Minggu, 18 Desember 2022

Selebrasi Luka

 


        Masih duduk di mejanya, pina colada yang ia pesan dua jam lalu. Matanya terus memandangi tebing yang menyelimuti lautan Perissa. Tatapannya kosong, padahal banyak orang berlalu-lalang mengitari matanya, banyak angin menghembus rambutnya, banyak air yang menunggunya menenggelamkan diri untuk melupakan apa yang ia rasakan enam hari belakangan. Perissa akan menjadi pantai terakhir yang akan ia kunjungi sepanjang hidupnya. Sudah tidak mau lagi ia menginjakkan kakinya di pasir-pasir lembut ataupun batuan pesisir yang biasanya didambakan banyak manusia.

Dari tatapannya yang kosong, pikirannya ramai merayakan memori manis yang ia alami seminggu ini di Santorini. Walaupun hari terakhir ia duduk seorang diri di bawah tenda bambu di pinggiran pantai Perissa, enam hari sebelumnya, ruang hatinya penuh dengan kisah dari satu orang yang bersamanya sepanjang pulau. Santorini menjadi tanah yang dipijaknya berdua dengan seorang lelaki yang sudah dikenalnya enam bulan lalu, Callum—sosok yang hadir di tengah rasa kehilangan mendalam akan mantan kekasihnya. Untuk menghormati perasaannya, kisahnya bersama si mantan akan dibungkam sepanjang cerita ini. Mari kita bahas tentang malam-malam indah bersama Callum.

Perjalanannya dengan Callum sudah mereka rencanakan sejak dua bulan lalu, saat ia akhirnya mendapat promosi atas kedudukannya di kantor. Ia mengajaknya merayakan momentum itu dengan mengunjungi suatu tempat yang paling ia benci. Awalnya ia bingung, untuk apa pergi ke suatu tempat yang tidak akan ia sukai. Namun begitulah cara Callum membuatnya jatuh hati, pikirannya selalu berbeda dan sering membuatnya bertanya-tanya. 

“Kenapa kamu membenci Santorini?” tanya Callum yang matanya tidak lepas dari memandanginya sejak bangun tidur.

“Aku benci romansa. Pulau yang selalu menjadi tujuan orang bercinta, bulan madu, merayakan selebrasi percintaannya.”

Callum hanya tersenyum. Mengerti apa yang ia maksud dengan romansa-romansa picisan yang diglorifikasi manusia. Namun Callum melihatnya dengan cara yang berbeda. Ia melihatnya dengan cinta. Selebrasi apapun yang dirayakan kebanyakan insan di suatu tempat merupakan penghormatan atas perasaan cinta yang selama ini mereka bangun bersama. Saat itu pendapatnya tidak ia utarakan Ia tetap tersenyum memandangi matanya yang tidak terlepas sejak tadi hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berangkat ke Santorini.

Kisahnya berawal di Fira, ibukota Santorini yang padat dengan bangunan-bangunan cantik khas pulau tersebut. Betul anggapannya akan banyak pasangan yang bercumbu, berpelukan, dan saling melontarkan kata-kata cinta di sana. Walaupun ia pergi dengan Callum yang lengannya selalu siap merangkulnya setiap saat, namun kebenciannya akan Santorini masih belum berubah. 

“Mereka manis,” kata Callum memandangi satu pasangan yang sedang bercanda bersandar di antara toko-toko souvenir di Fira.

“Iya, karena mereka utuh,” balasnya. 

Callum langsung memandanginya dengan tatapan maaf. Merasa sedikit kecewa dengan apa yang diucapnya saat itu. Ia pun juga merasa bersalah mengucapkan hal tersebut. Pikirannya dipenuhi dengan penyesalan setelah melihat wajah Callum yang berusaha tenang.

“Maksud saya..”

“Tidak apa. Saya tidak akan melihat pasangan-pasangan lain di sini. Kamu fokus saya sekarang,” jelas Callum kepadanya.

Kalimat itu yang selalu terngiang. Kalimat yang selalu membuatnya merasa tidak percaya bahwa Callum merupakan manusia nyata yang hadir di hidupnya. Ia sadar bahwa ia bukanlah orang yang sempurna. Ia sadar bahwa ia bukanlah orang yang berhak mendapatkan Callum. Namun Callum selalu membuatnya merasa hidup dengan tiap kalimat yang keluar dari mulutnya. 

“Dari semua yang sudah dikunjungi, pantai mana yang paling kamu suka?” tanyanya saat menunggu matahari terbenam di Oia.

Seperti biasa, Callum akan menatap matanya dalam dengan senyum bulan sabit merahnya lalu berucap, “saya suka kamu seribu kali, berarti pantai-pantai itu ada di urutan setelahnya.”

Hati siapa yang tidak berdegup mendengar hal tersebut. Walaupun sudah tak terhitung berapa ratus kali Callum mengucapkan kalimat-kalimat manis seperti itu, namun perasaannya tetap sama ketika ia pertama kali menyuarakannya. Selain tersipu, ia masih belum mendapatkan jawaban yang diinginkan. Ia tanyakan sekali lagi tentang pantai hingga akhirnya Callum menyebutkan satu nama.

“Semua pantai di Santorini,” katanya.

Ia mencerna jawaban Callum. Padahal selama beberapa hari itu, hanya dua pantai yang mereka kunjungi. Wajahnya terpasang ekspresi tanya yang langsung membuat Callum sadar untuk memberikan alasannya.

“Karena saya mengunjungi pantai-pantai lain tanpa kamu.”

Lagi. Satu kalimat sampah dari Callum yang rasanya manis sekali. Seperti biasa, ia tersipu untuk kesekian kalinya hingga memutuskan untuk tidak mendiskusikan persoalan pantai dengan Callum.

Sore itu di Oia, mereka menunggu matahari terbenam. Sebagaimana pusat wisata pada umumnya, Oia ramai pengunjung. Setiap ujungnya selalu penuh dengan antrean orang-orang yang hendak berfoto. Benar saja pikirnya, akan banyak pasangan yang merayakan cinta di sana, mengabadikan momen percintaannya di komplek hotel yang cantik itu. 

“Benar saja, banyak pasangan di sini. Sok romantis” katanya.

Dengan tatapan lembutnya, Callum meraih satu persatu jari-jarinya. Digenggam tangannya tanpa mengalihkan pandangannya dari mata yang selalu ia tatap itu.

“Menurutmu, kita pasangan atau bukan?”

Pertanyaan itu yang membuat otaknya berhenti bekerja. Tiba-tiba ribuan hal berputar di pikirannya, mencari jawaban tepat yang tidak merusak perasaan Callum, tidak membuat efek berlanjut, dan tidak menimbulkan ekspektasi.

“Tidak usah dijawab,” lanjut Callum.

Mataharinya perlahan terbenam. Memancarkan cahaya jingga yang menyebar di sekeliling langit Santorini. Mata Callum yang terpaku kuat di matanya kini beralih memandang paparan langit dari puncak tertinggi Oia. Begitupun dengan ia yang sebelumnya dibuat mati kutu dengan pertanyaan Callum, kini bergabung dengan Callum yang sedang asyik menikmati lembutnya warna langit kota itu. Kebenciannya dengan Santorini memang masih tersimpan, apalagi dengan dilihatnya banyak pasangan yang mengumbar-umbar cinta di sana. Namun hatinya tidak bisa dibohongi. Keindahan panorama matahari terbenam di Oia memang sesempurna itu. Tumpukan bangunan putih-biru yang saling merekat membuat puncak Oia terlihat tenang. 

Saat ini mereka berdua memandangi matahari terbenam—dengan ribuan pasangan lain yang sedang merayakan cinta di sana. Semuanya hening—hanya mata yang menjadi indera satu-satunya yang bekerja. Perasaan bencinya akan Santorini tertutup semakin gelap dengan dilihatnya momen matahari terbenam itu. Hatinya tidak lagi memikirkan pasangan-pasangan basi cinta yang ia hindari di pulau ini. Di pikirannya hanya ada ia, Santorini, dan matahari. Matanya berbinar memantulkan awan keunguan yang sedang disaksikannya saat itu.

Tenggelamlah matahari Santorini. Pandangannya kini berpaling ke orang yang berdiri di sampingnya sejak matahari bersiap untuk tidur.

“Cantik, ya?” tanyanya.

Callum hanya tersenyum, memandanginya seperti biasa.

“Cantik, kan? Mataharinya?” tanyanya kembali.

Tanpa menghapus senyumnya, Callum mengangkat kedua bahunya menandakan sesuatu yang juga hendak ia sampaikan.

“Saya tidak tahu soal mataharinya. Sedari tadi hanya kamu yang saya lihat.”

Masih tersanjung. Tetapi kali ini, ia sedikit kecewa dengan Callum yang melewati terbenamnya matahari Santorini yang belum tentu ia lihat lagi lain waktu. 

“Callum, saya tidak paham dengan kamu yang terus seperti ini. Tapi momen ini belum tentu akan terulang, kan?” tanyanya yang sedikit emosi.

Senyumnya belum lepas. Dengan tenang, Callum melontarkan jawaban yang justru semakin membuatnya emosi.

“Memang kamu tidak mau pergi memandangi matahari lagi dengan saya?”

Momen matahari terbenamnya tersimpan sejenak. Keributan sedikit terpantik di benaknya. Ribuan tanya yang selama ini ia simpan tentang pujian dan kalimat-kalimat manis Callum hendak ia keluarkan saat itu juga. Di tengah kegelapan langit Santorini, begini katanya.

“Callum, saya tidak percaya kamu nyata. Bisa kita saling jujur di sini?”

“Kenapa?” tanya Callum yang merasa terintimidasi.

“Saya bukan nabi, kenapa kamu terus membuat saya sebagai manusia paling sempurna di semesta?”

“Memang kamu begitu di mata saya.”

“Tidak, Cal. Saya minta kejujuran. Apa maksud kamu begini?” nadanya semakin tinggi, namun tetap menahan amarah mengingat masih banyak pasangan yang bermesraan di sana.

“Saya tidak ada maksud apa-apa. Saya memang mengagumi kamu.”

“Lalu saya ini apa di hidup kamu?”

___ 

Masih duduk di mejanya, pina colada yang ia pesan dua jam lalu. Matanya terus memandangi tebing yang menyelimuti lautan Perissa. Tatapannya kosong, padahal banyak orang berlalu-lalang mengitari matanya, banyak angin menghembus rambutnya, banyak air yang menunggunya menenggelamkan diri untuk melupakan apa yang ia rasakan enam hari belakangan. Perissa akan menjadi pantai terakhir yang akan ia kunjungi sepanjang hidupnya. Sudah tidak mau lagi ia menginjakkan kakinya di pasir-pasir lembut ataupun batuan pesisir yang biasanya didambakan banyak manusia—kecuali ia. 

Sejak malam itu, ia belum lagi siap menemui Callum. Ruang hatinya kosong dengan waktu yang panjang namun tiada seorangpun di pikirannya saat ini. Kalimat-kalimat manis yang disenandungkan Callum sepanjang kisah romansanya hingga pulau cinta di Yunani ini berubah menjadi pedang yang menusuk setiap bagian dagingnya. Perasaannya hancur setelah menikmati matahari terbenam yang anggun dengan tiap kata yang keluar dari mulut Callum saat itu. Awalnya ia membenci Santorini dengan cerita cintanya, kini ia membenci pulau itu dengan patah hatinya.

“Lalu saya ini apa di hidup kamu?”

Pertanyaan itu menjadi jalan awal Callum mengajaknya ke sebuah titik sepi di undakan Oia. Di sana mereka berdua duduk dengan gelapnya langit Santorini, namun masih bisa melihat satu sama lain berkat cahaya remang refleksi lampu-lampu bangunan di sekitarnya. Callum menyingkirkan senyumnya saat itu. Suasana yang semula dinikmati sepanjang perjalanan selebrasi cinta di Santorini berubah menjadi momen yang menegangkan. Banyak dugaan berputar di pikirannya akan apa yang diucapkan Callum nantinya setelah mereka sudah duduk dengan tenang di kursi tersebut.

“Kenapa kamu melewatkan mataharinya?” tanyanya kembali pada Callum.

“Aku bisa melihatnya lain waktu.”

“Kapan?”

Wajah Callum berpaling, memutar matanya ke arah langit yang tenang. 

“Maafkan saya,” tutur Callum.

Ribuan tanya langsung menyeruak di pikirannya. Mulutnya langsung membalas dengan pertanyaan yang berharap alasan.

“Istri saya tinggal di sini.”


Santorini,

23 Juni 2022


Share:

Rabu, 09 November 2022

Memori Hantu di Sudut Sempit Gang Shambles



        Kepalanya tergeletak di atas setapak gang Shambles. Badannya duduk dengan tenang bersandar pada tembok toko tua yang masih bau roti. Tangan kanannya melinting-linting rambutnya yang panjang, sedangkan tangannya yang satu lagi—tidak ada, hanya tangan kanan. Begitulah rupa Gustav, salah satu hantu penghuni Shambles dengan tubuh hampir lengkap. Kepala yang terputus, namun masih bisa ia bawa kemana-mana. Tangannya sisa satu, sebelah kanan, yang untungnya ia tidak kidal. Sisanya masih lengkap, walaupun nyawanya telah hilang ratusan tahun lalu. Kalau ditanya penyebab kematiannya, Gustav selalu lupa karena saraf otaknya telah putus bersamaan dengan kepalanya. Yang ia tahu, pemenggal kepalanya merupakan algojo yang andal. Pasalnya, penggalan kepalanya simetris—lurus.

Malam itu ia duduk sendirian setelah seharian mengelilingi jalan pertokoan di Shambles. Pengunjung pusat kota York hari itu tidak telalu banyak, namun tetap saja masih terlihat padat. Banyak turis asing yang datang untuk merasakan nuansa Diagon Alley—daerah pertokoan dari kisah Harry Potter. Benar memang adanya bahwa Shambles merupakan Diagon Alley di realita. Gang kecil dengan setapak batu, pertokoan penuh warna, dan hantu-hantu yang berlalu-lalang menyusuri jalan tersebut. Akan tetapi, yang dicari pengunjung hanya gang dan pertokoan. Mereka tidak peduli akan adanya hantu atau makhluk halus yang sebenarnya padat berkeliaran di sekitar lingkungan tersebut.

Hantu-hantu tersebut awalnya menyalahkan si Harry Potter yang mengubah perspektif masyarakat terhadap Shambles menjadi tempat wisata. Padahal, mereka inginnya menjadikan daerah ini sebagai lingkungan seram yang ditakuti warga lokal York. Apalagi bagi Lady Martha, hantu wanita iseng dengan gaun lebar nan tebal yang sukanya menakuti pejalan kaki yang melewati Shambles. Lady Martha memiliki suara tawa yang nyaring memekikkan telinga. Siapapun yang mendengarnya bisa lari terbirit-birit hingga demam berhari-hari. Begitupun dengan Phillip, bocah imut yang mampu membuat warga terkesima dengannya. Ia bisa saja menggoda warga dengan wajah imutnya hingga akhirnya mereka dikejutkan dengan dadanya yang berlubang sebesar mangkuk sup. Begitupun dnegan hantu-hantu lainnya—jenuh dan tidak tahu harus berbuat apa. Yang dapat mereka lakukan saat ini hanya berjalan-jalan mengelilingi Shambles hingga dunia berakhir.

Sama halnya dengan hantu-hantu tersebut, Gustav juga melakukan hal yang sama. Tetapi, ada satu hal unik yang biasa dilakukan Gustav selain mengelilingi Shambles. Ia gemar sekali menghirup aroma tubuh pengunjung Shambles. Hal itu ia lakukan setiap hari sejak gang tersebut menjadi destinasi wisata. Awalnya, ia menjalankan rutinitasnya untuk menakuti warga yang lewat. Hingga suatu hari ia menghidup aroma tubuh seseorang sangat mirip dengan figur yang dianggap penting baginya. Aroma yang bisa membuka memori Gustav sedikit demi sedikit ketika menciumnya. Saat hirupan pertama, ingatannya tentang sebuah kastil terbuka. Buru-buru ia cari orang tersebut dengan mengendus-endus setiap tikungan jalan. Sayangnya, aroma itu menghilang perlahan hingga Gustav hilang arah dan tidak menemukan orang itu lagi.

Tanpa pernah putus asa, ia terus mencari aroma tersebut setiap harinya. Setiap pengunjung yang datang—siapapun itu, baik laki-laki atau perempuan maupun anak kecil hingga orang tua. Tepat setelah toko-toko cantik itu buka, saat penjaganya membersihkan kaca-kaca toko, menata barang jualannya, Gustav bergegas menyiapkan fungsi hidungnya itu untuk menangkap aroma yang dicarinya. Pengunjung pertama, pengunjung selanjutnya, hingga gang itu penuh, tubuhnya melayang mencari-cari aroma penolong ingatannya. 

Pernah ia ditanya oleh Charlie, hantu tua renta yang tubuhnya sudah menjadi satu dengan tembok bata di salah satu toko. Katanya, “memang apa yang mau kamu ingat?” Gustav tidak bisa menjawab karena memang ia tidak tahu jawabannya. Ia hanya penasaran dengan apa yang dialaminya selama ia hidup. Walaupun pertanyaan Charlie selanjutnya kerap kali menjadi pikiran Gustav tiap malamnya, ia tetap penasaran dengan memorinya dulu. 

Charlie bertanya, “bagaimana kalau hidupmu dulu ternyata menyakitkan? Kamu masih mau mengetahuinya?” 

Lagi-lagi Gustav tidak berani menjawab. Yang bisa ia lakukan hanya mengangkat kedua bahunya yang buntung tanpa kepala. Gustav hanya penasaran dengan kenangannya. Ada apa dengan kastil yang muncul di ingatan Gustav saat mencium aroma itu? Apakah dulunya ia merupakan seorang pangeran atau hanya budak istana? Namun, dari pertanyaan terakhir yang ditanyakan Charlie, kadang Gustav juga takut untuk mengetahui penyebab tangan kirinya yang hilang dan kepalanya yang putus. Berkali-kali Gustav bertanya kepada dirinya tentang hal yang ia lakukan sehingga membuat tubuhnya tidak utuh seperti sekarang.

Kepalanya masih tergeletak di tempat yang sama. Mengingat-ingat pertanyaan Charlie yang menjadi pengantar tidurnya setiap malam setelah semua pengunjung meninggalkan Shambles. Jika benar adanya bahwa masa hidupnya menyakitkan, maka Gustav harus menanggung beban ingatan pahit itu selama-lamanya hingga dunia berakhir. Namun, jika ia tidak menemukan aroma tersebut dan mengingat masa lalunya, maka rasa penasarannya akan terus mengelilingi Gustav sepanjang masa sebagai hantu. Ia dalam posisi yang serba membingungkan saat ini. Tidak ada pilihan yang bisa ia tetapkan karena keduanya menuju konsekuensi berat yang harus ia tanggung selama-lamanya.

Paginya ia bangun seperti biasa dengan rasa penasaran akan aroma seseorang itu. Bergegas ia menggenggam kepalanya dengan satu tangan dan beranjak dari tempatnya berbaring. Berjalanlah ia secepat mungkin menuju muka gang Shambles yang tepat berada di antara pelataran. Matahari hampir setengah terbit. Toko-toko masih gelap, namun beberapa penjaganya sudah berdatangan. Aroma khas udara York dengan pohon-pohon hijau musim panas menjadi tanda mulainya ia menunggu pengunjung hari ini. 

“Selamat pagi! Masih mencari aroma itu?” tanya Lady Martha yang sedang sibuk bercermin di jendela toko yang bertuliskan The Shop that Must Not be Named. Memandangi pernak-pernik Harry Potter dengan sesekali bergumam kesal seakan marah dengan barang-barang yang ada di dalam sana. 

“Hai, nona! Sudah, jangan disalahkan terus. Percuma!” Kata Gustav membalas salamnya pagi itu. 

“Aku rindu tertawa nyaringku. Aku rindu memutar gaunku di depan laki-laki kurang ajar yang suka menggoda pejalan kaki di sini,” balasnya.

Gustav hanya tertawa kecil. Mengingat ia buru-buru untuk menunggu apa yang ia cari di depan gang, Gustav bergegas meninggalkan Lady Martha yang masih asik bercermin. Hari itu walaupun masih redup menunggu bangunnya matahari, Gustav sudah melihat dari kejauhan seorang perempuan datang menghampiri gang di Shambles. Seorang perempuan remaja dengan kamera digital yang dikalunginya memandangi sekeliling Shambles hendak mencari-cari objek menarik yang akan dibidiknya melalui lensa. Wajahnya berseri, seakan berada di dunia sihir yang selama ini hanya ada di mimpinya. Matanya jelalatan memandangi tiap sudut toko dan jalan yang masih sepi itu. 

Gustav yakin, ia tidak niat membeli barang di toko-toko itu, sebab ia datang pagi sekali. Hidungnya masih mati, jadi ia belum mau mencium aroma gadis tersebut. Gustav masih penasaran apa yang dilakukannya sepagi ini. Sepanjang langkahnya, ia hanya melihat detail setiap hal yang ada di Shambles dan sesekali mengambil gambar dengan kameranya. Hingga akhirnya ia berhenti di pertigaan gang. Menghadap satu toko dengan tembok putih dan tiang-tiang hitam pekat menghiasi. Wajahnya tepat berada di muka pintu toko tersebut. Kali ini, kameranya mati, tidak ada satupun gambar yang ia jepret. Tubuhnya yang tegak berdiri perlahan turun—diletakkannya tumit kecil itu di setapak berbatu hingga kini ia berlutut di depan toko tersebut. Tangannya kini meraba isi dalam tasnya. Mengeluarkan setangkai mawar merah yang sudah bersih dari duri. 

Diletakannya mawar itu di depan pintu masuk toko dengan hati-hati seakan ia sedang meletakkan sebongkah emas di tempat rahasia. Kelopak-kelopaknya yang merah itu sekarang sudah bersentuhan dengan tanah. Tergeletak cantik di sebuah toko yang berdiri di lingkungan gelap khas pingiran kota York. Tangannya kini berada di atas kedua pahanya. Ditatapnya kembali pintu toko itu dengan mengucapkan sebuah kalimat yang sontak membuat Gustav semakin penasaran.

“Aku sayang Ayah,” katanya.

Semakin bingung Gustav dibuatnya. Baru kali ini ia melihat seseorang menaruh setangkai mawar dan mengucapkan sayang kepada Ayahnya. Hidung Gustav yang awalnya mati kini ia persiapkan untuk menghirup aroma gadis itu. Perlahan ia dekati gadis tersebut dan mulai menempelkan hidungnya di lehernya. Ia hirup dalam-dalam sambal merasa dan meraba aroma yang keluar dari tubuh gadis tersebut. Gustav juga bersiap untuk mengetahui memorinya jika memang gadis tersebut yang dicarinya selama ini. Ia tarik udara masuk ke hidungnya, diciumnya aroma wangi parfum dan kulit si gadis yang dalam hitungan detik mampu membawa pikirannya kembali ke kastil yang pernah muncul di ingatannya.

Dalam kastil itu, Gustav melihat seorang laki-laki yang sedang memasak di dapur. Mengaduk sebuah sup di kuali besar sekuat tenaganya. Keringatnya bercucuran, karena suasana dapur yang panas dan energi yang ia keluarkan. Sepertinya akan ada perayaan besar di istana. Kuali itu hanya salah satu dari banyak kuali yang yang sedang diaduk di dapur. Namun semuanya buram, hanya laki-laki itu yang Gustav lihat. Laki-laki tersebut terus mengaduk sup hingga matanya memerah dan mengeluarkan air seakan-akan ia menangis. Benar saja, ia menangis deras—urat kuat di kepalanya bermunculan dengan wajah merah yang perlahan menyala menjadi alas bagi airmatanya mengucur. 

Sepertinya ada satu hal yang menggerayangi pikirannya sehingga membuat ia sedih tak karuan seperti itu, pikir Gustav. Tidak lama, seorang laki-laki berperawakan algojo datang menghampirinya dari belakang. Digenggamnya sebuah parang besar dengan sebotol merica di kedua tangannya.

“Kenapa kau ingin mati dengan cara ini?” tanya algojo itu kepada si lelaki tukang masak.

Ia tidak menengok ke belakang, ke tempat algojo itu berdiri. Ia tetap melanjutkan mengaduk sup dengan airmata yang berlinang.

“Biarkan aku mati sebagaimana aku mencintai mendiang istriku. Aku tidak bisa memasak sup seenak ia, tapi setidaknya aku mati saat aku memasak sup yang biasa ia buatkan untukku.”

Dialog itu terhenti. Gustav yang menjadi penonton sedikit ketakutan melihat adegan tersebut. Laki-laki itu akan mati dengan gorokan parang saat mengaduk satu kuali sup. Si algojo memberikan botol merica itu kepada si koki, berkata bahwa sup yang biasa dibuat istrinya memiliki rasa merica yang kuat. Ia juga berkata bahwa semua rakyat istana juga rindu akan sup buatan istrinya itu saat ia masih bekerja sebagai tukang masak di dapur. 

Dituangkannya merica tersebut dengan tangan yang gemetar. Ia pinta kepada algojo untuk melakukan ‘itu’ sekarang juga. Gustav mengerti apa yang dimaksud dengan ‘itu’. Adegan sadis ini akan ia saksikan tepat di depan matanya. Hingga saat ini, ia tidak melihat ada fisik dirinya di adegan itu. Dengan perasaan takut dan penasaran, Gustav tetap menjadi penonton setia untuk memastikan bahwa ia mengetahui cerita masa hidupnya. Secara cepat, si Algojo membuka sarung parang yang ia genggam. Memegang erat kepala si koki dan menyayat lehernya sekuat mungkin. Memastikan bahwa proses itu tidak berjalan lama, algojo terus menggorok leher si koki tanpa ampun. Teriakannya menggaung di seluruh isi dapur. Darahnya menyembur ke seluruh permukaan lantai. Sup dalam kuali yang awalnya putih lezat kini berubah merah pekat penuh dengan darah pemasaknya.

Ia mati. Nyawanya sudah lepas dari tubuhnya yang terkulai di atas tanah. Akhir kisah si koki bersamaan dengan kaburnya pandangan Gustav. Perlahan ia Kembali melihat batu setapak Shamble dengan toko-toko yang kini sudah siap untuk dikunjungi. Kebingungan besar hadir di kepala Gustav. Jika aroma gadis itu mampu membawanya Kembali mengingat masa lalu, siapa laki-laki yang dipenggal kepalanya tadi? Itu bukan dia. Ia mengenali wajahnya sendiri walaupun terlepas dari badannya. Dengan sigap ia lari ke depan jendela salah satu toko. Bercermin memastikan bahwa laki-laki yang dipenggal tadi bukan dirinya. Memastikan Kembali bahwa ia kenal betul dengan wajahnya. Dipandanginya kepala Gustav yang digenggam erat dengan tangan kanannya. Ia yakin betul bahwa si koki bukanlah dirinya. Dipandangi Kembali jendela toko itu, memastikan dirinya Kembali dan hubungannya dengan lelaki tadi. 

Satu hal kemudian ia sadari bahwa tubuhnya berbalut kemeja putih kusut yang sangat kotor. Tangannya diangkat untuk melihat tubuhnya secara utuh agar tidak tertutup kepala yang ia genggam tepat di depan perutnya. Benar saja, ia menyadari satu hal. Di balik kemejanya yang kotor, ia mengenakan apron yang warnanya hampir sama kotor dengan kemeja. Ia baru saja menyadari bahwa pakaian itu, dari leher hingga ujung kaki merupakan pakaian yang dikenakan si koki. Kemeja jorok, apron kumal, celana kusut tanpa alas kaki, persis sama denga napa yang dikenakan mendiang si koki. Tangan kirinya putus, sebagaimana ia hanya melihat si koki mengaduk sup dengan satu tangan saja. 

Apa yang dicari Gustav kini sudah ditemukan. Aroma itu membawanya kembali ke sebuah kenangan yang berhubungan dengan dirinya. Ketakutannya akan memori pahit ternyata tidak terjadi. Namun kini ia dihantui rasa penasaran dan perlahan diselimuti ribuan pertanyaan tentang tubuh aslinya. Tangan yang menggenggam kepalanya kini terasa asing. Tubuh yang selama ini menjadi sandaran baginya tidak lagi dikenal. Gustav gentayangan dengan tubuh yang bukan miliknya sepanjang hari-harinya menjadi hantu dan akan terus begitu. Pencariannya akan aroma tubuh pembangkit memori kini sudah selesai. Selanjutnya, ia akan mencari tubuh aslinya dan mengembalikan tubuh si koki dengan kepalanya yang terpisah. 


Perjalanan gentayangan Gustav baru akan dimulai.


York,

27 May 2022


Share:

Air Jahe dan Teguk Kenangan di Cavern Club

        


        Padahal baru pukul delapan malam, tapi Cavern Club sudah penuh dengan pengunjung. Malam itu memang Thomas Abe akan menyanyikan semua lagu-lagu legendaris The Beatles. Vokalis yang piawai bermain gitar itu memang lekat dengan semua lagu-lagu band tersebut sejak dikenalkan oleh sang Ayah waktu kecil. Kali ini, Tom—panggilan yang akrab baginya, akan membawakan beberapa lagu-lagu The Beatles kesayangannya.

Bukan tanpa alasan ia memilih beberapa lagu yang akan dibawakan malam itu. Sebagaimana Paul McCartney dan kawan-kawannya, Cavern Club sempat menjadi tempat bersejarah bagi Tom. Begitupun dengan kumpulan lagu yang akan ia nyanyikan dengan petikan gitarnya. Sebut saja Here’s Come the Sun, sebagai lagu pembuka yang nantinya akan ia nyanyikan setelah menyapa kumpulan tamu klub tersebut. Tom tidak perlu lagi mengenalkan dirinya karena sebagian besar pengunjung sudah tahu, bahkan mereka memang datang karena mengenal Tom dan ingin menyaksikan penampilannya secara langsung.

Tom memang bukan John Lennon. Tetapi, suara lembut Tom mampu menghipnotis pengunjung Cavern Club dengan lagu-lagu legendaris band tersebut setiap ia menguasai panggung Cavern Club. Itu sebabnya, penonton selalu merindukan penampilan Tom, apalagi Ketika mereka tahu bahwa Tom akan membawakan tembang The Beatles malam itu. Pernah suatu malam, Tom tidak berencana bernyanyi. Namun, salah satu pengunjung yang sudah mengenalnya mendorongnya ke panggung dan meminta band yang sedang tampil saat itu untuk memberikan mikrofonnya kepada Tom. Jadilah ia bersenandung Let it Be dengan iringan music dari band tersebut dan suara tidak siapnya yang justru malah membuat penonton jatuh cinta.

Saat ini, Tom sedang duduk di samping panggung. Semua kesiapan konsernya sudah matang. Gitar, mikrofon, pengeras suara, urutan lagu, hingga salam pembukanya sudah ia pastikan dengan baik. Ia sudah sadar juga bahwa kehadiran penonton sudah memenuhi klub di bawah tanah tersebut. Dipandanginya pengunjung yang bersenda gurau bersama kawannya. Memegang paling tidak satu gelas minuman beralkohol dan kentang goreng. Cavern Club masih sama seperti ia pertama kali datang. Ornamen foto legenda musik dunia masih terpajang rapih di setiap sudut temboknya. Tandatangan idola-idolanya masih pekat di antara barang peninggalannya di Cavern Club, sebut saja seragam bola, gitar, piringan hitam, atau sekadar corat-coretan nama di tembok. 

Pengunjungnya kebanyakan orang dewasa. Kalau Ayahnya masih hidup, mungkin Tom akan beranggapan bahwa penontonnya malam ini merupakan orang-orang seusia Ayahnya yang pernah berada pada masa kejayaan The Beatles. Selain menonton Tom, kehadiran mereka dapat dipastikan juga untuk mengenang memori indah bersama lagu-lagu The Beatles. Itulah sebabnya, mereka tidak datang sendirian melainkan dengan teman-teman sekolah, istri, atau perempuan lain yang dianggapnya dekat dengannya. Walaupun tidak sedikit anak muda seumuran Tom yang hadir, namun padatnya Cavern Club malam itu tetap membuat Tom merasa sendirian.

Di malam yang sama lima tahun lalu, Layla bersamanya tepat di kursi tempat Tom duduk saat ini. Gadis yang ia temui saat ia sedang bernyanyi di bawah stasiun Underground di London itu merupakan gadis pertama yang membawakannya air jahe hangat sebelum ia bernyanyi. Malam itu, Layla datang lebih cepat sepuluh menit sebelum Tom naik panggung untuk memastikan bahwa ia meminum air jahe tersebut. Layla pandai sekali meracik minuman tradisional. Tepat setelah Tom bilang bahwa tenggorokannya sedang serak dan penampilannya tinggal dua hari lagi, dengan sigap, Layla membuatkannya air ajaib tersebut dan membawakannya kembali di hari Tom bernyanyi.

Setelah meminum air jahe buatan Layla, tenggorokan Tom perlahan membaik, hatinya perlahan berbunga. Hari berikutnya ia menghabiskan sebagian besar waktu bersama gadis tersebut. Tom mengenal berbagai macam minuman herbal ajaib buatan Layla. Walaupun tidak sedang sakit tenggorokan, kadang Tom minta dibuatkan air jahe lagi untuk keperluan pentasnya di Cavern Club. Layla suka sekali kalau Tom minum air mujarab buatannya itu. Selain mengerjakan tugas kuliah, Layla hobi memarut dan menumbuk rempah untuk dijadikan minumannya sehari-hari. Alasannya sederhana, ia ingin awet muda, katanya.

Tetapi, mengingat kepergian Layla, Tom kali ini harus duduk seorang diri. Tenggorokannya memang baik-baik saja. Tidak perlu segelas air jahe untuk membuat suaranya keluar jernih. Namun itulah ritual yang harusnya ia jalankan. Meneguk perlahan air jahe hangat buatan Layla yang sebenarnya tidak hanya baik bagi tenggorokannya, tapi juga untuk hatinya. Walupun masih banyak air di muka bumi dan ribuan hektar perkebunan jahe di dunia, tapi air jahe buatan Layla berbeda. Tom yang merasakannya sendiri, hangat dan lembut saat larutannya masuk melewati dinding-dinding tenggorokannya. 

Laya bukalah penggemar The Beatles sebagaimana Tom. Ia pergi ke Cavern Club karena Tom yang mengajaknya. Kata Tom, ada beberapa pernik Adele yang secara resmi ditandatanganinya. Apalagi ketika Adele membawakan lagu-lagu andalannya dari album 21 di Cavern Club, potretnya masih tertata rapih di dalam sebuah etalase khusus untuk Adele bersebelahan dengan pernik Ringo Star. Layla menyukainya. Apalagi ketika ia baca “We could have it all…”, penggalan lagu Adele yang tertulis indah tepat di bawah sampul album yang dipajang di klab itu.  Walaupun tidak fanatik, namun lagu-lagu Adele selalu bisa mengisi setiap perasaan Layla di saat tertentu. 

Etalase itu dipandanginya selama kurang lebih sepuluh menit. Walaupun suara berisik penonton yang bernyanyi dengan alunan speaker bising khas Cavern Club, mata Layla belum juga berpaling dari foto-foto Adele saat tampil di tempat itu.

“Kalau saja saya kenal kamu lebih dulu, mungkin bisa saja kamu ajak saya menonton Adele saat itu,” katanya.

Tom hanya terkekeh manis–kaget sejenak setelah pandangan Layla berpaling dari etalase ke matanya. Layla kembali bertanya, “apa kamu mengajak orang lain saat menonton Adele? Bekas pacar mungkin?” Mulut Tom hampir menyemburkan jus jeruk yang dicampur vodka mendengar pertanyaan tersebut. Tersenyum lebar setelah berhasil menelan minuman tersebut, dan berkata secara refleks, “mana ada yang mau saya ajak ke sini? Apalagi perempuan.”

Layla terdiam mencernya omongan Tom. Hatinya mungkin sedikit bahagia karena ialah perempuan pertama yang Tom ajak melihat etalase tersebut. Matanya berbinar memantulkan cahaya warna-warni dari panggung Cavern Club. Kenangan itu yang kini ada di pikiran Tom. Tentang pertanyaan Layla, matanya yang berbinar, dan air jahe buatannya. Pikirannya melayang ke masa lima tahun lalu, walaupun raganya ada di Cavern Club malam itu. Selain lirik dan kunci gitar, Layla merupakan satu memori yang saat ini diingatnya. Terlebih ia sedang duduk tepat di mana ia dan Layla menonton pertunjukan musik di Cavern Club saat itu. 

Lampu panggung sudah bersinar. Saatnya Tom naik dan menyapa penonton. Tanpa segelas air jahe hangat dan kehadiran Layla, perlahan ia bangkit dari duduknya dan membalikan tubuhnya ke arah panggung. Dilihatnya panggung itu, tempat ia dikenal pengunjung bar dengan lagu-lagu The Beatles andalannya. Terbesit di pikiran Tom, mungkin air matanya akan sedikit menetes ketika ia menyanyikan Let It Be atau Yesterday. Lagu yang saat ini mewakili perasaannya, dan juga lagu yang selalu diminta Layla untuk Tom nyanyikan setiap kali ia bersama dengan gitarnya.

Kakinya melangkah perlahan ke atas panggung. Wajahnya kini menghadap ke arah penonton dengan sorotan lampu panggung yang menghias. Penonton bersorak memanggil namanya berulang kali. Tom mencoba tersenyum dan mengucapkan selamat malam dengan suara yang bergetar. Dilihatnya sekeliling klab untuk memastikan matanya akrab dengan penonton malam itu. Sebelum ia memetik gitarnya, Tom menyapa beberapa penonton yang sekiranya sudah ia kenal.

“Sam, teman lama yang dulu rebutan poster Paul McCartney, terima kasih kehadirannya, kawan.”

Penonton tertawa mendengar itu. Sam dengan muka jahilnya mengangkat segelas minuman yang digenggamnya dan berkat, “akhirnya aku yang dapat posternya, ha ha ha.”

“Hey Andrew! Selamat datang dan terima kasih kehadirannya. Dia adalah kawan baik semua pengunjung Cavern Club. Kadang-kadang ia akan membelikan kalian minuman jika ia suka dengan obrolan kalian.”

Andrew yang berdiri di tengah ruangan menganga kaget mendengar Tom berkata seperti itu. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya menandakan bahwa itu hanya candaan yang dibuat Tom.

Kawan selanjutnya, yakni Lara. Perempuan paruh baya yang duduk bersama teman-teman perempuan lainnya di depan koleksi gitar yang terpajang di klab. Lara saat itu sedang berbinar karena sudah lama ia tidak mendengar Tom bernyanyi. Apalagi setelah ia tahu bahwa Tom akan menyanyikan Blackbird khusus untuknya malam ini.

“Lara, kamu tahu apa yang akan saya nyanyikan malam ini, kan? Tetap duduk di situ dan jangan beranjak,” kata Tom kepada Lara yang mengangkat kedua jempolnya untuk Tom.

Matanya kini tertuju di etalase yang mengarah ke tangga keluar. Dilihatnya seorang yang ia kenal akrab dengannya. Pun sama halnya dengan kawannya yang lain, Tom menyapanya dengan hangat.

“Dan yang paling spesial malam ini, terima kasih kehadirannya untuk Layla dan Catherine yang baru saja menikah dua minggu lalu. Selamat datang di Cavern Club, enjoy!”

Penonton bersorak makin ramai. Jarinya mulai memetik gitar dan pertunjukan dimulai.



Liverpool,

24 Mei 2022


Share:

Rabu, 03 November 2021

Iyakan Saja Daripada Repot



        Sejak virus bangsat itu menyebar di seluruh belahan dunia, semua gedung pertunjukan ditutup. Walaupun gedung lainnya juga ditutup, saya tidak peduli karena yang penting adalah gedung teater—tempat saya pentas dan membangun jati diri sebagai aktor yang hebat. Saya sudah memulai karir perteateran sejak dua tahun lalu, mulai dari pentas di aula kampus hingga gedung pertunjukan daerah. Suatu hal yang amat sangat membanggakan, karena saya aktor yang hebat.
Teater sudah mengalir bersama darah melalui nadi yang setiap hari bergerak dalam tubuh. Walaupun selama dua tahun belum mendapatkan peran yang saya incar, namun saya yakin penonton menyukai akting saya yang mahadahsyat ini kalau di atas panggung. Buktinya, mereka selalu menghampiri dan mengucapkan selamat kepada saya setelah pertunjukan berlangsung. Walaupun buket bunga yang saya dapatkan tidak sebanyak pemeran utama, tapi sebatang coklat menurut saya sudah menjadi apresiasi yang tinggi. Toh bagi saya, buket yang banyak tidak menandakan bahwa aktor itu lebih baik dari saya, karena saya aktor yang hebat.
Sekarang saya hanya diam diri di kamar kosan yang berantakan. Baju kotor berserakan di lantai bersama handuk basah yang baru saya pakai sore tadi. Saya ini jarang mandi, karena menurut saya, seniman teater harus seperti itu. Baju yang berserakan tadi juga saya biarkan menjadi dekorasi kamar supaya kalau ada orang yang datang, mereka langsung tahu bahwa kamar ini adalah milik seniman, yaitu saya—aktor yang hebat.
Sejak tahun lalu, saya juga mengupayakan agar rambut saya tumbuh panjang berantakan dengan brewok lebat di wajah. Tapi yang satu ini agak sulit dilakukan, karena Ibu masih sering ngomel kalau lihat rambut saya panjang sedikit. Tapi tidak apa, yang penting sudah ada rambut-rambut tipis tumbuh di sekitar bibir dan dagu. Sebentar lagi, penampilan saya akan semakin mirip seniman andal. Begitu menurut saya, kalian tidak lupa, kan kalau saya adalah aktor yang hebat?
Sudah sebulan sejak virus sialan itu menyebar, kini saya kehilangan kegiatan utama—berkesenian. Biasanya saya menjalani perkuliahan setiap Senin, Selasa, dan Kamis. Karena mata kuliah di hari Rabu dan Jumat hanya membahas teori kebahasaan, saya jarang sekali hadir. Untuk apa? Pilihan saya masuk jurusan sastra kan karena ingin belajar seni, mana peduli saya dengan tata bahasa. Itu tidak penting bagi puisi-puisi yang saya tulis karena biasanya saya bebas menggunakan diksi demi diksi. Puisi-puisi yang saya buat biasanya sulit dimengerti, loh. Hanya seniman hebat yang bisa menafsirkannya. Makanya saya tidak membicarakan puisi di sini karena khawatir kalian tidak paham. Apalagi buat kamu yang seringnya baca novel digital, maaf sekali lebih baik berhenti baca cerita saya sampai sini. Tapi saya jarang sekali membuat puisi, karena waktunya lebih saya fokuskan untuk berteater. Hal itu yang membentuk diri saya menjadi aktor yang hebat.
Saya rindu sekali berada di atas panggung. Menikmati cahaya lampu sorot warna-warni yang membantu saya terlihat keren saat beradegan. Tidak banyak dialog yang saya keluarkan, tapi dengan tubuh yang terlatih ini, saya yakin penonton berpikir bahwa talenta saya luar biasa. Jadi teringat ketika dialog saya bersama dengan para aktor pendukung lainnya berteriak, “hah?” dan penonton tertawa. Di situ saya merasa bangga, artinya penonton mampu menyatukan rasa mereka dengan pembawaan saya di atas panggung. Jelas, kan saya aktor yang hebat.
Para aktor yang mendapatkan peran saat pementasan itu tidak terlalu bagus aktingnya. Biasa saja, menurut saya. Karena dibantu pencahayaan dan musik latar yang biasa-biasa juga, akhirnya penampilan mereka cukup terbantu. Coba saja kalau saya yang mendapatkan peran itu, saya bisa jamin kalau pertunjukannya akan menjadi pertunjukan terbaik di kota ini. Setelah di kota, lalu di pulau, lalu di negara, dan akhirnya mendunia. Karena saya pemerannya, penonton akan semakin menyukai pertunjukan. Yang saya bawa bukan hanya kemampuan akting, namun juga persona sebagai seniman ulung yang darah seninya mengalir dengan deras. Perlu saya ingatkan lagi kalau saya ini aktor yang hebat?
Tapi jangan bilang-bilang sutradara kalau saya mengatakan ini, nanti dia bisa marah. Saya takut karena dia galak sekali. Beberapa kali saya pernah mau keluar dari tim karena tidak kuasa menahan amarahnya. Orangnya disiplin, tapi juga banyak bicara. Berkali-kali ia memarahi para pemeran itu karena aktingnya tidak becus. Memang tidak becus menurut saya. Kalau saja saya berani bilang ke sutradara, “sebaiknya saya saja pemerannya” mungkin dia tidak akan segalak itu dan mau mengakui kalau saya ini aktor yang hebat.
Sudah, saya tidak tau lagi mau menulis apa. Jangan berharap ada ending di sini. Saya bukan penulis cerita, saya ini aktor. Hanya fokus untuk panggung dan penonton, bukan teks dan pembaca. Bisa saja saya teruskan cerita ini dengan akhir yang sangat tidak mudah ditebak pembaca, sebagaimana cerita-cerita terkenal lainnya. Tapi nanti kalian malah suka dengan karya saya, dan melupakan identitas saya sebagai aktor. Maaf, saya harus membatasi diri karena saya aktor yang hebat.

Glasgow
2 November 2021

Share:

Rabu, 25 Maret 2020

Isolasi (Cerpen)

Bima Dewanto, Fauziannisa


Kemarin sebelum semuanya terjadi, teman-teman saya mengatakan kalau menjadi saya itu enak: rumahnya di kompleks. Besar, bagus, dan pandangan-pandangan lain yang membentuk pola pikir tentang karakter penduduk yang tinggal di kompleks. Hanya saja, rumah saya tidak memiliki kolam renang melainkan kolam ikan yang isinya kura-kura, peliharaan Ayah yang dirawat Ibu sehari-hari. Di rumah juga tidak ada guci mewah. Ibu lebih suka mengoleksi piring yang dipajang di seluruh isi rumah: di meja, bufet, dinding, sampai dapur. 
Seperti semua orang yang hanya melihat dari kulitnya, begitupun dengan teman-teman saya. Biar saya perjelas. Imaji tentang rumah besar dan bagus mereka hanyalah terlihat dari luarnya saja. Tak ada yang mengetahui betapa kura-kura Ayah hanya bernapas pasrah sebelum ajalnya tiba. Tak ada yang mengetahui pula betapa meja, bufet, dan dinding yang melapisi rumah ini hanyalah sebuah kesunyian. Hingga, hari itu tiba. Ketika semuanya semakin menunjukkan bahwa segala hal yang saya miliki ialah fana. 
Sampai hari ini, saya tetap berdiam di rumah seorang diri. Pemberitaan di luar yang terus membunyikan larangan untuk keluar rumah semakin membuat saya takut untuk memandang sinar matahari. Ayah dan Ibu masih terjebak di belahan bumi bagian barat sejak sebulan lalu dan belum mendapatkan izin untuk pulang. Hanya ada saya, kura-kura, dan koleksi piring di rumah. Awalnya saya senang karena bisa menguasai isi rumah seorang diri. Kabar untuk mengisolasi diri di rumah yang disuarakan pemerintah sejujurnya membuat saya bahagia karena saya bisa menghindari pertemuan dengan orang-orang menyebalkan di luar sana. Teman-teman yang menanyakan kelulusan, atasan yang memamerkan kekayaan, hingga tukang parkir yang seenaknya meminta jatah padahal tidak sama sekali membantu penempatan motor saya. 
    Sehari setelah pemberitahuan itu tiba, saya masih bisa bernapas lega untuk melepaskan sejenak tuntutan pekerjaan. Sehari berikutnya, saya mencoba produktif dengan membersihkan kamar dan seisi rumah.  Hari-hari berikutnya, saya mulai menyeimbangi tugas-tugas dari kantor sambil menamatkan buku-buku yang belum saya baca berbulan-bulan lalu. Hingga pada satu titik, tak ada lagi  telepon dari Ayah dan Ibu, tak ada telepon dari teman-teman terdekat, bahkan tukang kebun pun enggan menyapa ke rumah padahal rerumputan sudah meninggi. Kehidupan saya selama ini hanya dipenuhi oleh tuntutan rapat secara daring, mengisi perut, dan selebihnya mencoba melepaskan kebosanan dengan tidur. Hanya itu yang bisa saya lakukan. Melihat berita dan membuka internet? Seolah saya menenggelamkan diri saya sendiri. 
    Semakin banyak informasi yang beredar, semakin saya tidak kuat menahan diri. Semakin banyak informasi yang saya dapat, semakin gemetar tubuh saya. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan ini terjadi. Saat-saat seperti ini seakan-akan membunuh saya dengan cara yang cantik. Selama hampir satu bulan, saya tidak pernah menyalakan televisi. Selama hampir sebulan, saya telah melepas aplikasi browser dan sosial media yang menyebarkan informasi tentang berkembangnya virus ini setiap hari. Kiriman koran yang diantar petugas setiap pagi bahkan menumpuk di teras tidak pernah saya sentuh. Hujan dalam beberapa hari kemarin membuat tumpukan koran itu basah bahkan berceceran halamannya. Saya tidak peduli. Yang terpenting, diri saya aman di dalam rumah tanpa perlu mengkhawatirkan apa yang terjadi di luar.   
    Sesekali saya memang melihat keluar melalui jendela. Tapi selangkah pun saya tidak pernah keluar dari ambang pintu. Untuk apa saya menjebloskan diri ke jurang, sementara di dalam rumah saya memiliki tameng yang nyaman. Suatu hari, saya lihat seorang anak lelaki berlari dan tak sengaja terjatuh tepat di depan rumah saya. Ibunya menyusul dan membangunkan anak tersebut. Sayup-sayup saya mendengar ucapan mereka.
“Sudah Ibu bilang, kalau di rumah, ya di rumah aja. Yang lain juga pada di rumah.  Noh, liat! Rumah itu ada hantunya.”
    Anak lelaki itu menangis semakin kencang dan menggandeng lengan Ibunya. Setelah beberapa langkah mereka pergi, saya merasa tersindir. Selama 25 tahun saya hidup di rumah ini, tak pernah sedetik pun saya melihat ada hantu. Semakin memikirkan tentang kebohongan Ibu tadi, saya merasa tertampar. Karena saya merasa seperti mengulang luka lama yang sampai saat ini tak bisa saya musnahkan dalam kepala. Tentang Ayah yang pernah berulang-ulang mengucapkan, “kamu sih” saat saya kecil. Dari situ, saya selalu melindungi diri untuk tidak berbuat apapun yang dapat melukai orang dan diri sendiri. Apalagi saat kondisi seperti ini. Mengurung diri di rumah tanpa ada satupun informasi tentang pertumbuhan pandemik akan membuat diri saya lebih tenang.
    Saat ini saya masih terbaring di atas ranjang. Memandangi langit-langit kamar yang polos tanpa pola. Rutinitas yang saya lakukan sebelumnya semakin lama berkurang hingga saat ini saya tidak tahu harus berbuat apa. Pernah seorang teman menelpon untuk membicarakan hubungannya dengan sang kekasih. Namun, ia justru mengucapkan, “eh korban virus makin bertambah, loh”. Dari kejadian itu, saya matikan telepon dan tidak pernah saya sentuh hingga dua hari ke depan. Awalnya biasa saja, tapi jenuh perlahan menyerang. Saya tidak habis pikir dengan teman-teman yang masih aktif dengan sosial medianya. Saya juga tidak habis pikir dengan diri saya yang lebih takut dengan kabar daripada virus itu sendiri. 
Mungkin virus itu tidak seberapa dahsyatnya selain hari-hari yang dulu  saya jalani, tetapi sekarang masih tetap terkubur dalam ingatan. Ketika semuanya menyalahkan karena saya yang terlalu cerewet padahal saya ialah anak lelaki. Kala itu, ketika saya masih tergila-gila dengan tokoh superhero dan  menjadikan Ayah satu-satunya superhero dalam hidup. Tak henti-hentinya saya mendongeng kepada Ibu tentang Ayah yang selalu memberikan makan kucing di gang kompleks dan berbagai cerita baik lainnya yang Ayah lakukan. Namun, naasnya Ayah ialah superhero yang bukan hanya menolong saya tapi juga orang lain. Kala itu kulihat Ayah membawa wanita lain ke kamar selain ibu. Yang baru saya ketahui, bahwa wanita itu ialah janda dari sahabat karib Ayah yang meninggal. Ibu yang sedang pulang ke rumah Nenek tak mengetahui hal tersebut sampai saya bercerita seperti biasa tentang Ayah yang menolong wanita dan membawanya ke dalam kamar.
    Semenjak itu, kebiasaan bercerita saya semakin lenyap karena ucapan saya menyakiti orang lain, menyakiti Ibu. Ayah tak henti-hentinya mengatakan, “Kau lelaki, tapi mulut macam perempuan!” belum lagi saudara-saudara Ayah yang mengatakan, “Coba kau tak pandai bercerita, mungkin Ayahmu bisa menjelaskan secara pelan-pelan kepada Ibumu.” Kejadian itulah yang menyebabkan Ayah dan Ibu masih tetap hidup bersama tapi dalam dunianya masing-masing. Sampai saat ini dan detik ini, kurasa memang pilihan terbaik ialah diam dan tak bersuara. Meski gemuruh dalam kepala semakin memaksa. Meski segala berita dan kabar membuat badan saya bergetar. 
    Mengingat hal itu membuat dada saya sesak seakan dikunci oleh perkataan Ayah. Tapi mau bagaimana, mulut memang sebuah alat yang jahat. Saya kapok sebenarnya menerima informasi yang membuat saya takut. Sepuluh tahun lalu ketika masih duduk di bangku sekolah, sekelompok teman saya pernah menghampiri saya yang sedang duduk sendirian di kantin. Dengan logat sedihnya, mereka berkata sesuatu yang membuat saya hampir rubuh di kursi kantin.
    “Kata bu guru, mama kamu kecelakaan. Kita turut berduka ya, semoga kamu bisa kuat.”
    Sontak wajah saya memerah kuyup dengan air mata. Tubuh saya lemas, dada saya sesak, kaki saya tidak bisa menopang untuk berdiri tegak. Kantin yang saat itu penuh orang mendadak sepi hanya dengan raungan yang saya teriakan. Memanggil-manggil Ibu dengan terbata-bata seakan jenazahnya sudah berada di depan saya. Semuanya melihat, semuanya mendengar, semuanya penasaran. Tapi perlahan, sekelompok teman saya mulai tertawa kecil hingga bendungan tawanya lepas dan bahak tawa mulai mengalahkan tangisan. Telunjuknya mengarah ke depan wajah saya dengan ejekan, “cengeng, dibohongin mau aja!”. Perlahan mata saya mulai gelap tidak dapat melihat kebrengsekan mereka.
    Sudah sekitar dua jam saya masih di atas ranjang memandangi langit-langit tanpa pola. Hari ini seakan tubuh saya memaksa untuk tetap diam di dalam kamar. Memikirkan ketakutan masa lalu memang sulit saya sembuhkan hingga sekarang. Kadang, untuk memberikan informasi dari sekolah kepada Ayah saja, tubuh saya bisa berguncang tidak karuan. Belum lagi perlakuan teman-teman bajingan itu. Hari ini berbeda, seakan badan saya hanya ingin diam di atas sprei putih dalam kamar. Sesekali telepon berbunyi namun tidak saya jawab. Beberapa notifikasi pesan masuk hingga sekarang tidak saya lihat. Hanya lagu yang terus berputar seakan mengikuti diamnya tubuh yang tergeletak di atas ranjang.
    Salah sendiri, dalam keadaan begini malah mengingat luka masa lalu. Mungkin di hari biasa, saya akan keluar rumah untuk jalan-jalan sendiri di sekitar kompleks. Tapi kalau kondisi begini, yang bisa saya lakukan hanya menikmati kesendirian. Bukan menikmati, lebih tepatnya bertahan dengan diri sendiri hingga kondisi membaik.
    Namun, yang terjadi tak sesuai harapan. Kondisi saya bukannya semakin membaik, justru membuat saya semakin tercekik. Himbauan pemerintah untuk mengisolasi diri saya lakukan dengan amat baik. Terlampau baik. Saya bukan hanya mengisolasi diri dengan orang lain tetapi juga dengan tubuh saya sendiri. Berhari-hari saya hanya di ranjang yang besinya sudah karatan, tak ada makanan yang dikelola oleh sistem pencernaan, serta pikiran-pikiran kalut masa lalu yang dibumbui kepahitan berhasil membuat saya bagai ikan yang mendamba air. 
    Telepon kembali berdering, kali ini ada niat untuk mengangkatnya. Saya kira badan saya malas untuk bergerak, ternyata kaku. Dari pundak hingga telapak kaki tidak ada satupun yang bisa digerakkan. Telepon terus berdering, keringat semakin bercucuran. Dengan susah saya menggerakkan seluruh tubuh untuk bisa bangkit dari ranjang ini, namun tubuh justru semakin beku. Saya tidak bisa merasakan pundak, punggung, dan kaki yang masih menempel. Wajah saya memerah kembali seperti saat teman saya berbohong atas kematian Ibu. Mulut saya tertutup rapat kaku tidak bisa bergerak sama seperti Ayah menghunus  tajam dengan perkataannya. 
    Nama Ibu dalam layar telepon itu membuat saya semakin membukakan mata. Saya mencoba sekuat tenaga untuk mengangkatnya. Meski seluruh tubuh kaku, namun di sisa tenaga, saya mengandalkan kemampuan telunjuk untuk mengangkat teleponnya dan mendengar suara Ibu samar-samar di udara.
“Ibu dan Ayah sudah di bandara. Untung pandemi di sini udah hilang seminggu yang lalu. Jadi, ibu sudah boleh pulang. Di rumah, nanti ceritakan hal-hal yang ingin kamu sampaikan di samping kolam ikan sambil makan kue dengan piring kesayangan Ibu, ya.”
Tubuh saya semakin kaku dari ujung kepala hingga telapak kaki. Mata saya terbelalak, menyedihkan mendengar kabar yang seharusnya saya tahu seminggu lalu. Mungkin Ibu dan Ayah tak tahu, piring-piring itu sudah berdebu  dan kura-kura dalam kolam ikan sudah sangat cocok dijadikan hiasan kematian.


Jakarta, Jasinga
25 Maret 2020
#diRumahAja

Share:
Diberdayakan oleh Blogger.