Hatinya
hancur namun egonya membara ketika ia tahu hubungannya tidak disetujui ayah
yang ia ubah panggilannya menjadi ‘katanya ayah’. Baru saja Damar bahagia bisa
melihat kembali cinta pertamanya setelah selesai menempuh pendidikan di negeri
seberang. Keluarganya adalah keluarga ternama di daerahnya. Dengan kedudukan
sang Ayah sebagai salah satu orang dengan harta kekayaan dan tanah ia miliki
dimana-mana, membuat Damar dengan mudah menempuh pendidikan hingga setinggi ini
di luar negeri.
“Perempuan itu adalah pencuri jambu di pohon yang
tertanam di sekitaran rumah kita!” bentak ayahnya pada malam terakhir Damar
meninggalkan rumah untuk kedua kalinya.
“Keluarganya menjual anak perempuannya ke sini agar bisa
tidur di ranjang empuk bersama kami!” tambah ibunya yang sama-sama tidak suka
dengan perempuan itu dan keluarganya.
Hati Damar tersayat sembari kakinya berjalan menyusuri
jalan gelap dengn jas tebalnya. Pikirannya kembali akan ucapan-ucapan para
orangtua yang saling bersahutan membuat pikiran kusut.
“Jambu kata anda, Raden? Apa saya pernah menghitung
berapa banyak suapan nasi yang saya berikan untuk putera kebanggaanmu itu?”
kata ibunda Daya, perempuan yang merupakan cinta pertamanya.
Damar masih berjalan dengan mata yang perih namun tidak
berair. SUlit rasanya mengeluarkan airmata untuk seorang lelaki. Padahal Damar
berharap dengan keluarnya airmata itu, setidaknya hatinya akan lebih tenang
karena semua emosinya tercurahkan.
“Silahkan kalian hitung tujuh hari dari malam ini. Daya akan
mendapatkan seorang keturuan Keraton yang hartanya mampu menenggelamkan istana
yang kalian sanjung ini!” tambah ibundanya.
Damar melihat banyak sekali jalan didepan matanya. Namun
tidak satupun yang mampu mengarahkannya ke satu tujuan. Kakinya terus saja
menyusuri jalan yang lurus ke depan. Enggan ia menengok ke belakang karena
ingatannya tentang Daya akan masuk menerobos hatinya yang kini tinggal kepingan
akibat dilahap habis oleh ego.
Telinganya masih memutar suara lantunan gending yang
dinyanyikan oleh Daya ketika kepalanya ia jatuhkan di kedua paha Daya. Suara
lembut yang mampu membuat Damar tertidur lelap hingga lupa akan ranjang empuk
yang dikatakan ibunya tadi. Belum lagi desahan lembut ketika Daya membangunkan Damar
untuk segera pulang. Wangi cendana yang khas tercium dari tubuhnya mampu
membuat Damar seolah-olah terbawa angin yang menghembus aromanya.
___
Tujuh malam sudah semenjak sumpah ibu yang hendak
mencarikan lelaki keturunan darah biru dimana hartanya mampu menelan rumah
Damar. Saya duduk di meja rias menunggu persiapan pernikahan yang akan
berlangsung sebentar lagi. Menatapi cermin yang seakan-akan menunjukan orang
asing. Bukan, bukan rupanya.
Terlihat jelas bibirnya tidak mengembang seperti
hari-hari biasanya. kini lurus. Hampa. Merah akibat lipstick pun terlihat
abu-abu di mata say.
“Tinggalkan saya sendiri, bu. Damar akan menemui saya di
sini. Berdua.” Pinta saya kepada ibunda. Ibu mengiyakan karena sudah paham
bagaimana kedekatan kami. Ibunda pun masih menyayangi Damar sama seperti
anaknya sendiri walau kini ia sudah dijatuhkan oleh orangtuanya.
Saya masih duduk dengan posisi yang sama menantikan
kedatangan Damar. Sepuluh menit pertama, lilin di samping pintu sudah mulai
habis meleleh. Damar belum juga datang mengetuk pintu. Suara gamelan yang
terdengar sendu dari luar mengiringi kesepian saya menantinya di ruangan ini.
“Saya disini. Daya.”
Suara berat yang saya dengar dari belakang punggung saya.
Mata saya masih menatap kosong jari kuku merah yang saya letakkan di atas meja
rias.
“Panggil saya Ndoro Ramandaya sekarang” sahut saya.
“Belum”
“Setengah jam lagi, maka kedudukan saya akan lebih tinggi
dari keluargamu”
Damar berjalan perlahan mendekati saya. Menggenggam
pundak saya yang telanjang. Saya tepis tangannya hingga tidak sampai pada satu
inci dari pundak yang hendak dipegangnya. Namun tangannya lebih kuat. Justru
sekarang tangan saya yang digenggamnya kuat-kuat.
“Saya akan mengantar kamu ke bawah” katanya.
___
Sudah sampai saya di sebuah rumah yang ramai. Gemerlap
lampu di malam hari membuat gelap tidak disebut lagi sebagai gelap. Musik keras
yang diputar membuat hati saya yang sepi seakan-akan gaduh didalamnya. Orang
berlalu lalang di sekitaran rumah itu namun tidak satupun yang jalannya tegap. Tidak
satupun yang mulutnya tertutup.
Hingga saya masuk ke dalam satu ruangan yang sudah ramai
orang. Musik di dalamnya mengalunkan gending yang mengiringi beberapa penari di
dalam. Semuanya wanita, dengan kemben yang terlihat dipaksakan mengetat di
bagian dada hingga atas tumit. Belum lagi kain yang mereka kalungkan di leher
masing-masing. Tidak jarang kain itu digunakan untuk menarik para penonton pria
agar ikut menari bersamanya.
Satu yang membuat saya kaget sehingga tangan saya
melayang memukul salah seorang dari penari itu. Ia mencoba mengalungkan kainnya
ke leher saya dengan membungkukan badannya sehingga belahan dadanya terlihat
jelas tidak lebih dari setengah meter didepan mata saya. Penari itu terheran
melihat kelakuan saya yang berbuat kasar kepadanya. Itu tidak sengaja karena refleksnya
tangan saya.
Musik berhenti hingga semua orang memandang fokus
kepadanya dan saya. Begitupun dengannya, yang perlahan menatap saya
dalam-dalam. Tubuhnya semakin mendekat. Wajahnya kini saling berhadapan dengan
wajah saya. Matanya tajam namun cantik dengan riasan yang mencolok.
“Selamat datang, Tuan Damar” katanya sambil menempelkan
kedua telapak tangannya seakan-akan memberikan kehormatan untuk saya.
Matanya masih menatap kedua mata saya. Tatapannya penuh
tanda tanya. Bahkan ketika ia membalikkan badannya, tatapannya masih lurus ke
kedua mata saya.
“Dia adalah pelacur kelas atas di sini” kata salah
seorang yang duduk tidak jauh dari sana.
Saya masih menatap punggungnya yang kini berjalan
menjauhi saya untuk kembali ke arena tempat ia dan teman-temannya menari. Musiknya
masih terdengar namun lebih pelan. Hingga saya merasa jenuh di sini, akhirnya
saya putuskan untuk kembali ke jalanan mencari tempat yang lebih bisa membuat
saya tenang.
Saya berjalan perlahan keluar menuju sebuah pintu besar tempat
saya masuk tadi. Masih ramai dengan orang yang berlalu-lalang hingga saya harus
berhimpitan dengan mereka. Setelah saya sampai pada pintu besar yang saya tuju,
seseorang menghentikan langkah saya.
“Suatu kehormatan bagi saya bisa melihat tuan di tempat
seperti ini.”
___
Saya tahu dia sedang memandang dengan tatapan kosong ke
arah para penari melenggang. Perlahan mengikuti irama gamelan, saya langkahkan
kaki dengan pinggul yang bergoyang mendekatinya. Terlihat kehampaan dalam
dirinya saat itu.
Sontak saya kaget ketika pergelangan tangan saya
terlempar akibat tangannya yang melayang ketika kain saya coba kalungkan di
lehernya. Seperti halnya wanita lain, saya mengeluarkan suara teriakan manis
yang bisa membuat para lelaki terangsang ketika tempatnya bukan di sini.
Saya tahu siapa dia. Seorang pemuda hebat dari keluarga
kaya yang baru saja pulang menempuh pendidikannya. Tampan, gagah. Kharismanya
mampu menusuk mata saya hingga tidak bisa lepas dari pandangannya. Salam tidak
lupa saya ucapkan untuknya karena saya tahu kedudukan keluarganya yang kaya itu.
Setelah kejadian barusan, saya lihat dirinya berjalan
perlahan menerjang kerumunan orang menuju pintu keluar. Ia mencoba melarikan
diri dari situasi canggung yang barusan terjadi. Kaki saya mampu berjalan
mengikuti arahnya dengan mata saya yang masih tajam memperhatikan gerak
tubuhnya.
Dapat! Kini kami saling berhadapan kembali di depan pintu
besar yang ia tuju. Mata kami saling menatap lama walaupun masih terlihat
kehampaan pada dirinya. Perlahan ekspresinya berubah menjadi bingung setelah
berlama-lama menatap. Satu kalimat ia ucapkan dan mampu merubah pikiran saya
setelahnya. Membuat hati saya seketika beku tidak merasakan apa-apa lagi.
“Saya
mampu membeli tubuh anda kapanpun saya mau. Jangan goda saya sekarang”
Semakin
dingin tubuh saya ketika mendengar caranya berucap demikian. Datar, namun
menyakitkan. Saya mampu mendengar retakan hati saya yang beku kering akibatnya.
Tapi satu yang panas, pikiran saya. Otak saya mencerna setiap katanya. Menggerakan
ratusan syaraf untuk membuat bibir terbuka.
“Apakah
tidak boleh seorang pelacur jatuh cinta?” tanya saya kepadanya.
___
Sudah
duapuluh tujuh malam setelah malam pernikahan Daya. Keluarga Damar dilanda
kehilangan yang mendalam. Kepergiannya dari rumah hingga sekarang membuat seisi
rumah resah.
“Dimanapun
dia sekarang, saya harap selalu dalam lindungan” pinta ibunya yang telah
melalui malam-malam itu tanpa setengguk jamu yang biasa ia minum rutin.
“Mungkin
ia sudah memiliki usaha yang membuatnya sukses di sana” harap ayahnya yang selalu
gengsi untuk memperlihatkan kerinduan terhadap putera semata wayangnya itu.
Setiap
hari pintu rumah selalu dibuka lebar demi menunggu datangnya Damar dari
pelariannya. Duapuluh tujuh malam, seisi rumah merasakan dinginnya malam dengan
keadaan pintu rumah yang terbuka lebar. Ibunya tidak pernah beranjak dari sofa
yang terletak di teras rumah demi menunggu anaknya pulang.
“Saya
lihat Damar!” kata seorang pembantu di rumahnya.
Membuat
ibunda bahagia dan penasaran mendengarnya. Ia bangun dari duduknya karena
perasaan bahagianya. Tapi tidak lagi ketika kalimat selanjutnya di ucapkan.
“Bertelanjang
dada…”
Perlahan
posisi berdirinya melemah.
“Menari
gembira…”
Matanya
menutup pelan-pelan. Wajahnya memucat biru kedinginan.
“Di
atas paha wanita…”
Tubuhnya
sudah kembali terjatuh di sofa tempat ia duduk.
“Di
sebuah rumah bordil di utara sana.”
___
Tunggu saja hingga perempuan yang Damar cintai tahu kalau
suaminya sedang saya jepit dengan kedua paha saya malam ini.
“Apakah pelacur dilarang jatuh cinta?”
Jakarta,
17 Februari 2017
Allianz
Tower 29th Floor