Rabu, 22 Februari 2017

Puisi: Katakan Saja, Saya Sendiri. Iya!

Renungi saja setiap air
jatuh...

Nikmati saja syahdunya embun
kerut...

Tuhan tahu pagi selalu berbeda
Pagi selalu menyapa
Pagi selalu mengalah

Tidak lama waktunya menghampiri kisah
Akhir...

Bukan yang dimana dia melangkah
Tapi kemana ia menghampiri
Walau bukan saya yang jadi stasiun akhir
Walau bukan saya yang jadi tujuan utama

Waktu...
Melampiaskan setiap kekesalan, namun tidak
Denting...
Jarah saja setiap inci dari hati menuju hari
Dari hari menuju haru

Merasa digenggam pada pergelangan
Namun tidak ada hangat yang dirasa
Satu, katamu...
Sepuluh, jawab rindu... 

Pernah saya dengar seruan
Dari kalender yang usang
Menghamburkan semua angka di tubuhnya
Membuang semua kenangan di dalamnya

Ruang...
Putih, hitam, hitam namun lebih muda
Tanpa udara, tanpa suara
Hanya cahaya, itupun dipantulkan dari mata

Lucunya, yang teringat malah sang pait
Yang terkenang malah yang kusam

Sudah, kamu pergi saja
Saya tunggu sini, ditemani udara



Allianz Tower 29th Floor
Rabu, 22 Februari 2017

Share:

Jumat, 17 Februari 2017

Cerpen: Katresnan





Hatinya hancur namun egonya membara ketika ia tahu hubungannya tidak disetujui ayah yang ia ubah panggilannya menjadi ‘katanya ayah’. Baru saja Damar bahagia bisa melihat kembali cinta pertamanya setelah selesai menempuh pendidikan di negeri seberang. Keluarganya adalah keluarga ternama di daerahnya. Dengan kedudukan sang Ayah sebagai salah satu orang dengan harta kekayaan dan tanah ia miliki dimana-mana, membuat Damar dengan mudah menempuh pendidikan hingga setinggi ini di luar negeri.
            “Perempuan itu adalah pencuri jambu di pohon yang tertanam di sekitaran rumah kita!” bentak ayahnya pada malam terakhir Damar meninggalkan rumah untuk kedua kalinya.
            “Keluarganya menjual anak perempuannya ke sini agar bisa tidur di ranjang empuk bersama kami!” tambah ibunya yang sama-sama tidak suka dengan perempuan itu dan keluarganya.
            Hati Damar tersayat sembari kakinya berjalan menyusuri jalan gelap dengn jas tebalnya. Pikirannya kembali akan ucapan-ucapan para orangtua yang saling bersahutan membuat pikiran kusut.
            “Jambu kata anda, Raden? Apa saya pernah menghitung berapa banyak suapan nasi yang saya berikan untuk putera kebanggaanmu itu?” kata ibunda Daya, perempuan yang merupakan cinta pertamanya.
            Damar masih berjalan dengan mata yang perih namun tidak berair. SUlit rasanya mengeluarkan airmata untuk seorang lelaki. Padahal Damar berharap dengan keluarnya airmata itu, setidaknya hatinya akan lebih tenang karena semua emosinya tercurahkan.
            “Silahkan kalian hitung  tujuh hari dari malam ini. Daya akan mendapatkan seorang keturuan Keraton yang hartanya mampu menenggelamkan istana yang kalian sanjung ini!” tambah ibundanya.
            Damar melihat banyak sekali jalan didepan matanya. Namun tidak satupun yang mampu mengarahkannya ke satu tujuan. Kakinya terus saja menyusuri jalan yang lurus ke depan. Enggan ia menengok ke belakang karena ingatannya tentang Daya akan masuk menerobos hatinya yang kini tinggal kepingan akibat dilahap habis oleh ego.
            Telinganya masih memutar suara lantunan gending yang dinyanyikan oleh Daya ketika kepalanya ia jatuhkan di kedua paha Daya. Suara lembut yang mampu membuat Damar tertidur lelap hingga lupa akan ranjang empuk yang dikatakan ibunya tadi. Belum lagi desahan lembut ketika Daya membangunkan Damar untuk segera pulang. Wangi cendana yang khas tercium dari tubuhnya mampu membuat Damar seolah-olah terbawa angin yang menghembus aromanya.
___
            Tujuh malam sudah semenjak sumpah ibu yang hendak mencarikan lelaki keturunan darah biru dimana hartanya mampu menelan rumah Damar. Saya duduk di meja rias menunggu persiapan pernikahan yang akan berlangsung sebentar lagi. Menatapi cermin yang seakan-akan menunjukan orang asing. Bukan, bukan rupanya.
            Terlihat jelas bibirnya tidak mengembang seperti hari-hari biasanya. kini lurus. Hampa. Merah akibat lipstick pun terlihat abu-abu di mata say.
            “Tinggalkan saya sendiri, bu. Damar akan menemui saya di sini. Berdua.” Pinta saya kepada ibunda. Ibu mengiyakan karena sudah paham bagaimana kedekatan kami. Ibunda pun masih menyayangi Damar sama seperti anaknya sendiri walau kini ia sudah dijatuhkan oleh orangtuanya.
            Saya masih duduk dengan posisi yang sama menantikan kedatangan Damar. Sepuluh menit pertama, lilin di samping pintu sudah mulai habis meleleh. Damar belum juga datang mengetuk pintu. Suara gamelan yang terdengar sendu dari luar mengiringi kesepian saya menantinya di ruangan ini.
            “Saya disini. Daya.”
            Suara berat yang saya dengar dari belakang punggung saya. Mata saya masih menatap kosong jari kuku merah yang saya letakkan di atas meja rias.
            “Panggil saya Ndoro Ramandaya sekarang” sahut saya.
            “Belum”
            “Setengah jam lagi, maka kedudukan saya akan lebih tinggi dari keluargamu”
            Damar berjalan perlahan mendekati saya. Menggenggam pundak saya yang telanjang. Saya tepis tangannya hingga tidak sampai pada satu inci dari pundak yang hendak dipegangnya. Namun tangannya lebih kuat. Justru sekarang tangan saya yang digenggamnya kuat-kuat.
            “Saya akan mengantar kamu ke bawah” katanya.
___
            Sudah sampai saya di sebuah rumah yang ramai. Gemerlap lampu di malam hari membuat gelap tidak disebut lagi sebagai gelap. Musik keras yang diputar membuat hati saya yang sepi seakan-akan gaduh didalamnya. Orang berlalu lalang di sekitaran rumah itu namun tidak satupun yang jalannya tegap. Tidak satupun yang mulutnya tertutup.
            Hingga saya masuk ke dalam satu ruangan yang sudah ramai orang. Musik di dalamnya mengalunkan gending yang mengiringi beberapa penari di dalam. Semuanya wanita, dengan kemben yang terlihat dipaksakan mengetat di bagian dada hingga atas tumit. Belum lagi kain yang mereka kalungkan di leher masing-masing. Tidak jarang kain itu digunakan untuk menarik para penonton pria agar ikut menari bersamanya.
            Satu yang membuat saya kaget sehingga tangan saya melayang memukul salah seorang dari penari itu. Ia mencoba mengalungkan kainnya ke leher saya dengan membungkukan badannya sehingga belahan dadanya terlihat jelas tidak lebih dari setengah meter didepan mata saya. Penari itu terheran melihat kelakuan saya yang berbuat kasar kepadanya. Itu tidak sengaja karena refleksnya tangan saya.
            Musik berhenti hingga semua orang memandang fokus kepadanya dan saya. Begitupun dengannya, yang perlahan menatap saya dalam-dalam. Tubuhnya semakin mendekat. Wajahnya kini saling berhadapan dengan wajah saya. Matanya tajam namun cantik dengan riasan yang mencolok.
            “Selamat datang, Tuan Damar” katanya sambil menempelkan kedua telapak tangannya seakan-akan memberikan kehormatan untuk saya.
            Matanya masih menatap kedua mata saya. Tatapannya penuh tanda tanya. Bahkan ketika ia membalikkan badannya, tatapannya masih lurus ke kedua mata saya.
            “Dia adalah pelacur kelas atas di sini” kata salah seorang yang duduk tidak jauh dari sana.
            Saya masih menatap punggungnya yang kini berjalan menjauhi saya untuk kembali ke arena tempat ia dan teman-temannya menari. Musiknya masih terdengar namun lebih pelan. Hingga saya merasa jenuh di sini, akhirnya saya putuskan untuk kembali ke jalanan mencari tempat yang lebih bisa membuat saya tenang.
            Saya berjalan perlahan keluar menuju sebuah pintu besar tempat saya masuk tadi. Masih ramai dengan orang yang berlalu-lalang hingga saya harus berhimpitan dengan mereka. Setelah saya sampai pada pintu besar yang saya tuju, seseorang menghentikan langkah saya.
            “Suatu kehormatan bagi saya bisa melihat tuan di tempat seperti ini.”
___
            Saya tahu dia sedang memandang dengan tatapan kosong ke arah para penari melenggang. Perlahan mengikuti irama gamelan, saya langkahkan kaki dengan pinggul yang bergoyang mendekatinya. Terlihat kehampaan dalam dirinya saat itu.
            Sontak saya kaget ketika pergelangan tangan saya terlempar akibat tangannya yang melayang ketika kain saya coba kalungkan di lehernya. Seperti halnya wanita lain, saya mengeluarkan suara teriakan manis yang bisa membuat para lelaki terangsang ketika tempatnya bukan di sini.
            Saya tahu siapa dia. Seorang pemuda hebat dari keluarga kaya yang baru saja pulang menempuh pendidikannya. Tampan, gagah. Kharismanya mampu menusuk mata saya hingga tidak bisa lepas dari pandangannya. Salam tidak lupa saya ucapkan untuknya karena saya tahu kedudukan keluarganya yang kaya itu.
            Setelah kejadian barusan, saya lihat dirinya berjalan perlahan menerjang kerumunan orang menuju pintu keluar. Ia mencoba melarikan diri dari situasi canggung yang barusan terjadi. Kaki saya mampu berjalan mengikuti arahnya dengan mata saya yang masih tajam memperhatikan gerak tubuhnya.
            Dapat! Kini kami saling berhadapan kembali di depan pintu besar yang ia tuju. Mata kami saling menatap lama walaupun masih terlihat kehampaan pada dirinya. Perlahan ekspresinya berubah menjadi bingung setelah berlama-lama menatap. Satu kalimat ia ucapkan dan mampu merubah pikiran saya setelahnya. Membuat hati saya seketika beku tidak merasakan apa-apa lagi.
“Saya mampu membeli tubuh anda kapanpun saya mau. Jangan goda saya sekarang”
Semakin dingin tubuh saya ketika mendengar caranya berucap demikian. Datar, namun menyakitkan. Saya mampu mendengar retakan hati saya yang beku kering akibatnya. Tapi satu yang panas, pikiran saya. Otak saya mencerna setiap katanya. Menggerakan ratusan syaraf untuk membuat bibir terbuka.
“Apakah tidak boleh seorang pelacur jatuh cinta?” tanya saya kepadanya.
___
Sudah duapuluh tujuh malam setelah malam pernikahan Daya. Keluarga Damar dilanda kehilangan yang mendalam. Kepergiannya dari rumah hingga sekarang membuat seisi rumah resah.
“Dimanapun dia sekarang, saya harap selalu dalam lindungan” pinta ibunya yang telah melalui malam-malam itu tanpa setengguk jamu yang biasa ia minum rutin.
“Mungkin ia sudah memiliki usaha yang membuatnya sukses di sana” harap ayahnya yang selalu gengsi untuk memperlihatkan kerinduan terhadap putera semata wayangnya itu.
Setiap hari pintu rumah selalu dibuka lebar demi menunggu datangnya Damar dari pelariannya. Duapuluh tujuh malam, seisi rumah merasakan dinginnya malam dengan keadaan pintu rumah yang terbuka lebar. Ibunya tidak pernah beranjak dari sofa yang terletak di teras rumah demi menunggu anaknya pulang.
“Saya lihat Damar!” kata seorang pembantu di rumahnya.
Membuat ibunda bahagia dan penasaran mendengarnya. Ia bangun dari duduknya karena perasaan bahagianya. Tapi tidak lagi ketika kalimat selanjutnya di ucapkan.
“Bertelanjang dada…”
Perlahan posisi berdirinya melemah.
“Menari gembira…”
Matanya menutup pelan-pelan. Wajahnya memucat biru kedinginan.
“Di atas paha wanita…”
Tubuhnya sudah kembali terjatuh di sofa tempat ia duduk.

“Di sebuah rumah bordil di utara sana.”
___
            Tunggu saja hingga perempuan yang Damar cintai tahu kalau suaminya sedang saya jepit dengan kedua paha saya malam ini.
            “Apakah pelacur dilarang jatuh cinta?”


Jakarta, 17 Februari 2017
Allianz Tower 29th Floor
Share:

Kamis, 16 Februari 2017

Beyonce's Lemonade Visual Album: Lemonade Poems by Warsan Shire

LEMONADE
Poems by: Warsan Shire
Visual Album by: Beyonce




Intuition
I tried to make a home out of you, but doors lead to trap doors, a stairway leads to nothing
Unknown women wander the hallways at night
Where do you go when you go quiet?
You remind me of my father, a magician ... able to exist in two places at once
In the tradition of men in my blood, you come home at 3 a.m. and lie to me
What are you hiding?
The past and the future merge to meet us here
What luck. What a f*cking curse




Denial
I tried to change
Closed my mouth more, tried to be softer, prettier, less awake
Fasted for 60 days, wore white, abstained from mirrors, abstained from sex, slowly did not speak another word
In that time, my hair, I grew past my ankles
I slept on a mat on the floor
I swallowed a sword
I levitated
Went to the basement, confessed my sins, and was baptized in a river
I got on my knees and said 'amen' and said 'I mean.'
I whipped my own back and asked for dominion at your feet
I threw myself into a volcano
I drank the blood and drank the wine
I sat alone and begged and bent at the waist for God
I crossed myself and thought I saw the devil
I grew thickened skin on my feet, I bathed in bleach, and plugged my menses with pages from the holy book, but still inside me, coiled deep, was the need to know ... Are you cheating on me?
Cheating? Are you cheating on me?



Anger 
If it's what you truly want ...
I can wear her skin over mine
Her hair over mine
Her hands as gloves
Her teeth as confetti
Her scalp, a cap
Her sternum, my bedazzled cane
We can pose for a photograph, all three of us
Immortalized ... you and your perfect girl
I don't know when love became elusive
What I know is, no one I know has it
My father's arms around my mother's neck, fruit too ripe to eat
I think of lovers as trees ... growing to and from one another
Searching for the same light
Why can't you see me?
Why can't you see me?
Why can't you see me?
Everyone else can 



Apathy 
So what are you gonna say at my funeral, now that you've killed me?

Here lies the body of the love of my life, whose heart I broke without a gun to my head

Here lies the mother of my children, both living and dead

Rest in peace, my true love, who I took for granted

Most bomb p*ssy who, because of me, sleep evaded

Her god listening

Her heaven will be a love without betrayal

Ashes to ashes, dust to side chicks
  


Emptiness 
She sleeps all day
Dreams of you in both worlds
Tills the blood, in and out of uterus
Wakes up smelling of zinc, grief sedated by orgasm, orgasm heightened by grief
God was in the room when the man said to the woman, "I love you so much. Wrap your legs around me

Pull me in, pull me in, pull me in

“Sometimes when he'd have her nipple in his mouth, she'd whisper, "Oh, my God." That, too, is a form of worship

 Her hips grind, pestle and mortar, cinnamon and cloves

Whenever he pulls out ... loss

Dear moon, we blame you for floods ... for the flush of blood ... for men who are also wolves

We blame for the night for the dark, for the ghosts







Accountability

You find the black tube inside her beauty case where she keeps your father's old prison letters

You desperately want to look like her
You look nothing like your mother
You look everything like your mother
Film star beauty
How to wear your mother's lipstick
You go to the bathroom to apply your mother's lipstick
Somewhere no one can find you
You must wear it like she wears disappointment on her face
Your mother is a woman and women like her cannot be contained
Mother dearest, let me inherit the earth
Teach me how to make him beg
Let me make up for the years he made you wait
Did he bend your reflection?
Did he make you forget your own name?
Did he convince you he was a god?
Did you get on your knees daily?
Do his eyes close like doors?
Are you a slave to the back of his head?
Am I talking about your husband or your father?



 
Reformation
He bathes me until I forget their names and faces
I ask him to look me in the eye when I come home

Why do you deny yourself heaven?

Why do you consider yourself undeserving?

Why are you afraid of love?

You think it's not possible for someone like you

But you are the love of my life

You are the love of my life

You are the love of my life






Forgiveness 
Baptize me ... now that reconciliation is possible
If we're gonna heal, let it be glorious

1,000 girls raise their arms

Do you remember being born?

Are you thankful for the hips that cracked?

The deep velvet of your mother and her mother and her mother?

There is a curse that will be broken
 



 
Resurrection

Something is missing

So many young women, they tell you, "I want me a hu — see, all them make me feel better than you." So how we supposed to lead our children to the future?

What do we do? How do we lead them?

Love. L-O-V-E, love. Mm-mmm-mmm

Hallelujah. Thank you, Jesus

I just love the Lord, I'm sorry, brother

I love the Lord

That's all I got.

When your back gets against the wall and your wall against your back, who you call?

Hey! Who you call? Who you call?

You gotta call Him

You gotta call Jesus

You gotta call Him

You gotta call Him 'cause you ain't got another hope
You are terrifying ... and strange and beautiful
Magic.
 
 
 
Hope
The nail technician pushed my cuticles back ... turns my hand over, stretches the skin on my palm and says, "I see your daughters and their daughters."
That night in a dream, the first girl emerges from a slit in my stomach
The scar heals into a smile
The man I love pulls the stitches out with his fingernails
We leave black sutures curling on the side of the bath
I wake as the second girl crawls headfirst up my throat, a flower blossoming out of the hole in my face



Redemption
Take one pint of water, add a half pound of sugar, the juice of eight lemons, the zest of half a lemon

Pour the water from one jug then into the other several times

Strain through a clean napkin

Grandmother, the alchemist, you spun gold out of this hard life, conjured beauty from the things left behind

Found healing where it did not live

Discovered the antidote in your own kit

Broke the curse with your own two hands

You passed these instructions down to your daughter who then passed it down to her daughter

I had my ups and downs, but I always find the inner strength to pull myself up

I was served lemons, but I made lemonade

My grandma said "Nothing real can be threatened."

True love brought salvation back into me

With every tear came redemption and my torturers became my remedy
So we're gonna heal
We're gonna start again
You've brought the orchestra, synchronized swimmers
You're the magician
Pull me back together again, the way you cut me in half
Make the woman in doubt disappear
Pull the sorrow from between my legs like silk
Knot after knot after knot
The audience applauds ... but we can't hear them
 
___
Share:

Selasa, 14 Februari 2017

Cerpen: Kanan Cara




Padahal dia yang bilang mau melunasi utang yang ia pinjam sejak umur saya tiga tahun. Ketika itu pada pesta ulang tahun dan banyak tetangga yang malas untuk pergi ke sebuah toko mainan sehingga mereka hanya memberikan saya amplop berisi uang sekitar lima sampai sepuluh ribu. Banyak tetangga yang datang baik yang memiliki anak kecil maupun hanya ibu-ibu yang biasa mengobrol dengan mama. Uang yang terkumpul mungkin bisa saya belikan sebuah piano belajar yang harganya murah.
Tapi sekarang ketika saya beranjak dewasa, ia sama sekali tidak ingat bahwa ia pernah menikmati kumpulan uang hasil ulang tahun anak kecil yang ia gunakan untuk membayar rugi temannya yang memecahkan botol bir di sebuah warung pinggir jalan. Kini ia memiliki sebuah kafe kecil yang pada akhir tahun ini kering pengunjung. Membuatnya meminjam lagi kesana kemari demi menutup utang-utang sebelumnya.
Hari ini saya berniat mengundurkan diri dan beranjak ke luar kota. Dengan menuntut upah saya selama 6 bulan yang belum dibayar tanpa utang yang ia pinjam semasa saya kecil, saya harap cukup untuk modal kamar tidur dan ongkos bolak-balik mencari pekerjaan baru. Memang sebenarnya aneh ada anak yang menagih upah kepada ayahnya ketika usahanya bangkrut dan memutuskan untuk bekerja secara pribadi dibandingkan membantunya keluar dari masalah. Tetapi, saya sudah sampai di ambang batas kejenuhan. Bertahun-tahun saya diperbudak oleh seorang ayah yang bahkan tidak menyekolahkan anak perempuannya ini.
Dibalik kesengsasraan yang saya miliki, ketika ayah menutup kafenya dan tinggal saya sendirian di dalam, biasanya saya menarik sebuah kursi dan meletakkannya di tengah-tengah kafe. Saya mengambil napas dalam-dalam dan memulai nada awal yang langsung meninggi. Mendendangkan lagu-lagu Broadway dengan goyangan tubuh yang saya rasa nikmat untuk digerakkan. Hingga dua atau tiga lagu selesai, tubuh dan mulut saya masih semangat mendendangkan lagu-lagu yang membuat semua bergetar.
Begitu setiap sore hingga hari menjelang gelap. Lalu, saya pulang ke rumah untuk mencuci piring dan merapikan kamar untuk tidur karena esok akan kembali ke rutinitas membosankan serta merugikan ini. Tetapi, tidak untuk hari ini. Ini adalah hari terakhir saya berada di sini dengan langsung meninggalkan kota bersama koper yang sudah saya sembunyikan di loker penyimpanan tepung dan beras sehingga ayah tidak melihatnya. Biarkan saya lepas dari bebannya, mengambil uang di rekening yang ia pasrahkan kepada saya. Tidak saya lebihkan, cukup dengan 6 bulan gaji saya yang tertunda.
Saya meninggalkan surat yang diletakkan di meja nomor empat belas yang ditindih dengan botol merica. Hanya berisikan kata “Saya pamit” tanpa embel-embel apapun. Biarkan dia panik mencari keberadaan saya dan suatu hari saya kembali dengan mobil mewah yang diparkir di depan rumah karena mungkin dalam beberapa minggu ke depan, kafe akan dirubuhkan.
Saya pergi.
___
Kini saya berada di sebuah pusat kota. Mencari sebuah kamar sewa untuk tidur karena esok pagi harus mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan saya. Kalau tidak bisa menjadi seorang penyanyi acara pernikahan, penyanyi kafe, mungkin menjadi pelayan seperti semula tidak masalah. Asalkan upah yang diberikan pantas dan tidak seperti sebelumnya.
Masih berjalan menyusuri jalanan kota yang penuh dengan lampu malam. Membuat tubuh serasa ingin bergoyang dengan musik yang terdengar dari satu toko ke toko yang lain.
Bahkan hingga larut malam, saya belum menemukan satu pun kamar tidur yang bisa menampung saya tidur malam ini. Bukan karena tidak ada yang cocok, melainkan saya belum sama sekali mencarinya. Mata masih menikmati suasana kota yang terang dengan lampu-lampu malam yang penuh dengan warna.
Hingga sampai pada satu jalan kecil dan langit menyuarakan kebosanannya. Gemuruh guntur dengan kilat tambahan membuat suasana malam mendadak suram. Perlahan hujan jatuh di hidung saya dan perlahan membasahi seluruh tubuh. Saya berteduh di salah satu atap yang terlihat seperti pintu belakang sebuah bar. Koper yang saya bawa terletak aman di belakang tubuh saya. Jadi, jika hujan deras, mungkin hanya kaus bagian depan saya saja yang akan basah.
Suara musik di bar sebenarnya terdengar jelas hingga ke telinga saya. Lagu yang diputar memang tidak masuk ke dalam playlist yang biasa saya nyanyikan setiap harinya. Tetapi, saya tahu bahwa lagu itu mampu membuat tubuh saya bergerak mendekati hujan. Membuat saya merasa bahwa hujan adalah taburan mawar yang jatuh dari atas panggung menjadi ornamen ketika saya tampil di sana.
Dengan menikmati setiap alunannya, tubuh saya bergerak sesuai irama dan kini sudah tidak ada satupun sisi yang kering. Air hujan mengalir di atas permukaan kulit saya yang kini sedang merasakan getaran dari nada ke nada.
Tanpa saya sadari, sudah ada satu orang yang membuka pintu belakang tadi dan memperhatikan saya menari. Seorang wanita ramping dengan rambut hitam yang dikuncir kuda dan wajah yang terlihat keturunan Timur Tengah. Matanya yang berwarna hijau kecoklatan melihat saya tajam dengan bibir yang mengatup. Tangannya bersedekap tanda ia benar-benar nyaman memperhatikan setiap gerakan yang saya keluarkan.
Ia bertanya kepada saya di mana sebelumnya saya pasti menyapanya. Awalnya saya kira ia mengeluarkan nada bicara seakan-akan tidak menyukai saya. Tetapi, setelah berbicara lumayan banyak dan ia menawarkan saya untuk masuk ke dalam bar, berganti pakaian, bahkan ia menawarkan sebuah pekerjaan kecil yang mungkin bisa membantu saya untuk mencari uang.
Masuklah saya ke dalam dan dibawanya saya menyusuri tangga menuju lantai tiga. Sepanjang perjalanan, saya melihat hal-hal yang asing seperti dua atau tiga orang yang saling bercumbu baik di mulut maupun di bagian tubuh manapun, orang-orang yang berbagi rokok atau alat yang dapat mengeluarkan asap yang saya tidak tahu namanya, dan yang menarik perhatian saya adalah panggung yang berisikan sekitar lima wanita dengan lingerie menari sambil bernyanyi bagaikan bintang yang saya lihat di televisi.
Hingga sampailah saya di lantai tiga. Wanita yang saya temui di belakang tadi menunjuk ke arah pintu di mana itu adalah toilet. Tanpa berbicara, saya paham bahwa ia memerintahkan saya untuk berganti pakaian yang kering. Sementara ia menunggu di depannya. Sebelum saya masuk, saya sempat menanyakan namanya tapi ia hanya memerintahkan saya untuk masuk ke toilet lebih cepat. Ia akan menjawab ribuan pertanyaan dari saya pada saat kita berbincang di ruangannya nanti.
Setelah selesai berganti pakaian, saya mengikutinya menuju ruangan yang terletak di ujung lorong lantai tiga. Memasuki ruangan yang langsung kedap suara begitu pintu ditutup.
“Tsara. Pelayan minuman, besok malam langsung datang atau cari pekerjaan lain?” tanyanya kepada saya datar.
Saya hanya terpaku mendengar dan menatapnya yang seakan-akan menunjukan bahwa hanya ia penyelamat saya sekarang ini. Sebenarnya saya melirik wanita-wanita penari tadi dan berkeinginan untuk bergabung bersamanya.
Saya mengiyakan karena kini saya berpikir bahwa sebenarnya ini adalah berkah dari Tuhan yang diberikan kepada saya. Saya kira esok pagi akan susah payah panas-panasan mencari pekerjaan. Ternyata baru satu malam saya di sini, pekerjaan menghampiri saya. Tanpa surat lamaran, tanpa daftar riwayat hidup.
Terimakasih, Tsara. Semoga senang menampung saya.
___
Malam-malam di bar ini telah saya lewati sebagai pengantar minuman dari bar ke meja-meja tamu. Seringkali gelas saya jatuhkan karena seringnya saya melihat wanita-wanita yang menari di panggung itu dengan kostum sexy yang berganti-ganti.
Sering saya membayangkan diri saya berada di atas sana. Menari dan bernyanyi secara sungguhan karena yang selama ini mereka lakukan hanyalah lypsinc dan menggoyangkan tubuhnya sesuai irama.
Pada satu malam ketika saya sudah mengenal sebagian besar karyawan di sini, sebuah tragedi muncul yang mungkin bisa saya sebut sebagai rezeki. Ketika para penari tampil dan saat itu juga lagu yang diputar mendadak berhenti. Membuat semua penonton merasa kecewa. Jika pintar, seharusnya salah satu diantara mereka membuka suara dan membunyikan nada sebagaimana orang bernyanyi pada umumnya. Karena semakin lama, loyalitas saya terhadap tempat ini meningkat dan khawatir melihat tamu yang mulai tidak nyaman, saya memberanikan diri mendekat ke panggung.
Tirai sudah setengah turun saat ini dan saya sudah berdiri gugup di depan pelantang. Tirai semakin turun sehingga sudah menutup setengah wajah saya. Tidak mau menyianyiakan kesempatan ini, saya melantunkan sebuah nada yang biasa saya lantunkan ketika di kafe dulu. Seketika, suara ricuh penonton surut. Suara saya bergema dalam satu ruangan luas itu. Perlahan tirai naik kembali.
Saya lantunkan kembali lirik berikutnya sehingga kini saya bernyanyi masih dengan nada perlahan. Tanpa saya sadari, ternyata salah satu bartender sudah memegang gitar dan memetiknya sehingga nadanya sama dengan apa yang saya nyanyikan. Tanpa briefing, kami melantunkan lagunya bersama. Penonton yang semula kecewa kini kembali memberi perhatiannya.
Selesai satu lagu saya bawakan, terdengar suara ribut di luar. Saya meninggalkan panggung dan menuju ke sumber keributan itu. Rupanya Tsara dan salah satu penari wanita sedang adu argumen. Yang saya dengar ialah ia tidak suka dengan perebutan penampilan yang saya ambil alih tadi. Namun di sisi lain, Tsara malah mendukung dan ia bahagia karena para tamu senang melihatnya.
Ketika ia menyadari bahwa saya sedang memperhatikan pembicaraannya, ia menghampiri saya. Seperti biasa, Tsara mengeluarkan satu kalimat singkat yang tidak bisa ditolak karena kalimat itu tidak mengandung tanda tanya.
“Menari besok malam atau keluar dari bar ini. Selamat.”
Saya bahagia mendengarnya. Kini impian saya terwujud untuk menari di atas sana. Di balut dengan bikini dan bulu-bulu mewah diiringi musik yang mampu menggoyangkan tubuh.
Kemudian Tsara mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga saya. Membuat saya sebenarnya merasa berubah menjadi kecewa dalam sekejap. Membuat saya melupakan impian yang baru saya dapatkan.
“Tidurlah dengannya malam ini. Ia bisa mengajarkanmu bergoyang di atas panggung. Atau keluar dari bar ini.”
Pinta Tsara sambil menunjuk seorang lelaki berumur sekitar empat puluh tahun keturunan Eropa yang kini sedang duduk di sofa ditindih oleh salah satu penari wanita yang mencumbunya bagaikan anak sapi menemukan puting susu ibunya.
Ini kunjungan pertama saya ke belakang panggung.
Besok malam kunjungan pertama lelaki itu ke belakang saya.
Malam seterusnya kunjungan saya menuju jurang kehidupan.

Jakarta, 26 Desember 2016

Bima Dewanto
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.