki-laki
itu tersenyum menyambut calon mempelai wanitanya. Saya ingat betul waktu itu.
Ia, laki-laki yang saya cinta berdiri tegak menyambut kedatangan saya dengan
tangannya. Rea, tangkap tangannya. Ia adalah masa depanmu. Ia adalah imam
untukmu.
“Ini
adalah déjà vu yang sangat dahsyat untuk seorang wanita tua seperti kita kan.”
Begitulah
yang saya ceritakan kepada teman-teman di panti jompo ini. Sudah sekitar lima
tahun saya tinggal disini sekarang. Lima tahun saya tinggal bersama
sahabat-sahabat yang bersama-sama menantikan ajal. Lalu kemana keluarga yang
saya ceritakan barusan? Tebak saja, apakah seorang pengusaha sukses akan terus
tinggal di negerinya sendiri? Apakah seorang pengusaha kaya akan peduli dengan
nenek mertuanya yang sudah tidak bisa lagi member apa-apa?
“Kemana
Rea dan suaminya sekarang?” Tanya salah seorang panitia yang masih belia yang
saat itu sedang mengadakan sebuah bakti sosial dip anti.
“Mereka
bercinta di negeri tirai bambu,” jawab saya.
Kemudian
saya memandangi jendela di depan dan masih menunggu tuhan memanggil saya
sehingga kenangan ini tidak terulang setiap harinya.
What’s
Up Café
30
Desember 2017